Hari ini, 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Sumpah Pemuda--momentum monumental ketika para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul di Batavia pada tahun 1928. Mereka datang dari latar belakang etnik, agama, dan organisasi berbeda, tetapi bersatu dalam satu tekad: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa - Indonesia.
Namun, yang kerap terlupakan dari Kongres Pemuda II itu adalah bahwa salah satu sidang utamanya membahas pendidikan dan guru.
Dalam sidang di Gedung Oost-Java Bioscoop, dua tokoh muda tampil membahas soal pendidikan: Poernomowulan dan Sarmidi Mangunsarkoro, pendidik Taman Siswa. Mereka menegaskan bahwa kemerdekaan bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan kebangsaan - pendidikan yang menumbuhkan karakter, kesadaran, dan demokrasi, bukan sekadar keterampilan baca tulis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka juga menekankan pentingnya keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, antara pengetahuan dan keteladanan.
Dengan kata lain, Sumpah Pemuda tidak hanya melahirkan ikrar kebangsaan, tetapi juga cita-cita pendidikan nasional. Para pendiri bangsa memahami bahwa bahasa dan pendidikan adalah dua sisi dari koin yang sama: satu membangun komunikasi, yang lain membangun peradaban.
Dari Sumpah Pemuda ke Realitas Pendidikan Masa Kini
Hampir seabad kemudian, pertanyaan penting muncul: apakah cita-cita pendidikan kebangsaan itu masih hidup dalam sistem pendidikan kita hari ini?
Jika pada 1928 para pemuda berdebat tentang bagaimana pendidikan dapat membentuk manusia merdeka, maka kini kita harus bertanya: mengapa pendidikan kita justru menjauh dari semangat kemerdekaan itu?
Setelah Reformasi, Indonesia memang tumbuh menjadi pasar modern yang menggeliat. Kota-kota lapis kedua seperti Pekanbaru, Palembang, Samarinda, dan Mataram kini dipenuhi pusat perbelanjaan, kafe, dan jaringan toko modern. Alfamart, Indomaret, dan Circle K menembus desa-desa yang dulu sunyi dari hiruk-pikuk ekonomi.
Jalan tol, bandara, dan kabel serat optik menyambung pulau ke pulau. Dompet digital menghubungkan warung di pelosok dengan ekonomi nasional.
Dalam hampir semua bidang kehidupan-perdagangan, infrastruktur, kesehatan, dan teknologi-Indonesia melaju pesat. Kecuali satu: pendidikan melangkah mundur.
Dua puluh lima tahun setelah demokrasi menjanjikan kebangkitan, sektor pendidikan justru menjadi kisah kemunduran di tengah kemajuan. Negara menggelontorkan lebih dari Rp700 triliun setiap tahun, sekitar seperlima dari total APBN, namun hasilnya tetap jauh dari harapan.
Anak-anak Indonesia bersekolah rata-rata dua belas tahun, tetapi mutu pengetahuan yang diperoleh setara dengan delapan tahun efektif belajar. Kita pandai menghitung kehadiran siswa di ruang kelas, namun abai menghitung sejauh mana mereka memahami cara belajar sepanjang hayat.
Saya masih ingat masa ketika bersekolah di SMP di Riau dan kemudian melanjutkan ke SMA di Sumatera Barat, dua provinsi yang kala itu masih memiliki tradisi kuat dalam mutu guru dan sekolah negeri.
Sekolah negeri adalah simbol kesetaraan, tempat di mana anak dari keluarga sederhana dan anak pejabat duduk di bangku yang sama, memikul cita-cita yang sama.
Hampir semua guru saya waktu itu adalah lulusan IKIP Padang atau IKIP Sumatera Utara. Mereka adalah yang terbaik di generasinya, yang memilih menjadi guru sebagai panggilan pertama. Mereka berwibawa, terdidik, dan dihormati masyarakat. Menjadi guru waktu itu bukan sekadar profesi, tetapi bentuk pengabdian yang mulia.
Namun setelah IKIP dihapus dan diubah menjadi universitas umum, mata rantai itu terputus. Pendidikan keguruan kehilangan jati diri, dan profesi guru kehilangan martabatnya.
Guru tidak lagi menjadi pilihan pertama bagi siswa terbaik, melainkan pilihan ketiga atau terakhir setelah gagal masuk bidang lain. Bersamaan dengan turunnya gengsi, pendapatan guru pun merosot. Profesi yang dulu terhormat kini sering dipandang sebagai simbol perjuangan tanpa penghargaan.
Kebijakan mengubah IKIP menjadi universitas umum mungkin menjadi kesalahan terbesar pasca-Reformasi.
Lembaga yang dulu menjadi "pabrik guru" itu pernah melahirkan tenaga pendidik berdisiplin, beretika, dan berkompetensi tinggi. Ketika diubah, sistem yang terbukti berhasil itu lumpuh.
Kampus hasil konversi gagal menjadi universitas riset yang unggul, sekaligus kehilangan kekuatan dalam menyiapkan calon guru. Dalam satu kebijakan, Indonesia meruntuhkan pilar utama mutu pendidikan publiknya sendiri.
Jurang Pendidikan: Negeri Tertinggal, Swasta Melesat
Kini dampaknya terasa nyata. Kita memiliki jutaan guru, tetapi banyak yang tidak tersertifikasi, tidak merata, dan minim pembinaan. Ribuan sekolah di pelosok kekurangan guru, sementara di kota besar justru berlebihan.
Di sisi lain, sekolah-sekolah swasta di kota besar kini mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan guru dengan kualitas tinggi.
Banyak di antara mereka merekrut top graduate in their class, lalu mengirimkan para guru muda itu ke berbagai teacher training berstandar global yang selalu up-to-date terhadap perkembangan pedagogi modern.
Sekolah-sekolah ini menguasai bahasa inovasi: project-based learning, inquiry-based learning, blended learning, hingga AI-empowered education.
Mereka meniru praktik terbaik dunia dan berhasil membangun lingkungan belajar yang merangsang kreativitas serta berpikir kritis.
Jurang ini tak bisa ditutup hanya dengan subsidi atau kurikulum baru; ia membutuhkan revolusi di hulunya - sistem pencetak guru.
Kontras ini menciptakan jurang baru: kualitas pendidikan negeri yang menurun dan mutu sekolah swasta yang melesat. Dahulu, generasi saya bangga menjadi murid sekolah negeri - itu lambang kesetaraan dan kebangsaan.
Namun kini, hampir semua teman seangkatan saya memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta. Sekolah-sekolah itu terus tumbuh, namun hanya dapat diakses oleh kalangan mampu.
Sementara kelas menengah bawah terperangkap dalam sistem sekolah negeri yang rusak dan tertinggal.
Maka peribahasa lama "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin" kini berubah menjadi peribahasa baru zaman pendidikan: "The rich get smarter, the poor get dumber."
Ketimpangan ini bukan sekadar sosial, melainkan eksistensial: bangsa tanpa pemerataan kecerdasan akan kehilangan masa depannya.
Menghidupkan Kembali IKIP dan Membangun Guru Global
Sudah saatnya Indonesia menghidupkan kembali sebelas IKIP sebagai universitas keguruan unggulan-UPI Bandung, UPI Padang, UPI Bali, UPI Makassar, dan lainnya. Kampus-kampus ini harus menjadi rumah bagi calon guru terbaik bangsa - pusat keunggulan yang memadukan pedagogi, teknologi, dan riset.
Bagian penting dari revolusi pendidikan masa kini adalah menghidupkan kembali semangat multilingualisme guru. Guru-guru baru yang dididik di UPI hasil reorganisasi nasional harus menguasai lebih dari satu bahasa: minimal bahasa Inggris sebagai bahasa ilmu pengetahuan global, dan satu bahasa asing lain sebagai jendela dunia.
Dengan kemampuan ini, guru-guru abad ke-21 tidak hanya akan mengajarkan matematika atau sains, tetapi juga menyalakan keberanian berpikir dalam bahasa dunia.
Karena hanya bangsa yang menguasai bahasa pengetahuanlah yang dapat berdiri sejajar di antara bangsa-bangsa besar.
Setiap tahun, Indonesia menghadapi gelombang besar pensiun guru lama. Data Kemendikbudristek menunjukkan, rata-rata lebih dari 60 ribu guru akan pensiun setiap tahun hingga 2030.
Artinya, kita memiliki kesempatan emas untuk melahirkan generasi guru baru - lebih muda, lebih melek teknologi, lebih fasih berbahasa, dan lebih siap menghadapi abad pengetahuan.
Diperlukan darah segar guru baru-lulusan terbaik dari UPI yang direvitalisasi. Para guru ini harus berasal dari 30 persen teratas di setiap angkatan pelajar, memiliki kemampuan bilingual, dan sejak awal dibentuk untuk mampu mengajar matematika dan sains dalam bahasa Inggris.
Hal ini bukan utopia. Dalam pengalaman saya membangun sekolah baru maupun meng-upgrade sekolah menjadi berstandar global, semakin muda gurunya, semakin baik pula kefasihan bahasa Inggris mereka dibanding para seniornya. Karena itu, membangun generasi baru guru global bukanlah hal mustahil-ia hanya membutuhkan arah, sistem, dan kemauan politik.
Menciptakan generasi guru dan murid bilingual adalah kunci kemajuan Indonesia di masa depan.
Mengembalikan Martabat Guru dan Kepemimpinan Pendidikan
Guru-guru hebat akan melahirkan murid-murid hebat. Mereka tumbuh dengan critical thinking, tahu cara belajar yang benar, dan bermental pencipta, bukan sekadar pemakai pengetahuan.
Revolusi guru ini akan mengubah arah sistem pendidikan: dari sekadar mencetak lulusan menjadi mencetak penemu dan pembaru.
Namun semua itu takkan berarti tanpa mengembalikan martabat guru. Terlalu lama kita memuja slogan "guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa." Ungkapan itu indah, tetapi menyesatkan. Guru bukan pahlawan tanpa tanda jasa-guru adalah pahlawan dengan tanda jasa.
Dalam konteks inilah kita perlu kembali merenungi pesan abadi Ki Hadjar Dewantara: "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani."
Selama kita gagal menempatkan guru di posisi ing ngarso--sebagai garda depan kebangkitan bangsa--maka sebaik apa pun kurikulum, teknologi, dan anggaran, semuanya akan tetap kehilangan jiwa.
Selain itu, Presiden perlu membentuk Dewan Pendidikan Nasional--lembaga penasihat tertinggi berisi para resi, begawan, dan tokoh pendidikan bangsa dari berbagai latar belakang.
Selama ini kita memiliki Dewan Energi Nasional dan Dewan Ekonomi Nasional, namun belum memiliki Dewan Pendidikan, padahal masa depan bangsa sepenuhnya ditentukan oleh kualitas pendidikannya.
Dengan latar belakang Presiden Prabowo Subianto sebagai anak seorang guru besar dan begawan ekonomi, beliau memiliki dua dimensi penting: intelektualitas dan jiwa keprajuritan.
Kombinasi inilah modal untuk memimpin revolusi pendidikan sejati. Seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Vietnam, Indonesia harus menempatkan pendidikan di bawah kepemimpinan strategis kepala negara, bukan sekadar administrasi kementerian.
Beliau telah memulainya dengan program sekolah rakyat untuk anak-anak dari keluarga miskin, revitalisasi ruang kelas rusak, pembagian papan tulis pintar, dan pembangunan sekolah unggulan Garuda bagi anak-anak berprestasi.
Langkah-langkah ini menjadi fondasi strategis di tahun pertama pemerintahannya. Semoga refleksi dan gagasan tentang pendidikan dan guru dalam tulisan ini dapat menjadi masukan untuk tahun-tahun selanjutnya.
Sejurus waktu setelah Sumpah Pemuda 1928, dua dekade kemudian, putra seorang guru bernama Sukarno mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan.
Hari ini, di bawah kepemimpinan putra seorang guru lainnya, Prabowo Subianto, semoga cita-cita kemerdekaan itu menjelma menjadi kemajuan. Bila Sukarno memerdekakan bangsa ini dari penjajahan, semoga Prabowo memerdekakan pendidikan Indonesia dari keterbelakangan-menuju era keemasan 2045.
Miftah Sabri. Pendiri Akademi Kader Bangsa.
Simak Video Tambah Tahu: Fakta dan Sejarah Sumpah Pemuda sebagai Tonggak Nasionalisme Indonesia











































