Di tengah semakin nyata krisis lingkungan global--hutan menyusut, air tercemar, udara menipis kualitasnya--kita seolah dipaksa untuk mengajukan sebuah pertanyaan mendasar: di mana posisi moral agama dalam menghadapi kerusakan bumi?
Pada momen Hari Santri Nasional 2025, penulis ingin menyumbangkan gagasan tentang Nalar Hijau Pesantren.
Sebagai negeri dengan ratusan ribu lembaga keagamaan dan lebih dari empat puluh ribu pesantren (Data terbaru Kementerian Agama 2024/2025, terdapat 42.433 pesantren aktif), Indonesia sesungguhnya memiliki potensi luar biasa untuk melahirkan etika ekologis berbasis spiritualitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, potensi tersebut masih belum tergarap maksimal. Pesantren, yang selama berabad-abad menjadi benteng moral dan kebudayaan Islam Nusantara, belum seluruhnya menjadikan lingkungan hidup sebagai bagian dari tanggung jawab keagamaannya.
Padahal, jika kita kembali kepada akar teks dan tradisi Islam, ajaran tentang tanggung jawab ekologis sangatlah kuat. Dalam Al-Qur'an, manusia disebut sebagai khalifatullah fil-ardh (wakil Tuhan di muka bumi) yang diberi mandat bukan untuk menguasai. Akan tetapi, untuk memakmurkan dan menjaga keseimbangannya. Dengan demikian, merusak alam sama artinya dengan mengkhianati amanah kekhalifahan itu sendiri.
Nalar Hijau
Dalam pandangan penulis, pesantren sesungguhnya memiliki modal besar untuk menumbuhkan apa yang penulis sebut "nalar hijau", yakni cara berpikir logis yang menempatkan manusia, alam, dan Tuhan dalam hubungan yang harmonis.
Nilai-nilai dasar pesantren sejatinya sangat ekologis. Konsep tawazun (keseimbangan), mashlahah (kebermanfaatan), qana'ah (kesederhanaan), dan ihsan (berbuat baik secara sadar) merupakan pilar etika yang, jika diterapkan dalam konteks lingkungan, akan menjadi panduan luar biasa.
Misalnya, tawazun menuntun manusia untuk tidak berlebihan dalam mengambil dari alam. Qana'ah mengajarkan kecukupan dan menghindari gaya hidup konsumtif. Ihsan menggerakkan hati untuk memperlakukan makhluk hidup lain dengan kasih.
Sementara mashlahah menegaskan bahwa setiap tindakan harus membawa kebermanfaatan yang lebih luas bagi kehidupan.
Sayangnya, nilai-nilai luhur ini sering kali berhenti pada tataran moral individual dan belum dikembangkan sebagai paradigma sosial. Padahal, bila nalar hijau ini dihidupkan kembali, pesantren dapat menjadi pusat pembentukan kesadaran ekologis yang berakar pada spiritualitas Islam.
Dalam wacana keagamaan, isu lingkungan sering dibahas dalam kerangka hukum Islam (Fiqih), misalnya larangan menebang pohon sembarangan, anjuran menjaga air, atau keutamaan menanam pohon.
Tetapi tantangan lingkungan modern membutuhkan pendekatan yang lebih luas: bukan hanya hukum yang mengatur, tetapi etika yang menginternalisasi kesadaran ekologis dalam kehidupan sehari-hari.
Nalar hijau pesantren bukan sekadar menambah bab tentang "fiqih lingkungan" dalam kitab, tetapi menanamkan kesadaran bahwa bumi adalah bagian dari ayat-ayat Tuhan yang harus dibaca dan dijaga. Alam bukan objek eksploitasi, tetapi mitra spiritual dalam ibadah.
Al-Qur'an menggunakan istilah fasad fil ardh (kerusakan di bumi) bukan hanya untuk menggambarkan kerusakan moral, tetapi juga kehancuran ekologis akibat keserakahan manusia. Pada titik ini, menjaga lingkungan bukan agenda sekuler, melainkan bagian dari jihad moral umat beriman.
Rasulullah SAW bahkan mencontohkan kepedulian ekologis dalam tindakan-tindakan kecil. Misalnya melarang menebang pohon tanpa manfaat, memuliakan air, menegur sahabat yang boros air saat berwudhu, hingga menjadikan menanam pohon sebagai amal jariyah. Ini bukan simbolisme semata. Akan tetapi, praktik keseharian yang mencerminkan spiritualitas ekologis Islam.
Pusat Gerakan Hijau
Sebagai lembaga pendidikan yang berakar dalam komunitas, pesantren memiliki kekuatan moral dan sosial untuk mengubah kesadaran kolektif. Ia bisa menjadi pusat atau laboratorium gerakan hijau berbasis nilai-nilai keislaman.
Bayangkan jika setiap pesantren menanam pohon di lahan sekitarnya, mengelola limbah secara mandiri, atau mengubah kebiasaan konsumtif menjadi gaya hidup ramah lingkungan. Bukan hanya dampak ekologisnya yang terasa, tetapi juga transformasi budaya: dari masyarakat yang mengeksploitasi menjadi masyarakat yang memelihara.
Saat penulis hadir pada gelaran Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional ke-8 dan Internasional ke-1 di Pesantren As'adiyah Wajo, Sulsel, beberapa waktu lalu, sejauh mata memandang, kawasan pesantren tampak ijo royo-royo (hijau sekali). Pohon-pohon tumbuh subur sehingga bisa menekan hawa panas di kawasan yang berada dekat garis khatulistiwa ini.
Beberapa pesantren sebenarnya telah memulai langkah mulia ini. Ada yang mengembangkan eco-pesantren dengan sistem pengelolaan air bersih dan energi terbarukan seperti Pesantren Daarut Tauhid Bandung.
Ada pula yang mendirikan bank sampah, kebun produktif, dan koperasi hijau di Pesantren Darul Muhajirin Lumajang. Namun, jumlahnya masih kecil. Belum menjelma gerakan nasional.
Padahal bila pemerintah dan organisasi keagamaan memberi dukungan sistematis, pesantren bisa menjadi pusat pendidikan lingkungan yang paling efektif. Karena berbeda dengan kampanye teknokratis, gerakan dari pesantren memiliki kekuatan batin: ia mengikat manusia dengan kesadaran spiritual bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah.
Nalar hijau pesantren juga menawarkan keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas. Dunia modern sering terjebak pada dua ekstrem: satu sisi memuja rasionalitas sains yang kering nilai, sisi lain mengandalkan seruan moral minus basis ilmiah. Pada tataran ini, pesantren dapat menjadi jembatan di antara keduanya.
Tradisi berpikir Islam klasik sesungguhnya sangat ilmiah. Kitab-kitab turats mengajarkan berpikir mantiqiy (logis) dan ushuliy (prinsipil), sementara spiritualitas Tasawuf mengasah kepekaan batin terhadap tanda-tanda alam.
Keduanya dapat dipadukan menjadi nalar hijau yang utuh: akal yang sadar, dan iman yang berpikir.
Dengan pendekatan ini, santri tidak hanya diajak hafal dalil. Akan tetapi, juga memahami ekosistem, membaca data, dan mengkaitkan sains dengan nilai Tauhid.
Ketika santri menanam pohon, ia tidak sekadar melakukan kegiatan sosial. Tapi menjalankan perintah Tuhan untuk memakmurkan bumi.
Ketika ia menolak pemborosan air, ia sedang menegakkan zuhud ekologis-kesederhanaan yang lahir dari kesadaran spiritual. Ketika santri mampu mengurangi sampah plastik yang selama ini hanya menjadi tren gaya hidup, maka itu merupakan amal shalih sosial yang berpahala karena menjaga ciptaan Allah.
Dari Kesadaran ke Kebijakan
Untuk memperkuat nalar hijau ini, dibutuhkan langkah strategis. Pertama, memasukkan perspektif lingkungan ke dalam kurikulum pesantren secara kontekstual. Fiqih, Tafsir, dan Tasawuf bisa diajarkan dengan perspektif ekologis.
Misalnya tafsir ayat-ayat tentang alam, atau praktik riyadhah (latihan spiritual) yang menyatu dengan aktivitas bercocok tanam dan kebersihan lingkungan.
Kedua, memperkuat jaringan pesantren hijau. Pesantren bisa menjadi mitra pemerintah, kampus, dan komunitas lingkungan dalam penelitian dan aksi nyata seperti konservasi alam sekitar.
Ketiga, membangun sistem pendanaan hijau berbasis zakat-wakaf produktif untuk kegiatan konservasi. Dengan pendekatan ini, gerakan lingkungan bukan sekadar proyek, tapi menjadi bagian dari ibadah sosial yang berkelanjutan.
Ketiga langkah ini akan mengembalikan pesantren pada fungsinya yang sejati: sebagai penjaga moral umat dan perawat bumi.
Nalar hijau pesantren bukan gagasan romantik, melainkan panggilan zaman. Dunia sedang bergerak menuju krisis iklim, dan umat Islam yang jumlahnya lebih dari seperempat penduduk bumi tidak boleh hanya berpangku tangan.
Pesantren dengan tradisi ilmunya yang kokoh dan spiritualitasnya yang dalam memiliki peluang besar untuk menjadi pusat inspirasi perubahan. Dengan nalar hijau, pesantren dapat menghadirkan wajah Islam yang ramah, rasional, dan relevan dengan isu kemanusiaan modern.
Menjaga bumi merupakan bagian dari menjaga iman. Karena iman sejati bukan hanya yang sujud di sajadah. Akan tetapi, juga yang menunduk hormat kepada pohon, air, dan tanah sebagai manifestasi menyembah kepada Allah.
Di situlah letak hakikat 'ibadah ekologis'-sebuah kesalehan yang berakar di bumi dan berbuah di langit.
Wal hasil, jika pesantren mampu menumbuhkan nalar hijau itu, maka dari ruang-ruang ngaji sederhana di pelosok Nusantara, akan tumbuh kesadaran baru bahwa mencintai Allah juga berarti mencintai bumi-Nya. Wallahu a'lam.
Ali Musthofa Asrori. Analis Kebijakan pada Pusat Strategi Kebijakan Pendidikan Agama dan Keagamaan (Pustrajak Penda) BMBPSDM Kemenag, alumnus Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan Pati.
(rdp/imk)










































