Dalam peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara, Senin (10/11), Presiden RI Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh telah memberi jejak berarti bagi perjalanan bangsa. Mereka datang dari latar perjuangan amat beragam-dari ruang kekuasaan di Istana hingga lantai pabrik tempat suara wong cilik bersusah payah didengar.
Namun di antara sepuluh nama tersebut ada tiga tokoh menempati panggung perhatian publik secara lebih mencolok. Yaitu Presiden RI kedua HM Soeharto, Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh perempuan Marsinah. Ketiga tokoh ini mewakili tiga babak perjalanan bangsa berbeda dan tentu saja dengan cara perjuangan berbeda-beda. Namun kini sejarah mempertemukan mereka dalam satu penghormatan sama: gelar Pahlawan Nasional.
Sebagian dari kita memandang ini sebagai bentuk penghargaan negara atas jasa para tokoh yang tidak boleh dilupakan. Sebagian lain mempertanyakan bagaimana mungkin tiga kisah perjuangan yang begitu kontras itu kini dipersatukan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Justru di sinilah letak pesan penting dari pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Soeharto dikenang sebagai pemimpin yang memacu Indonesia menuju modernisasi: pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan stabilitas penopang kemajuan. Pemberian gelar terhadap Soeharto menjadi penegasan bahwa lompatan pembangunan tidak mungkin terjadi tanpa disiplin nasional dan sebuah kepemimpinan yang mampu menjaga arah perjalanan bangsa.
Hal berkebalikan Gus Dur menjadi simbol keberanian moral di masa awal reformasi. Ia memperluas ruang demokrasi dan menegakkan kebebasan sipil serta menjaga martabat dari kelompok-kelompok minoritas dan terpinggirkan. Bagi Gus Dut kekuasaan bukan alat untuk mengatur negara sesuai kehendak diri melainkan kompas untuk menjamin kemanusiaan tetap berdiri tegak.
Sementara itu, Marsinah hadir sebagai suara lantang dari ruang perjuangan sering luput dalam catatan besar sejarah. Aktivis buruh dari Nganjuk Jawa Timur ini harus meregang nyawa setelah membela hak-hak pekerja pada 1993
Dengan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Marsinah itu berarti negara mengakui keberanian dalam menuntut keadilan. Meski tanpa pangkat jabatan dan tanpa kuasa Marsinah tetap menjadi bagian sah dari kepahlawanan bangsa.
Ketiga tokoh ini mengajarkan kepada kita semua bahwa kepahlawanan tidaklah satu warna. Ia tidak dimahkotai semata oleh kemenangan politik atau pangkat militer. Kepahlawanan dapat lahir dari keputusan-keputusan sulit dihadapi oleh seorang pemimpin atau juga dari keberanian dalam melawan ketidakadilan atau bahkan dan dari mereka tetap teguh memperjuangkan harkat manusia meski harus mempertaruhkan hidup mereka sendiri.
Dalam konteks itulah keputusan Presiden Prabowo dapat dibaca sebagai ajakan untuk melihat sejarah Indonesia secara lebih jernih bukan dengan kacamata hitam putih. Tetapi dengan kebijaksanaan untuk memahami kegigihan sekaligus belajar dari setiap periode perjalanan bangsa ini.
Pada akhirnya sejarah adalah ruang untuk menghargai mereka yang telah menyalakan cahaya di zaman mereka masing-masing. Soeharto, Gus Dur, dan Marsinah mungkin berangkat dari jalan berbeda. Tetapi mereka dipertemukan dalam sebuah kontribusi sama: menjaga Indonesia tetap tegak berdiri.
Semoga penganugerahan ini menjadi pengingat bahwa bangsa ini dibangun oleh banyak tangan, banyak pikiran, dan banyak nyawa. Dari ruang rapat kabinet hingga pabrik-pabrik di pelosok negeri-mereka semua patut dicatat sebagai bagian dari narasi kepahlawanan kita.
Simak Video: Mengulik Sejarah dan Syarat Pemberian Gelar Pahlawan Nasional











































