Hari Pahlawan: Momentum Merawat Fondasi Kebangsaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Hari Pahlawan: Momentum Merawat Fondasi Kebangsaan

Senin, 10 Nov 2025 13:59 WIB
Sigit Priatmoko
Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Mahasiswa S3 Universitas Negeri Malang,
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi bendera merah putih
Ilustrasi / Foto: Getty Images/iStockphoto/Bastian Saputra
Jakarta -

Hari Pahlawan, yang diperingati setiap 10 November, semestinya menjadi titik balik refleksi atas integritas kebangsaan. Namun, refleksi mendalam itu kian sulit dilakukan di tengah fenomena disorientasi sejarah dan erosi nasionalisme yang terjadi secara perlahan namun pasti dalam masyarakat kita. Disorientasi ini bukan sekadar hilangnya pengetahuan, melainkan terputusnya rasa emosional dan tanggung jawab terhadap narasi besar bangsa.

Tanda-tanda erosi ini tampak jelas dan multidimensi di ruang publik. Sering kita menyaksikan terjadinya fragmentasi sosial yang dipicu oleh konflik SARA berbasis sentimen primordial, korupsi yang masif sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan, hingga kecenderungan kuat masyarakat dalam mengidolakan budaya asing secara berlebihan—sebuah sikap abai terhadap kearifan lokal. Di ruang digital, media sosial yang seharusnya menjadi wadah dialog dan edukasi, justru dipenuhi ujaran kebencian dan polaritas yang menunjukkan hilangnya kesantunan dalam berinteraksi. Kecepatan informasi membuat masyarakat mudah terseret pada relativisme moral, di mana kebenaran faktual sejarah pun dapat dengan mudah digugat atau disimplifikasi.

Jika dilacak, permasalahan ini berakar pada melemahnya literasi sejarah di kalangan anak bangsa. Di lingkungan akademik, sebagai pengajar mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan, penulis mendapati sebagian besar mahasiswa kian asing dengan peristiwa kunci dan nama tokoh penting dalam sejarah nasional. Rendahnya literasi ini diperparah oleh hilangnya minat mereka untuk belajar sejarah. Ini bukan sekadar masalah ingatan, melainkan cerminan dari terputusnya memori kolektif bangsa yang menjadi fondasi identitas. Kurikulum yang terlalu berorientasi pada hafalan dan minimnya kontekstualisasi sejarah dengan isu kontemporer di ruang kelas membuat sejarah terasa kering dan tidak relevan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Melemahnya Identitas Nasional

Krisis identitas yang ditandai oleh disorientasi sejarah ini tidak hanya berdampak pada etika, tetapi juga pada etos pembangunan bangsa. Ketika nilai patriotisme meluruh, etos kerja keras dan integritas kolektif ikut terkikis. Nasionalisme yang seharusnya menjadi sumber energi untuk menciptakan kemandirian ekonomi, justru tergantikan oleh mentalitas instan, yang seringkali berujung pada praktik korupsi dan mentalitas 'cepat kaya' tanpa proses.

ADVERTISEMENT

Selain itu, abainya masyarakat terhadap narasi sejarah membuka celah bagi historical revisionism yang berbahaya, terutama melalui media sosial. Manipulasi data dan fakta sejarah oleh kelompok-kelompok berkepentingan tertentu dapat dengan mudah merusak pemahaman publik, mempertanyakan legitimasi pendirian bangsa, dan memicu ketidakpercayaan terhadap institusi negara. Kebenaran sejarah menjadi abu-abu. Dalam konteks ini, sejarah yang hilang adalah alat kontrol sosial yang terlepas.

Menilik Kembali 'Jasmerah'

Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat—dari sipil, pemuda, hingga peran sentral ulama melalui Resolusi Jihad—adalah monumen historis tentang pengorbanan tanpa batas demi kedaulatan. Sebagaimana ditegaskan Soekarno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."

Namun, penghormatan tersebut kini tereduksi menjadi ritual seremonial belaka. Kita terlalu terpesona pada narasi global yang bersifat instan, sehingga lupa merawat akar historis sendiri. Energi kolektif bangsa tersedot pada konsumsi budaya dan konten asing, sementara warisan sejarah lokal—situs, monumen, dan gedung bersejarah yang sejatinya membentuk "geografi moral" bangsa—justru dibiarkan terbengkalai. Tempat-tempat ini adalah jangkar emosional yang menghubungkan kita dengan pendahulu, dan ketika jangkar itu hilang, kapal kebangsaan pun mudah terombang-ambing.

Padahal, kekuatan ikatan kebangsaan tidak semata-mata bergantung pada konstruksi hukum atau politik rasional. Kekuatan itu berakar pada mitos bersama, simbol luhur, dan kesinambungan sejarah emosional yang diwariskan. Nilai-nilai dasar negara, seperti Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, adalah cerminan jati diri yang digali dari tradisi luhur Nusantara, bukan nilai impor. Ketika warisan ini terabaikan, integritas nasional berada di ambang kerapuhan.


Mengukuhkan Kembali Memori Kolektif Bangsa

Untuk mencegah disorientasi sejarah yang lebih parah, langkah strategis dan terstruktur yang melibatkan intervensi kebijakan dan perubahan pedagogi harus segera diimplementasikan. Peringatan Hari Pahlawan harus diubah menjadi gerakan pengukuhan identitas yang masif.

Pertama, Revitalisasi Kurikulum Sejarah. Muatan sejarah nasional dan nilai-nilai kebangsaan tidak boleh diposisikan sebagai pelengkap, melainkan sebagai fondasi utama pendidikan karakter. Model pembelajaran harus diubah dari hafalan menjadi metode yang memberdayakan seperti project-based learning dan inquiry-based learning. Materi sejarah harus diintegrasikan dengan isu-isu kontemporer, seperti HAM, lingkungan, teknologi, dan kewarganegaraan digital, sehingga peserta didik dapat melihat relevansi sejarah dalam konteks kekinian. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong pemikiran kritis, bukan sekadar pencerita.

Kedua, digitalisasi dan aksesibilitas situs sejarah. Pemerintah dan lembaga terkait perlu melakukan revitalisasi situs sejarah ke dalam ruang digital. Tujuannya adalah mengubah situs-situs pahlawan menjadi destinasi digital learning yang interaktif. Ini membutuhkan kolaborasi sinergis antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta komunitas lokal. Situs bersejarah perlu difasilitasi dengan teknologi imersif (seperti VR/AR tours dan gamification) yang menawarkan pengalaman emosional, bukan sekadar informasi statis. Hal ini bukan hanya merawat fisik monumen, tetapi mengubahnya menjadi konten edukasi yang mudah diakses dan relevan bagi generasi sekarang.

Ketiga, penghidupan kembali narasi asal-usul. Mitos nenek moyang dan memori kolektif tentang kejayaan masa silam harus terus didengungkan melalui berbagai platform, termasuk peran keluarga sebagai unit terkecil transmisi nilai. Narasi sejarah harus disajikan dalam format yang menyentuh emosi, menciptakan rasa kekerabatan, dan ikatan emosional di antara anggota bangsa, serta menumbuhkan rasa memiliki terhadap warisan budaya.

Hormat tertinggi kepada pahlawan sejati adalah ketika kita memastikan bahwa cita-cita persatuan dan identitas bangsa yang mereka perjuangkan tidak tercerabut dari akarnya sendiri. Melalui revitalisasi pedagogi dan digitalisasi narasi sejarah, kita berharap dapat menyelamatkan fondasi kebangsaan dari erosi di tengah derasnya arus globalisasi.

Simak juga Video: Prabowo Pimpin Upacara Ziarah-Renungan Hari Pahlawan di TMP Kalibata

(imk/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads