Komitmen Global, Udara Bersih, dan Peran Transportasi Publik Perkotaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Komitmen Global, Udara Bersih, dan Peran Transportasi Publik Perkotaan

Jumat, 31 Okt 2025 17:35 WIB
Sayyid Muhammad Jundullah
Senior Officer for Health Policy and Community Partnership, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sejumlah warga beraktivitas di Jakarta pada Senin (6/10/2025) saat kualitas udara kembali menjadi sorotan. Langit tampak kelabu meski matahari bersinar, dan indeks kualitas udara menunjukkan kategori tidak sehat.
Ilustrasi (Warga di Jakarta memakai masker untuk menangkal polusi udara / Foto: Pradita Utama)
Jakarta -

Tema penyakit tidak menular (PTM) dan kesehatan mental menyedot perhatian negara-negara anggota PBB. Di sela rangkaian pekan Majelis Umum PBB ke-80 di New York, Amerika Serikat, perwakilan negara-negara menggelar pertemuan tingkat tinggi tentang kedua tema tersebut pada Kamis, 25 September 2025. Pertemuan tersebut bertujuan mendiskusikan dan menyepakati deklarasi politik baru mengenai PTM dan kesehatan mental menuju tahun 2030 dan seterusnya.

Pemangku kepentingan semakin memahami kaitan antara PTM dan kesehatan mental dengan faktor lingkungan, termasuk paparan polusi udara. Agenda ini semakin mendapat tempat di tingkat global dan diharapkan mampu mendorong komitmen di tingkat nasional. Sebab, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menyebut polusi udara diperkirakan menyebabkan 4,2 juta kematian dini di seluruh dunia pada 2019.

Di Indonesia, masalah polusi udara sudah lama menjadi ancaman serius bagi masyarakat, termasuk penduduk urban seperti di Jakarta dan sekitar. Ancamannya nyata, namun acapkali terabaikan. Jika dihitung, udara adalah "makanan" terbesar manusia. Setiap orang umumnya mengonsumsi 11.000 liter udara setiap harinya. Masalahnya, masyarakat seringkali tidak dapat berbuat banyak manakala kualitas udara yang dihirupnya tercemar.

Agenda Global dan Realitas Urban di Jabodetabek

Deklarasi politik di New York bulan lalu bukanlah yang pertama. Dalam deklarasi politik keempat tersebut, negara-negara peserta memperluas fokus pada determinan lingkungan kesehatan dan menawarkan berbagai opsi kebijakan untuk mengatasi polusi udara. Salah satunya dengan mendorong sistem transportasi publik perkotaan yang bersih, efisien, aman, mudah diakses, dan terintegrasi.

Deklarasi ini belum resmi diadopsi karena masih menunggu pemungutan suara di Majelis Umum PBB selanjutnya, meskipun Indonesia termasuk negara yang sudah menyatakan dukungan. Dukungan ini menunjukkan bahwa Indonesia bersedia berjalan searah dengan upaya global penanganan PTM dan promosi kesehatan mental, sekaligus menegaskan komitmen terhadap isu polusi udara yang termuat di dalamnya.

Ketika deklarasi tersebut kelak diadopsi, upaya mengatasi polusi udara tidak boleh berhenti di meja perundingan internasional. Agenda penting berikutnya adalah memastikan masyarakat di tingkat nasional dan lokal lebih memahami hubungan antara kualitas udara dan kesehatan sehari-hari, serta mendorong tindakan nyata untuk peningkatan kualitas udara.

Saat ini, polusi udara telah menjadi realitas urban di Indonesia dengan dampak serius bagi kesehatan masyarakat. Jakarta dan kota-kota satelitnya secara rutin mencatatkan indeks kualitas udara (AQI) tidak sehat. AQI harian Jakarta 140–160, bahkan bisa mencapai 180, dan sering berada di peringkat ketujuh kota paling berpolusi di dunia dengan partikel polusi PM2.5 delapan kali lipat standar WHO. Kota-kota satelit pun tidak luput dari polusi udara: Tangerang Selatan pernah mencatatkan AQI 172, Depok 158, Bekasi 154, dan Bogor 90. Angka AQI mendekati 100 atau lebih, artinya kualitas udara tidak sehat terutama untuk kelompok sensitif.

Paparan polusi udara meningkatkan risiko kematian dini dan penyakit serius seperti penyakit jantung, stroke, penyakit paru obstruktif kronis, kanker paru-paru, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Penelitian tahun 2023 memperkirakan setidaknya 10.000 kematian dini terjadi di Jakarta akibat polusi udara setiap tahun.

Anak-anak menjadi kelompok yang sangat rentan terdampak polusi udara. Terdapat hubungan signifikan antara peningkatan konsentrasi PM2.5 harian dengan peningkatan kasus kunjungan ISPA pada balita di puskesmas. Polusi udara juga berdampak pada kesehatan kognitif dan mental melalui neuroinflamasi dan peningkatan beta-amyloid di otak, meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, bipolar, dan Alzheimer.

Di Jabodetabek, mayoritas polusi PM2.5 berasal dari kendaraan bermotor (67%) dan industri pengolahan (26,8%), sejalan dengan fakta bahwa hampir 80% pelaju masih menggunakan kendaraan pribadi. Temuan ini menegaskan pentingnya pengembangan transportasi publik sebagai bagian dari strategi mengurangi polusi udara di perkotaan.

Menangkal Polusi Lewat Kebijakan yang Kuat dan Sinergis

Momentum Hari Kota Sedunia pada 31 Oktober 2025 menjadi pengingat penting bahwa pembangunan kota harus turut diukur dari seberapa sehat warganya. Sebagai warga kota, selain perlu meningkatkan kesadaran individu dengan pilihan sehari-hari, termasuk soal memilih moda transportasi, kita perlu mendorong lebih banyak perbincangan tentang dampak polusi udara terhadap kesehatan dan kualitas hidup. Hal ini juga mendorong peningkatan kesadaran kolektif serta perubahan kebijakan yang mampu menjamin hak setiap orang untuk menghirup udara bersih.

Sebagai aglomerasi urban terbesar di Indonesia, polusi udara di Jabodetabek tidak mudah diatasi. Meskipun terhubung secara ekonomi, wilayah ini dikelola oleh otoritas administratif yang berbeda-beda dan mobilisasi masyarakat yang masif. Oleh karena itu, koordinasi lintas sektor dan komitmen pemerintah lintas daerah yang sinergis menjadi kunci utama dalam penanganan polusi udara di Jabodetabek.

Sebagai salah satu sektor penyumbang polutan udara tertinggi, perbaikan dan integrasi transportasi publik berdampak besar terhadap kualitas udara Jabodetabek. Sayangnya, upaya perbaikan dan integrasi transportasi publik di wilayah ini masih terfragmentasi. Konektivitas layanan transportasi publik di Jakarta dilansir telah mencapai 91%, tapi kota-kota penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Bogor belum memiliki sistem transportasi publik yang memadai dan terintegrasi dengan baik. Akibatnya, warganya harus mengeluarkan biaya tinggi untuk mobilisasi.

Salah satu contoh fragmentasi adalah pembukaan rute TransJakarta D21, yang pada 2019 direncanakan menghubungkan Lebak Bulus–Terminal Jatijajar, namun akhirnya dibatasi menjadi Lebak Bulus–Universitas Indonesia bahkan hingga sekarang. Penyebabnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Depok gagal mencapai kesepakatan. Kasus ini mencerminkan kompleksitas integrasi transportasi publik di wilayah Jabodetabek.

Konektivitas hanyalah salah satu dari berbagai persoalan transportasi publik di Jabodetabek. Isu lain, seperti aksesibilitas dan kenyamanan, juga masih menjadi tantangan signifikan. Soal aksesibilitas dan kenyamanan mempengaruhi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk menggunakan transportasi publik. Misalnya, penyandang disabilitas yang menghadapi kesulitan mengakses stasiun KRL yang sebagian besar masih bergantung pada tangga untuk berpindah peron.

Sejatinya, Indonesia sudah memiliki program Kabupaten Kota Sehat (KKS) yang berpotensi meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat, termasuk di Jakarta. Tanpa regulasi setingkat Peraturan Presiden yang mampu mengorkestrasi koordinasi lintas sektor, pemberdayaan masyarakat, penguatan kapasitas, dan komitmen pemerintah daerah, program KKS belum mencapai potensi terbaiknya. Masalah lingkungan seperti polusi udara dan transportasi publik pun belum tersentuh secara memadai oleh peraturan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri.

Kota-kota seperti Kopenhagen dan Singapura menjadi contoh keberhasilan dalam menciptakan warga yang lebih sehat melalui sistem transportasi publik yang mudah diakses, efisien, dan berkelanjutan, serta terhubung dengan ruang-ruang publik. Keberhasilan ini didukung oleh regulasi yang kuat, komitmen pemerintah, dan kesadaran publik.

Realitas urban di Jabodetabek menunjukkan pentingnya regulasi yang kuat di tingkat nasional dan komitmen yang sinergis di tingkat daerah. Sinergi ini dapat memperkuat koordinasi lintas sektor dan kolaborasi antar pemerintah daerah demi mewujudkan sistem transportasi publik bersih, efisien, aman, mudah diakses, dan terintegrasi sebagai bagian dari strategi memperbaiki kualitas udara. Pada akhirnya, agenda global mengenai penyakit tidak menular dan kesehatan mental hanya akan bermakna jika diupayakan penerjemahannya hingga ke tingkat nasional dan daerah.

Sayyid Muhammad Jundullah. Senior Officer for Health Policy and Community Partnership, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI). Wisya Aulia Prayudi. Project Lead for Air Pollution Campaign, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads