Setiap tanggal 28 Oktober, kita selalu mendengar tiga kalimat sakral yang diwariskan sejarah: bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu.
Tiga kalimat itu dulu lahir dari ruang rapat sederhana di Jalan Kramat Raya, tapi gaungnya menembus zaman.
Namun, sembilan puluh tujuh tahun kemudian, pertanyaan besarnya masih sama: apa arti Sumpah Pemuda di era digital seperti sekarang?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi generasi yang tumbuh dengan layar di tangan dan kabar dari seluruh dunia dalam satu klik, mencintai tanah air bukan lagi soal mengangkat bendera atau menyanyikan lagu kebangsaan dengan lantang.
Sekarang, bentuknya bisa sederhana: memerangi hoaks, tidak menyebar kebencian, atau sekadar menjaga ruang digital tetap aman dan beradab.
Sebagai Wasekjend KOPRI PB PMII, saya melihat betapa banyak pemuda hari ini punya semangat, tapi sering kali tidak tahu harus menyalurkannya ke mana. Di kampus, di media sosial, bahkan di organisasi, semangat nasionalisme sering redup oleh kelelahan dan apatisme.
Padahal, Sumpah Pemuda bukan cuma sejarah-tapi kompas moral yang seharusnya menuntun arah perjuangan kita hari ini.
Cinta Tanah Air Bukan Sekadar Tagar
Kita hidup di zaman ketika nasionalisme bisa viral lewat satu tagar, tapi bisa hilang dalam satu isu trending. Setiap tahun, media sosial dipenuhi unggahan "Selamat Hari Sumpah Pemuda!" dengan emoji bendera dan kalimat heroik. Tapi setelah itu, apa?
Menurut data BPS 2024, 70 persen pemuda Indonesia aktif di media sosial, namun hanya seperempat yang ikut kegiatan sosial di masyarakat.
Artinya, banyak yang cinta Indonesia di dunia maya, tapi belum tentu terlibat di dunia nyata.
Kita sibuk memperdebatkan siapa yang paling cinta NKRI, tapi lupa membuktikan cinta itu lewat kerja kecil: belajar sungguh-sungguh, menjaga lingkungan, membantu orang di sekitar, atau menyebar kebaikan di ruang digital. Cinta tanah air bukan soal siapa paling lantang bicara, tapi siapa paling konsisten berbuat.
Dan di era digital ini, bentuk cinta itu bisa sesederhana tidak ikut menyebar hoaks, tidak membully orang berbeda pandangan, dan menjaga ruang diskusi tetap sehat.
Menjadi Pemuda yang Membuat Ruang Aman
Melalui gerakan Ruang Aman, saya belajar bahwa cinta tanah air tidak bisa dipisahkan dari cinta pada sesama. Bagaimana kita bisa mencintai Indonesia kalau kita masih membenci sesama warga negaranya hanya karena berbeda keyakinan, pandangan politik, atau pilihan hidup?
Pemuda seharusnya menjadi jembatan - bukan tembok. Menjadi penenang di tengah polarisasi, bukan justru memperkeruhnya. Itulah makna baru dari Sumpah Pemuda: bersatu bukan berarti seragam, tapi saling menghargai dalam perbedaan.
Kita tidak lagi hidup di masa perang fisik, tapi kita sedang menghadapi "perang narasi". Perang melawan kebencian, disinformasi, dan rasa putus asa.
Maka tugas pemuda hari ini adalah menjaga Indonesia tetap waras dan penuh harapan.
Kita mungkin tidak bisa mengubah dunia dalam semalam, tapi kita bisa mulai dari hal kecil yang menumbuhkan: menulis hal baik, berbicara dengan empati, dan membangun ruang digital yang aman untuk semua.
Sumpah Pemuda Hari Ini: Dari Layar ke Aksi
Pemuda 1928 bersumpah di atas kertas dan keyakinan. Pemuda 2025 harus bersumpah lewat tindakan dan konsistensi.
Sumpah kita hari ini bukan lagi sekadar "satu bangsa", tapi satu tekad: menjadi warga yang bertanggung jawab di dunia nyata dan dunia maya.
Bukan sekadar "satu bahasa", tapi satu suara: menolak kebencian, menumbuhkan kasih, dan menjaga kemanusiaan.
Mungkin cinta tanah air sekarang tidak lagi diukur dari seberapa keras kita berteriak "Merdeka!", tapi seberapa dalam kita berbuat untuk menjaga Indonesia tetap manusiawi. Dan di situlah, semangat Sumpah Pemuda kembali hidup - bukan di pidato, tapi di tindakan. Bukan di spanduk, tapi di sikap.
Raden Siska Marini. Wasekjend KOPRI PB PMII dan Founder Ruang Aman.
Simak juga Video 'Ramai-ramai Kibarkan Merah Putih di Hari Sumpah Pemuda':
(rdp/imk)










































