Ekonomi Regeneratif Pemuda
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ekonomi Regeneratif Pemuda

Selasa, 28 Okt 2025 13:12 WIB
Edi Setiawan
Dosen dan Peneliti FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi inflasi ekonomi
Foto: Ilustrasi ekonomi (Freepik/freepik)
Jakarta -

Setiap generasi memiliki cara sendiri untuk menebus janji kebangsaan. Tahun 1928, para pemuda berikrar untuk bersatu dalam bahasa, bangsa, dan tanah air yang satu. Kini, hampir seabad kemudian, generasi muda dihadapkan pada tantangan baru: bukan lagi melawan penjajahan politik, tetapi mengatasi ketimpangan ekonomi, krisis iklim, dan sistem yang menempatkan manusia hanya sebagai roda konsumsi.

Inilah saatnya muncul Sumpah Pemuda versi baru: sumpah kedaulatan ekonomi yang regeneratif-ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga memulihkan; tidak hanya menguntungkan segelintir, tetapi menyejahterakan semua; tidak hanya berorientasi laba, tetapi juga keberlanjutan.

Model ekonomi lama yang bertumpu pada pertumbuhan tak terbatas kini mencapai batasnya. Dunia tengah menanggung akibatnya: krisis iklim, eksploitasi sumber daya, dan ketimpangan sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Indonesia, data Bappenas (2024) menunjukkan bahwa 70% potensi ekonomi hijau belum tergarap, padahal nilai pasarnya mencapai Rp 4.000 triliun pada 2030.

Pemuda bisa menjadi lokomotif perubahan paradigma ini. Mereka memiliki energi, kreativitas, dan kemampuan digital untuk membangun ekonomi regeneratif- sistem ekonomi yang tak sekadar berkelanjutan (sustainable), tetapi memperbaiki (restorative). Artinya, setiap inovasi dan bisnis tidak hanya mengurangi dampak negatif, tapi juga memperkuat keseimbangan sosial dan ekologis.

ADVERTISEMENT

Kita sudah melihat benihnya tumbuh: petani muda membangun pertanian organik dengan sensor digital; desainer muda mengubah limbah tekstil menjadi mode sirkular; pengembang aplikasi menciptakan sistem keuangan mikro berbasis komunitas. Gerakan kecil ini menandakan perubahan besar: dari ekonomi eksploitatif menuju ekonomi regeneratif.

Pemuda dan Tantangan Ekonomi Hijau

Sayangnya, sistem ekonomi nasional belum sepenuhnya berpihak pada arah baru ini. Riset ISEAS (2024) mencatat, hanya 8% UMKM muda yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam usahanya.

Hambatan utamanya bukan niat, melainkan ekosistem: sulitnya akses modal hijau, lemahnya insentif fiskal dan minimnya infrastruktur pendukung.

Padahal, dunia tengah bergerak ke arah ekonomi hijau. Uni Eropa dan Jepang kini memberlakukan carbon border tax, dan perusahaan global menuntut rantai pasok rendah emisi. Bila Indonesia ingin bertahan di pasar global, maka regenerasi ekonomi menjadi keharusan, bukan pilihan.

Pemerintah dapat membuka peluang lewat Dana Transisi Hijau Pemuda, misalnya, yang menyalurkan pembiayaan mikro untuk startup hijau dan koperasi energi terbarukan. Sementara perguruan tinggi perlu menjadi inkubator regeneratif-bukan hanya melatih bisnis plan, tapi juga menanamkan nilai etika lingkungan dan sosial.

Dari Wirausaha ke Wira-Pemulih

Dalam sistem ekonomi regeneratif, pemuda bukan sekadar entrepreneur, melainkan restorer- pemulih. Mereka mencipta nilai ekonomi sambil memperbaiki keseimbangan sosial. Contohnya, komunitas Waste4Change dan Mycotech Lab yang didirikan anak muda mampu menciptakan lapangan kerja sekaligus mengurangi limbah dan emisi karbon.

Nilai tambah generasi muda bukan hanya pada produk, tapi juga pada nilai sosial yang melekat padanya. Ketika bisnis menjadi sarana memulihkan ekosistem, maka pertumbuhan ekonomi berubah makna: dari kompetisi menjadi kolaborasi, dari akumulasi menjadi keberlanjutan. Inilah semangat baru Sumpah Pemuda: ekonomi sebagai alat pembebasan, bukan eksploitasi.

Digitalisasi dan Solidaritas Ekonomi Baru

Era digital memberi peluang besar bagi ekonomi regeneratif. Melalui teknologi, pemuda dapat menghubungkan produsen lokal dengan pasar global tanpa perantara besar. Platform digital bisa menjadi wadah ekonomi solidaritas- di mana transaksi membawa dampak sosial nyata bagi komunitas.

Kita bisa membayangkan lahirnya platform Sumpah Pemuda Digital: ruang bersama yang mempertemukan wirausahawan muda, petani, desainer, dan programmer dalam ekosistem kolaboratif. Setiap transaksi di sana tidak hanya menghasilkan keuntungan, tetapi juga kontribusi pada lingkungan dan masyarakat.

Namun, agar digitalisasi tidak jatuh menjadi kolonialisme baru, negara perlu hadir mengawal kedaulatan data dan algoritma ekonomi. Jangan sampai semangat wirausaha muda kembali terjerat dalam struktur monopoli platform asing.

Desentralisasi Regeneratif

Ekonomi regeneratif tidak bisa tumbuh dari pusat saja. Ia harus berakar di daerah, di mana sumber daya alam dan manusia saling bertaut. Karena itu, pemuda desa perlu dilihat bukan sebagai penerima bantuan, melainkan aktor pembangunan baru.

Di banyak daerah, muncul gerakan ekonomi regeneratif: kopi lestari di Toraja, tenun sirkular di Sumba, ekowisata mangrove di Banyuwangi. Semua digerakkan oleh anak muda.

Mereka tidak menunggu program, melainkan menciptakan sistem ekonomi yang memulihkan lingkungan sekaligus menumbuhkan martabat lokal. Negara seharusnya memberi ruang otonomi ekonomi bagi mereka: perizinan yang mudah, akses logistik yang adil, dan kebijakan pajak yang berpihak pada inisiatif regeneratif.

Etika dan Keadilan Antar Generasi

Ekonomi regeneratif tidak hanya soal inovasi, tetapi juga soal etika. Pemuda hari ini mewarisi dunia yang sudah rusak oleh generasi sebelumnya: krisis iklim, polusi, ketimpangan. Karena itu, tanggung jawab mereka bukan sekadar mencari keuntungan, tetapi memulihkan warisan yang rusak.

Dalam bahasa ekonomi, ini disebut intergenerational justice-keadilan antar generasi. Sumpah Pemuda versi baru adalah janji moral bahwa generasi ini tidak akan mengulangi kesalahan yang sama: merusak lingkungan demi pertumbuhan jangka pendek. Pemuda harus menjadi penjaga nurani ekonomi baru: yang adil, transparan, dan menghormati alam.

Sumpah Regeneratif untuk Indonesia

Kini saatnya Sumpah Pemuda menemukan makna baru di abad digital dan krisis iklim. Bukan lagi sumpah untuk bersatu dalam bahasa, tetapi untuk bersatu memulihkan bumi dan menegakkan kedaulatan ekonomi bangsa.

Ekonomi regeneratif bukan utopia, melainkan jalan tengah antara idealisme dan realitas. Ia mengajarkan bahwa bisnis bisa etis, pertumbuhan bisa adil, dan teknologi bisa memerdekakan.

Ketika jutaan pemuda Indonesia bersumpah untuk berinovasi tanpa merusak, mencipta sambil memulihkan, dan berbagi tanpa kehilangan, maka bangsa ini akan menemukan kemerdekaan sejatinya: kemerdekaan ekonomi yang manusiawi dan berkelanjutan.

Edi Setiawan. Dosen dan Peneliti FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.

Simak Video Tambah Tahu: Fakta dan Sejarah Sumpah Pemuda sebagai Tonggak Nasionalisme Indonesia

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads