Nol Persen Tarif, Bukan Nol Persen Kedaulatan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Nol Persen Tarif, Bukan Nol Persen Kedaulatan

Senin, 03 Nov 2025 10:21 WIB
Fitria Desi Ulfani
Pemerhati Ekonomi, S2 Moscow Ekonomi Politik Internasional.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Shipping containers are seen at the port of Oakland, as trade tensions continued over U.S. tariffs with China, in Oakland, California, U.S., May 12, 2025. REUTERS/Carlos Barria
Foto: Ilustrasi perang tarif (REUTERS/Carlos Barria)
Jakarta -

Ketika Amerika Serikat menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Malaysia dan Thailand pekan lalu, banyak media menyoroti sisi positifnya: tarif impor nol persen, peningkatan ekspor, dan penguatan hubungan dagang regional.

Namun di balik judul-judul besar itu, tersembunyi klausul-klausul yang kini menimbulkan kegaduhan politik di Kuala Lumpur sendiri, yaitu klausul yang oleh banyak pihak dianggap sebagai bentuk penyerahan sebagian kedaulatan ekonomi Malaysia kepada Washington.

Jakarta membaca tanda-tanda itu lebih awal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Delegasi Indonesia yang hadir dalam forum yang sama di Malaysia memutuskan tidak menandatangani draft perjanjian yang sama. Alasannya jelas, terdapat sejumlah ketentuan yang dinilai berpotensi mengancam kemandirian dan netralitas ekonomi nasional.

Keputusan ini patut diapresiasi. Tenang, rasional, dan sepenuhnya sejalan dengan prinsip dasar kebijakan luar negeri Indonesia: bebas dan aktif.

ADVERTISEMENT

Klausul yang Membuat Malaysia Kecolongan

Dokumen yang kini beredar di parlemen Malaysia menunjukkan bahwa perjanjian dengan AS tersebut mencakup ketentuan yang sangat membatasi ruang gerak ekonomi Malaysia.

Salah satu klausul menyebut bahwa Malaysia wajib berkonsultasi dengan Amerika Serikat sebelum menandatangani perjanjian dagang digital dengan negara lain.

Klausul lain bahkan mengharuskan Malaysia mengikuti langkah embargo AS terhadap negara-negara seperti Tiongkok atau Rusia, terlepas dari apakah hal itu merugikan kepentingan ekonomi Malaysia sendiri.

Tak heran, kritik bermunculan di dalam negeri. Sejumlah ekonom menyebut Malaysia kini terjebak dalam "perjanjian yang berpihak sepihak," sementara oposisi menilai pemerintah telah mengorbankan prinsip netralitas.

Sikap Indonesia tidak berarti anti terhadap Amerika Serikat. Justru sebaliknya, negosiasi dengan Washington masih berjalan dan dijadwalkan rampung setelah pertemuan APEC bulan November.

Airlangga menjelaskan bahwa Indonesia masih menunggu giliran perundingan setelah Malaysia dan Kamboja, disusul Jepang dan Korea Selatan. Fokusnya jelas: mendapatkan manfaat ekonomi yang sama (tarif 0%) tanpa klausul yang mengikat secara politik.

Dengan kata lain, Indonesia ingin manfaat yang sama, tapi dengan syarat yang lebih adil. Kita terbuka untuk kerja sama, tapi bukan untuk ketergantungan.

Selama puluhan tahun, fondasi diplomasi ekonomi Indonesia bertumpu pada prinsip kemandirian dan keseimbangan. Dari era Gerakan Non-Blok hingga strategi Indo-Pasifik saat ini, Indonesia selalu memilih keterlibatan tanpa keterikatan.

Sikap yang diambil pemerintah kali ini kembali membuktikan nilai prinsip itu. Dengan menolak menandatangani perjanjian yang dapat menggerus kedaulatan, Indonesia bukan hanya menjaga posisinya di mata dunia, tetapi juga melindungi haknya untuk menentukan arah ekonomi sendiri.

Kasus Malaysia menjadi pelajaran berharga bahwa tidak semua perjanjian yang terlihat menguntungkan di atas kertas benar-benar menguntungkan dalam jangka panjang. Keputusan Indonesia untuk berhati-hati menunjukkan kematangan diplomasi dan kejelasan prioritas nasional.

Jalan Terukur ke Depan

Pemerintah tetap berkomitmen melanjutkan dialog dengan Amerika Serikat. Targetnya, kesepakatan baru bisa tercapai setelah KTT APEC, dengan isi yang menitikberatkan pada kerja sama ekonomi yang setara.

Tarif 0% bisa tetap berlaku, tetapi Indonesia perlu memastikan setiap kata dalam perjanjian itu berpihak pada kepentingan rakyatnya sendiri.

Langkah ini bukan penolakan terhadap kemitraan, melainkan upaya memastikan kemitraan dibangun di atas dasar yang sejajar.

Di tengah meningkatnya tekanan geopolitik global, langkah tegas Indonesia ini menunjukkan bahwa kedaulatan masih menjadi kompas utama dalam diplomasi ekonomi kita.

Keputusan Indonesia untuk tidak menandatangani kesepakatan seperti Malaysia bukanlah sikap menentang, melainkan sikap menentukan.

Menentukan bahwa kerja sama internasional harus dibangun atas dasar kesetaraan. Menentukan bahwa kedaulatan tidak bisa ditukar dengan fasilitas dagang jangka pendek.

Di saat negara lain sibuk memilih blok, Indonesia kembali memilih jati dirinya sendiri: berdaulat, netral, dan berani menegosiasikan masa depan dengan kepala tegak.


Fitria Desi Ulfani. Pemerhati Ekonomi, S2 Moscow Ekonomi Politik Internasional.

Simak juga Video: Airlangga Sebut RI Nego Tarif Trump 0%, Khusus Sawit hingga Karet

(rdp/tor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads