Di panggung Sidang Majelis Umum ke-80 PBB di New York, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sebuah pesan yang tegas dan lugas. Di hadapan para pemimpin dunia, Prabowo menyatakan "we choose to confront climate change not by slogans but by immediate steps."
Pidato Presiden Prabowo tersebut bukanlah sekadar retorika diplomatik; ini adalah penegasan sikap negara untuk menjalankan aksi nyata dalam menyikapi krisis iklim.
Prabowo memaparkan aksi membangun giant sea wall untuk menanggulangi naiknya permukaan laut di pantai utara, memprioritaskan sektor pertanian untuk membangun ketahanan pangan serta menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, memperkuat ekonomi kerakyatan untuk mengentaskan kemiskinan, serta mempercepat komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission sebelum 2060.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pidato ini menegaskan perhatian Indonesia terhadap agenda sustainability, sebuah agenda untuk mengubah haluan pembangunan from growth to equilibrium. Namun, apa sesungguhnya makna sustainability atau keberlanjutan yang digaungkan Presiden? Di mana posisi ideologi bangsa kita dalam narasi global ini?
Menerjemahkan Tiga Pilar Keberlanjutan
Secara umum, dunia memahami keberlanjutan melalui kerangka Triple Bottom Line (TBL): People (Manusia), Planet (Lingkungan), dan Profit (Kemakmuran). Tiga pilar ini harus berjalan seimbang.
Sebuah pembangunan tidak bisa disebut berhasil jika hanya mengejar kemakmuran ekonomi (profit) namun mengorbankan kelestarian lingkungan (planet) dan menafikan keadilan sosial (people). Kerangka global seperti Sustainable Development Goals (SDGs) adalah turunan teknokratis dari prinsip dasar ini.
Dalam konteks ini, pidato Prabowo sejatinya memetakan tiga pilar tersebut dengan jelas. Komitmen Net Zero Emission lebih awal dari target 2060 adalah pilar Planet. Upaya menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia dan mengentaskan kemiskinan adalah pilar People dan Profit (Kemakmuran).
Pancasila: Haluan Keberlanjutan Asli Indonesia
Pertanyaan fundamental bagi kita sebagai bangsa adalah apakah sustainability merupakan konsep yang kita impor? Apakah kita sekadar mengadopsi TBL atau SDGs karena tuntutan global? Jawabannya adalah tidak.
Jauh sebelum konsep sustainability menjadi kajian The Club of Rome (1972) maupun menjadi komitmen melalui Paris Agreement (2015), para pendiri bangsa telah mencanangkan haluan keberlanjutan secara filosofis dan kokoh di dalam Pancasila. Pancasila, pada hakikatnya, adalah haluan keberlanjutan orisinal Indonesia.
Lima Sila Sebagai Haluan Keberlanjutan
Sila Pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," adalah fondasi etis dan spiritual dari keberlanjutan. Sila ini menempatkan manusia dalam relasinya dengan Sang Pencipta, yang secara implisit memberikan mandat kekhalifahan atau stewardship (penjagaan; kata steward dalam bahasa Inggris kuno berarti penjaga rumah) atas bumi. Merusak alam dan abai terhadap keseimbangan ekosistem adalah bentuk pengingkaran terhadap amanah spiritual tersebut.
Seruan untuk tidak merusak bumi termaktub seperti dalam surat Al A'raf ayat 56: "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik".
Sila Kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," adalah pilar People dalam terminologi TBL. Kata "adil" tidak hanya berlaku untuk manusia yang hidup hari ini, tetapi juga mencakup keadilan lintas generasi (intergenerational justice). Kita sangat tidak bertanggung jawab jika mewariskan bumi yang rusak kepada anak cucu kita. Kata "beradab" menegaskan bahwa pembangunan harus meninggikan harkat manusia.
Sila Ketiga, "Persatuan Indonesia," adalah pilar kohesi sosial dan governance. Krisis iklim adalah musuh bersama yang tidak bisa dihadapi dengan ego sektoral. Dibutuhkan gotong royong skala nasional untuk melakukan transisi energi, membangun ketahanan pangan serta mewujudkan kemakmuran bersama. Tanpa persatuan, mewujudkan aksi nyata keberlanjutan dalam skala besar mustahil terwujud.
Sila Keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan," adalah pilar partisipasi publik. Keberlanjutan bukan proyek negara yang diputuskan di ruang tertutup.
Ia membutuhkan "hikmat kebijaksanaan" yang lahir dari "permusyawaratan." Suara kelompok terdampak dan termarjinalkan, seperti buruh, nelayan, petani serta masyarakat pedesaan, harus didengar dan terwakili melalui proses yang inklusif.
Sila Kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," mengharuskan agar Profit yang dihasilkan negara dikonversi menjadi Prosperity (Kemakmuran) dan Equity (Keadilan).
Sila ini menuntut agar hasil-hasil pembangunan, termasuk akses terhadap energi bersih, pangan yang cukup, lingkungan yang sehat serta pendidikan yang berkualitas didistribusikan secara adil dan dirasakan seluruh lapisan sosial rakyat, bukan hanya sebagian.
Ujian Menjalankan Aksi Nyata Keberlanjutan
Dengan demikian, apa yang disampaikan Presiden Prabowo di PBB bukanlah komitmen terhadap sebuah konsep asing. Itu adalah intisari dari nilai-nilai Pancasila. Pidatonya adalah penegasan bahwa cara Indonesia mencapai keberlanjutan adalah dengan mengamalkan falsafah dasarnya sebagai haluan pembangunan.
Tantangan terbesar kini ada pada mengawal aksi tersebut agar berdampak kepada keberlanjutan Indonesia. Kebijakan dan program kerja tidak hanya harus efektif secara teknis tetapi juga adil secara sosial (Sila 5), partisipatif (Sila 4), dan dilandasi kesadaran kolektif (Sila 3), sambil terus memanusiakan manusia (Sila 2) dan mengingat mandat spiritual kita untuk kekhalifahan atau stewardship (Sila 1).
Jalan keberlanjutan Indonesia adalah jalan ideologis. Keberhasilan program kerja transisi energi, ketahanan pangan, serta pemerataan ekonomi dan pendidikan tidak akan diukur hanya dari laporan angka-angka semata, tetapi dari sejauh mana implementasinya mencerminkan kelima sila secara utuh dan seimbang.
Mari sudahi era pembangunan yang secara ilusif hanya fokus kepada pertumbuhan tanpa pemerataan dan pelestarian. Mari mulai era baru pembangunan dengan orientasi keberlanjutan demi kepentingan generasi mendatang. Sebagai catatan penutup, Indonesia saat ini menduduki peringkat 72 dari 122 negara dalam hal intergenerational solidarity index.
Rahmat Hidayat Pulungan. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU.
Simak juga Video Prabowo: Selamat Sumpah Pemuda, Lanjutkan Perjuangan











































