Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menandai fase baru bagi cita-cita besar Indonesia untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan energi. Dalam pidato pelantikannya, Presiden menegaskan bahwa swasembada energi bukan sekadar jargon, tetapi tekad untuk mewujudkan kedaulatan energi nasional yang mampu menopang kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Namun, setahun berjalan, jalan menuju cita-cita itu tampak belum juga lurus.
Deretan kebijakan yang muncul, mulai dari belum rampungnya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT), revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui PP Nomor 40 Tahun 2025, hingga munculnya gejala greenflation dan konflik sosial dalam proyek panas bumi di Nusa Tenggara Timur, memperlihatkan bahwa tata kelola energi kita masih jauh dari arah yang dituju.
Swasembada energi seolah tetap menjadi kalimat yang gagah di podium, tapi gamang dalam implementasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
RUU EBT yang seharusnya menjadi fondasi hukum bagi percepatan transisi energi, hingga kini masih tertahan di ruang perdebatan. Pemerintah dan DPR belum berhasil menemukan irama yang sama tentang bagaimana mengelola energi baru dan terbarukan secara adil, berkelanjutan, dan memberi ruang bagi partisipasi masyarakat.
Padahal, tanpa payung hukum yang kokoh, arah pembangunan energi akan terus bergantung pada peraturan pemerintah dan keputusan administratif yang rawan berubah setiap kali angin politik bergeser.
Ketidakpastian hukum ini membuat investor ragu, pelaku usaha bertanya-tanya, dan masyarakat desa yang sesungguhnya menjadi subjek penting transisi energi tetap berada di pinggir jalan pembangunan.
Sementara itu, perubahan kebijakan lewat PP Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional menimbulkan tanda tanya besar. Dalam aturan baru itu, porsi bauran energi terbarukan mengalami penyesuaian, dengan alasan realitas capaian dan kebutuhan energi jangka pendek.
Namun, penyesuaian ini justru mengirim sinyal yang membingungkan bagi para pelaku industri energi hijau. Target yang semula ambisius menjadi lebih lunak, sementara subsidi energi fosil tetap mengalir deras.
Pemerintah beralasan ini langkah realistis, tetapi di mata publik dan pengamat, langkah ini lebih menyerupai langkah mundur dari komitmen transisi energi yang selama ini digaungkan.
Konflik dan Ketimpangan Transisi Energi
Kritik terhadap tata kelola energi juga menguat seiring dengan munculnya fenomena greenflation, yakni kenaikan harga komponen dan biaya investasi proyek energi bersih.
Kenaikan harga panel surya, turbin angin, hingga sistem penyimpanan energi membuat proyek-proyek energi terbarukan mengalami perlambatan.
Dalam konteks Indonesia, greenflation seharusnya menjadi sinyal penting untuk memperkuat kebijakan industri dalam negeri bukan alasan untuk memperlambat transisi.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah tampak lebih sibuk mencari pembenaran ekonomis untuk menunda, daripada mencari solusi untuk mempercepat.
Padahal, jika dikelola dengan strategi pembiayaan hijau, dukungan fiskal, dan transfer teknologi yang tepat, tekanan biaya ini bisa berubah menjadi peluang penguatan industri nasional.
Lebih jauh, upaya transisi energi kita juga diwarnai dengan ketegangan sosial di lapangan. Kasus konflik panas bumi di Nusa Tenggara Timur menjadi contoh paling nyata bahwa transisi energi tidak bisa berjalan di atas penderitaan masyarakat.
Penolakan warga terhadap proyek panasbumi bukanlah penolakan terhadap energi bersih, melainkan terhadap proses yang tidak transparan dan tidak adil. Banyak warga merasa tidak pernah diajak bicara secara bermakna, hak atas tanah dan air mereka terancam, bahkan ada yang dikriminalisasi karena mempertahankan ruang hidup.
Ketika pembangunan energi hijau mengabaikan prinsip kemanusiaan dan partisipasi, maka warna hijaunya berubah menjadi abu-abu. Pemerintah seharusnya belajar dari kasus ini bahwa keberhasilan transisi energi tidak diukur hanya dari megawatt yang terpasang, tetapi dari seberapa besar keadilan yang dirasakan masyarakat di sekitar proyek.
Masalah lain yang ikut menodai wajah tata kelola energi nasional adalah munculnya laporan tentang kontaminasi radioaktif pada udang dan cengkeh yang diekspor ke luar negeri.
Walaupun kasus ini tidak secara langsung terkait dengan sektor energi, ia menjadi cermin dari lemahnya sistem pengawasan lingkungan dan koordinasi antar lembaga.
Ketika masyarakat internasional meragukan keamanan produk ekspor kita, reputasi nasional ikut dipertaruhkan.
Dalam konteks tata kelola energi, kasus ini mengingatkan kita bahwa pengelolaan sumber daya alam, termasuk energi, tidak bisa dilepaskan dari standar keselamatan lingkungan yang ketat. Energi yang berdaulat tidak boleh merusak bumi yang menjadi sumbernya.
Di sisi lain, implementasi kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga masih tertinggal jauh di belakang narasi besar yang digembar-gemborkan.
Rencana adaptasi iklim di tingkat nasional belum terwujud kuat di daerah, kapasitas teknis pemerintah lokal masih terbatas, dan dana adaptasi belum cukup untuk menjawab tantangan bencana yang makin sering terjadi.
Banjir, kekeringan, dan krisis air terus berulang tanpa solusi sistemik. Padahal, kemandirian energi yang sejati tidak hanya soal produksi listrik atau BBM, melainkan kemampuan bangsa menghadapi dampak perubahan iklim secara tangguh dan adil.
Menata Ulang Swasembada Energi
Polemik kuota impor BBM untuk swasta menambah panjang daftar persoalan. Kebijakan ini semula dimaksudkan untuk menjaga pasokan dan kedaulatan energi, namun pelaksanaannya menimbulkan kebingungan di pasar. Pembatasan yang terlalu ketat dianggap menghambat efisiensi distribusi, sementara ketidakjelasan mekanisme kuota membuka ruang bagi spekulasi dan kelangkaan.
Di tengah upaya menjaga stabilitas harga BBM, pemerintah justru memperlihatkan betapa rapuhnya sistem tata kelola distribusi energi nasional yang belum sepenuhnya transparan dan kompetitif.
Transformasi kelembagaan Kementerian BUMN menjadi Badan Pengelola BUMN (BP BUMN) juga mengundang perdebatan. Di atas kertas, perubahan ini diharapkan memperkuat tata kelola perusahaan milik negara dan meningkatkan efisiensi bisnis.
Namun di lapangan, muncul kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan justru mempersempit ruang kontrol publik dan parlemen terhadap aset strategis negara, termasuk sektor energi.
Jika transformasi ini tidak disertai mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang kuat, maka kedaulatan energi bisa berubah menjadi monopoli kebijakan di tangan segelintir orang.
Reformasi kelembagaan memang perlu, tapi reformasi tanpa check and balance hanya akan memperdalam ketimpangan.
Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa ada juga capaian yang patut diapresiasi. Pemerintah berusaha menata ulang arah kebijakan energi melalui revisi KEN, mempercepat investasi EBT meski belum signifikan, dan mendorong pembentukan skema pembiayaan hijau.
Namun capaian-capaian ini masih bersifat parsial dan belum menjawab akar persoalan: ketidakpastian hukum, lemahnya keadilan sosial dalam transisi, serta minimnya keberanian mengambil keputusan strategis untuk menggeser ketergantungan dari energi fosil.
Singkatnya, kebijakan energi kita masih terjebak di antara kepentingan jangka pendek ekonomi dan kebutuhan jangka panjang keberlanjutan.
Dalam refleksi satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo yang bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-74, publik berharap arah kepemimpinan energi ke depan menjadi lebih tegas, berpihak, dan visioner.
RUU EBT harus segera disahkan dengan substansi yang jelas, bukan hanya mengatur teknologi, tetapi juga menjamin keadilan. Pemerintah perlu mengimplementasikan PP KEN agar kembali menegaskan komitmen terhadap energi bersih.
Kasus panas bumi di NTT harus menjadi pelajaran untuk memperkuat mekanisme konsultasi dan kompensasi warga, bukan sekadar menenangkan investor. Dan transformasi BP BUMN perlu diikuti sistem audit dan keterbukaan publik agar tidak menjadi lembaga superpower yang sulit diawasi.
Swasembada energi bukanlah sekadar kemandirian teknis dalam memproduksi listrik, minyak, atau gas. Visi ini adalah cermin dari kemampuan bangsa mengelola sumber daya alamnya dengan adil, transparan, dan berkelanjutan.
Ia juga menyangkut kemandirian masyarakat desa yang memiliki akses terhadap energi bersih tanpa kehilangan tanah dan airnya. Dalam konteks itulah, pemerintahan ini ditantang untuk tidak hanya menepati janji politik, tetapi menegakkan janji moral terhadap rakyat dan bumi Indonesia.
Kini, ketika Presiden Prabowo memasuki usia 74 tahun dan pemerintahannya menapaki tahun kedua, bangsa ini memerlukan arah baru dalam tata kelola energi, yakni arah yang tidak lagi menjadikan transisi energi sebagai proyek elitis, melainkan gerakan rakyat.
Arah yang menempatkan keadilan sosial di jantung kebijakan energi, serta memastikan setiap kebijakan tidak hanya efisien, tetapi juga manusiawi. Karena pada akhirnya, swasembada energi sejati bukan hanya tentang listrik yang menyala, tetapi tentang kehidupan yang berdaya.
Rifqi Nuril Huda. Alumni Magister Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia. Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS) dan Ketua Umum Akar Desa Indonesia.
Simak Video 'Wamen LH: Pemda Sediakan Lahan-3% APBD Buat Proyek Sampah Jadi Energi':
(rdp/imk)










































