Hukum, Politik, dan Akal Sehat Digital
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Hukum, Politik, dan Akal Sehat Digital

Jumat, 31 Okt 2025 13:15 WIB
David Pasaribu
Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
poster
Foto: Ilustrasi media sosial dan hukum (Edi Wahyono)
Jakarta -

Beberapa waktu lalu, jagat media sosial riuh oleh perbincangan putusan Mahkamah Konstitusi. Potongan video sidang dibagikan ribuan kali, lengkap dengan tafsir "ahli" yang muncul dari kolom komentar. Ironisnya, sebagian besar warganet tidak pernah membaca dokumen putusan aslinya. "Katanya begini," "saya baca di X," atau "dengar dari YouTube" menjadi dasar kesimpulan hukum.

Fenomena ini menggambarkan wajah masyarakat digital kita hari ini: aktif bersuara tentang hukum dan politik, tetapi sering tanpa pemahaman mendalam. Kita rajin membaca potongan berita, tetapi malas menelusuri sumber primer. Akibatnya, ruang digital yang semestinya memperluas wawasan justru menjadi tempat berkembangnya kesimpulan serampangan.

Di era media sosial, setiap orang bisa tampil seolah-olah pakar. Cukup dengan membuat thread panjang atau video berdurasi satu menit, seseorang bisa mempengaruhi pandangan publik tentang isu hukum atau politik yang kompleks. Di sini, hukum dan politik bergeser maknanya: dari ranah ilmu dan etika publik menjadi sekadar konten yang dinilai dari jumlah like dan viewers.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, literasi hukum tidak berhenti pada pengetahuan tentang pasal dan undang-undang. Ia mencakup kemampuan menafsirkan, menimbang, dan mengaitkan norma hukum dengan prinsip keadilan. Begitu pula literasi politik bukan hanya tahu siapa calon presiden atau partai apa yang menang, melainkan memahami bagaimana kekuasaan bekerja dan dipertanggungjawabkan.

Namun, logika algoritma media sosial tidak mengenal kedalaman. Ia hanya mengenal keterlibatan. Semakin emosional sebuah unggahan, semakin tinggi jangkauannya. Di titik ini, literasi hukum dan politik masyarakat digital diuji. Emosi lebih sering mengalahkan argumentasi.

ADVERTISEMENT

Banjir Informasi, Krisis Nalar

Fenomena banjir informasi membuat kita mudah keliru antara popularitas dan kebenaran. Setiap isu hukum atau politik dengan cepat menjadi viral, tetapi jarang disertai klarifikasi dari sumber resmi. Masyarakat lebih cepat percaya pada potongan video dibanding membaca salinan putusan atau naskah kebijakan.

Contohnya terlihat setiap kali muncul perdebatan soal revisi undang-undang atau kebijakan publik. Sebagian besar diskusi di ruang digital berfokus pada siapa yang diuntungkan atau dirugikan secara politik, bukan pada substansi norma atau tujuan hukum yang hendak dicapai. Politik kehilangan makna rasional, sementara hukum kehilangan wibawanya sebagai pedoman keadilan.

Sosiolog Jรผrgen Habermas pernah membayangkan "ruang publik" sebagai tempat warga berdialog secara rasional dan setara untuk mencari kebenaran (Supriadi, 2017). Namun, ruang publik digital hari ini justru terfragmentasi oleh algoritma. Kita hidup dalam fragmentasi opini masing-masing, di mana kebenaran dibentuk bukan oleh argumen, melainkan oleh frekuensi repetisi.

Antara Hukum dan Politik

Kualitas literasi hukum dan politik saling berkelindan, ibarat tali-temali yang harus dijalin secara sistematis. Masyarakat yang tidak memahami hukum dengan baik akan mudah terbawa arus politik yang emosional. Sebaliknya, politik yang miskin wawasan hukum cenderung menghasilkan kebijakan yang rapuh secara konstitusional.

Di ruang digital, keduanya kini sering kali hanya hadir dalam bentuk slogan. Isu hukum dibungkus dengan bahasa moral yang simplistis, sementara perdebatan politik direduksi menjadi adu rupa. Dalam situasi seperti ini, masyarakat kehilangan kemampuan membedakan antara hukum yang benar dan hukum yang "dibenarkan".

Padahal, demokrasi yang sehat memerlukan warga yang rasional. Hukum berfungsi menjaga agar politik tidak keluar dari rel keadilan, sedangkan politik memastikan hukum tetap berpihak pada kepentingan publik. Jika salah satu melemah, yang lahir adalah kekuasaan tanpa akal sehat.

Tugas Bersama: Mendidik Nalar Publik

Lalu, bagaimana membangun literasi hukum dan politik yang lebih bermakna di era digital?

Pertama, pendidikan kewargaan digital perlu menjadi prioritas nasional. Literasi hukum dan politik harus diajarkan bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai keterampilan berpikir kritis. Siswa perlu diajak membaca teks hukum, memahami struktur argumen, dan menilai validitas informasi.

Kedua, lembaga hukum dan politik mesti beradaptasi dengan cara komunikasi baru. Lembaga tersebut perlu lebih aktif menjelaskan keputusan dan kebijakan mereka dalam bahasa publik yang sederhana. Transparansi bukan hanya membuka data, tetapi menjelaskan makna.

Ketiga, media massa memegang peran strategis dalam menjaga kualitas wacana publik. Di tengah derasnya arus informasi yang serba cepat, media profesional harus tetap menjadi jangkar kedalaman. Kecepatan boleh menjadi ciri zaman digital, tetapi kedalaman adalah penentu peradaban.

Selain itu, masyarakat sipil juga harus berperan aktif menjadi jembatan pengetahuan hukum dan politik. Banyak inisiatif literasi yang kini lahir dari komunitas digital-dari kanal edukasi hukum, diskusi daring, hingga gerakan lawan hoax. Jika diperkuat, semua itu bisa menjadi penopang baru demokrasi yang rasional.

Menjaga Akal Sehat Demokrasi

Pada akhirnya, literasi hukum dan politik bukan sekadar urusan akademik. Ia adalah fondasi akal sehat demokrasi. Masyarakat yang melek hukum tidak mudah tersulut oleh provokasi, dan masyarakat yang melek politik tidak gampang terbuai retorika.

Ketika warga digital memahami hukum bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai nilai; ketika politik dimaknai bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan tanggung jawab sosial-maka ruang digital akan menjadi panggung dialog, bukan pergulatan emosi.

Masa depan hukum dan politik Indonesia ditentukan bukan oleh seberapa cepat kita menggulirkan layar gawai, melainkan seberapa dalam kita memahami makna dari setiap kalimat yang kita baca.

Di sanalah, rasionalitas publik dipertaruhkan. Dan di sanalah pula, peradaban digital kita diuji-antara menjadi bangsa yang sekadar hiruk, atau bangsa yang benar-benar memahami.

David Pasaribu. Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.

Tonton juga Video: Komnas HAM Soroti Kebebasan Berekspresi di Ruang Digital

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads