Mempertanyakan Materi Muatan Norma Baru MK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mempertanyakan Materi Muatan Norma Baru MK

Sabtu, 08 Nov 2025 09:40 WIB
Lalu Hartawan Mandala Putra
Advokat di HMP & Associates Law Office dan Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UI
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/detikcom
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/detikcom)
Jakarta -

Ragam putusan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengadili perkara uji materil terhadap undang-undang dalam dekade terakhir ini memunculkan pergesaran fungsi yang problematis. Mahkamah Konstitusi yang secara konseptual dibentuk untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara melalui legislasi yang dibentuk oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat akhir-akhir ini kian mendudukkan posisinya sebagai bagian dari legislasi (Positive Legislator).

Kewenangan ini secara konstitusional bukan merupakan kewenangan konseptual dari MK. Pergeseran fungsi ini berbahaya sekaligus mengancam kepercayaan antar lembaga trias politica yang kemudian akan beresiko besar terhadap kepastian hukum itu sendiri.

Beberapa catatan yang menunjukkan kian masifnya putusan MK dalam membentuk norma atau paling tidak putusan tersebut bersifat regulatif. Terdapat sebanyak 58 persen atau 107 dari 198 total putusan yang dikabulkan dalam rentang waktu 2012 - 2022 bersifat membentuk norma baru (M. Alief Fariezi, 2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diperparah lagi dengan sifat putusan MK yang self-execution tersebut sangat rentan untuk tidak ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang. Misalnya, baru-baru ini MK telah memutus soal pemilu terpisah antara pemilu nasional dan lokal yang secara langsung mendapat penolakan keras dari pembentuk undang-undang dalam mentaati putusan No. 135/PUU-XXII/2024 tersebut dan Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang Cipta Kerja yang dianggap inkonstitutional bersyarat yang kemudian pemerintah langsung menerbitkan Perpu Cipta Kerja sebagai cara untuk tidak melaksanakan putusan MK.

Materi Muatan Norma Baru MK

Sikap MK yang membentuk norma ini setidaknya perlu dievaluasi kembali. Beberapa akibat hukum yang diciptakan dalam membentuk norma rentan mengabaikan aspek dasar dari materi muatan hukum positif itu sendiri.

ADVERTISEMENT

Pada prinsipnya, hukum menjadi positif dikarenakan ada otoritas yang membentuk melalui lembaga yang difungsikan dalam hal ini adalah kewenangan dari parlemen dan presiden sehingga kemudian berbagai kepentingan, fakta sosial, dan konfigurasi politik terwujud dalam bentuk kesepakatan yang tercatat (positif) melalui undang-undang.

Dengan demikian. norma baru yang dibentuk oleh MK apakah merupakan hukum positif? Hal inilah kemudian yang menyebabkan konflik legislasi antara parlemen dan MK terhadap kedaulatan atas hukum yang dibuat sehingga menciptakan instabilitas lembaga dan rentan abai dalam menindaklanjuti putusan MK itu sendiri.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki keterbatasan mengenai bagaimana kebutuhan soal hukum dan fakta sosial di masyarakat diadopsi. Faktor-faktor seperti sosiologis, yuridis dan filosofis yang berkelindan di masyarakat dalam mencari norma hukum melalui proses penyusunan legislasi secara langsung tidak terlembaga dalam diri hakim konstitusi.

Dengan demikian, kerap kali norma yang dibentuk oleh MK tidak sejalan dengan aspirasi di parlemen sebagai representasi kedaulatan. Oleh sebab itu, sikap restraint MK ini harus dikembalikan bahkan diperkuat sehingga kemudian tidak terjadi misintepretasi kandungan norma yang tidak berbasis pada factor sosial, hukum dan filosofis yang berakibat pada kehilangan kemurnian dari positivisme hukum itu sendiri.

Perihal Alasan Kekosongan Hukum

Apa yang menjadi landasan MK dalam membentuk norma baru selalu dilandaskan pada kekosongan soal hukum. Bahkan putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 mempertegas soal kewenangan MK dalam membentuk norma baru ketika terjadi kekosongan hukum yang kemudian ditafsirkan secara positif.

Lantas apa yang membedakannya dengan Perpu yang sama-sama menjadikan kekosongan hukum sebagai landasan validitas dalam membentuk norma. Apakah kemudian dikarenakan adanya kerugian konstitusional pemohon sehingga kekuasaan kehakiman dapat menciptakan normanya sendiri?

Dengan demikian, ragam problem mengenai norma baru dan materi muatan norma yang terkandung dalam putusan positif MK masih menyisakan persoalan hukum itu sendiri.

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya perdebatan tersebut maka sebaiknya MK selalu mengedepankan prinsip pembatasan (judicial restraint) dalam dirinya sehingga kemurnian hukum yang dibentuk tidak mengganggu kedaulatan legislasi dan materi muatan norma itu sendiri.

Lalu Hartawan Mandala Putra. Advokat dan Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia.

Tonton juga video "MK Diminta Hapus Uang Pensiun Anggota DPR, Puan: Ada Aturannya"

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads