Indonesia dan Diplomasi Perdamaian: Jalan Baru Saat Dunia Terbelah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Indonesia dan Diplomasi Perdamaian: Jalan Baru Saat Dunia Terbelah

Rabu, 29 Okt 2025 16:09 WIB
Hamdan Hamedan
Ahli Hubungan Internasional, Diaspora dan Komunikasi.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Prabowo di PBB
Foto: Prabowo di PBB (Istimewa)
Jakarta -

Di tengah dunia yang kian terbelah oleh perang dan kecurigaan, Indonesia kembali berbicara dengan bahasa yang paling sulit: bahasa perdamaian. Pujian Presiden Donald Trump kepada Presiden Prabowo Subianto di KTT ASEAN baru-baru ini bukan sekadar basa-basi diplomatik.

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, Indonesia meneguhkan kembali perannya sebagai kekuatan penengah yang mampu menawarkan jalan damai di tengah ketegangan global. Trump bahkan menyebut bahwa perdamaian semacam ini tak pernah terjadi dalam sejarah tiga ribu tahun peradaban manusia.

Pernyataan itu sekilas mengingatkan kita pada catatan sejarawan Will dan Ariel Durant dalam The Lessons of History: "Perang adalah salah satu konstan dalam sejarah, dan tidak berkurang oleh peradaban maupun demokrasi. Dalam 3.421 tahun sejarah yang tercatat, hanya 268 tahun yang benar-benar tanpa perang."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika perang adalah kebiasaan manusia, maka kemampuan sebuah bangsa untuk memelihara perdamaian adalah anomali berharga. Sejarah menunjukkan bahwa hanya sedikit bangsa yang mampu menjadikan perdamaian bukan sekadar jeda antara dua peperangan, melainkan tujuan peradaban itu sendiri. Indonesia kini menapaki jalan itu dan membuktikan bahwa pengaruh dapat digunakan bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk mendamaikan.

Tentu ada yang meragukan bahwa perdamaian semacam ini tidak akan bertahan lama, bahwa di dunia politik, konflik adalah keniscayaan. Namun sejarah juga mengajarkan bahwa perang, betapapun dibenarkan, selalu meninggalkan luka yang lebih dalam daripada kemenangan yang dijanjikan.

ADVERTISEMENT

Salah satu pendiri Amerika Serikat, Benjamin Franklin, menjadi saksi sejarah Perang Revolusi Amerika. Ia menyaksikan penderitaan rakyatnya, kehancuran kota, dan luka sosial yang ditinggalkan oleh perang. Dari pengalamannya itu, ia menegaskan bahwa perang hanya melahirkan kebodohan dan kehancuran, bahkan bagi bangsa yang memenangkannya sekalipun. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa "tidak pernah ada perang yang baik, sebagaimana tidak pernah ada perdamaian yang buruk."

Pandangan Franklin mengingatkan bahwa perang bukan sekadar pertempuran fisik, melainkan kehancuran moral dan kemanusiaan. Perdamaian mungkin rapuh, tetapi justru karena rapuh ia berharga. Ia menuntut kecerdasan, kesabaran, dan keberanian moral, tiga hal yang kini menjadi ciri diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Arah baru ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari visi kepemimpinan yang menempatkan diplomasi bukan sebagai alat tawar, melainkan sarana penyembuhan. Indonesia tampil sebagai jangkar stabilitas di tengah pusaran geopolitik global, membangun kepercayaan, menghadirkan dialog, dan menegaskan posisi sebagai mediator aktif di forum internasional seperti ASEAN dan OKI. Dalam semangat itu, Indonesia meneguhkan perannya sebagai trusted and honest broker di panggung global, menawarkan dialog di saat banyak negara memilih konfrontasi, dan mempertemukan pihak-pihak yang berselisih di saat dunia membutuhkan jembatan, bukan jurang. Dalam setiap langkahnya, Indonesia membawa pesan bahwa pengaruh (influence) tidak terletak pada kemampuan menekan, melainkan pada kemampuan mempertemukan.

Prinsip itu berakar pada amanat konstitusi yang menegaskan tujuan politik luar negeri Indonesia: ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Amanat Pembukaan UUD 1945 inilah yang menjadi raison d'รชtre diplomasi Indonesia, dasar eksistensial yang menuntun arah dan moralitasnya di panggung dunia. Kemerdekaan sejati tidak berhenti pada batas kedaulatan, tetapi meluas menjadi tanggung jawab moral untuk menjaga perdamaian umat manusia.

Dalam kerangka itu, diplomasi Indonesia hari ini mencerminkan semangat ishlah dzat al-bain, yaitu rekonsiliasi dan perbaikan hubungan di antara sesama manusia. Prinsip ini diajarkan oleh Rasulullah ๏ทบ dalam sabdanya yang penuh makna:

"Maukah kalian aku kabarkan tentang sesuatu yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat, dan sedekah? Hal itu adalah mendamaikan persengketaan di antara manusia." (HR. Abu Dawud No. 4919)

Hadis ini menegaskan bahwa mendamaikan manusia bukan sekadar amalan spiritual, melainkan fondasi bagi tatanan sosial yang beradab. Dalam skala yang lebih luas, inilah prinsip yang menjadi ruh dari diplomasi: memperbaiki hubungan, meredakan ketegangan, dan memulihkan kepercayaan di antara bangsa-bangsa. Di tengah dunia yang mudah tersulut oleh kebencian dan kepentingan, nilai ini memberi arah moral bagi diplomasi Indonesia, bahwa kehebatan sejati terletak pada kemampuan memperbaiki tatanan yang rusak dan menenangkan hati yang gelisah.

Sejalan dengan itu, buku War and Peace in Islam, yang disusun oleh para pemimpin dan pemikir dunia Islam sebagai ikhtiar intelektual untuk menumbuhkan perdamaian di Timur Tengah dan dunia, menegaskan bahwa perdamaian bukanlah sekadar ketiadaan perang. Perdamaian adalah keadaan aktif yang menuntut keadilan, kepercayaan, dan perbaikan berkelanjutan di antara bangsa-bangsa. Ia bukan jeda di antara konflik, melainkan proses pembaruan moral dan peradaban.

Pandangan itu berpadu dengan kesimpulan Will dan Ariel Durant dalam The Lessons of History, bahwa dalam perjalanan panjang peradaban manusia, perdamaian terbukti lebih membangun dan lebih menguntungkan bagi kemajuan manusia daripada perang. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang memilih jalan damai justru bertahan lebih lama, membangun lebih banyak, dan meninggalkan warisan yang lebih bermakna daripada mereka yang menaklukkan dengan kekerasan.

Presiden Prabowo memahami kebijaksanaan itu. Ia percaya bahwa kekuatan sejati tidak diukur dari berapa banyak perang yang dimenangkan, melainkan dari berapa lama perdamaian dapat dijaga. Indonesia di bawah kepemimpinannya pun menjalankan politik luar negeri bebas aktif: bebas dalam menentukan sikap moralnya dan aktif dalam menyebarkan manfaat bagi dunia.

Hamdan Hamedan. Ahli Hubungan Internasional, Diaspora dan Komunikasi.

(rdp/tor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads