Menolak Pailit di Era TKD Menciut
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menolak Pailit di Era TKD Menciut

Jumat, 17 Okt 2025 17:10 WIB
M Shendy Adam Firdaus
ASN Pemprov DKI Jakarta, Dosen Tidak Tetap Universitas Bakrie.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Close up photo of a woman doing taxes with laptop and tax forms in a house
Foto: Ilustrasi penerimaan pajak (Getty Images/gerenme)
Jakarta -

Pagi di Pati belum terlalu bising ketika kabar itu berembus: pemerintah kabupaten berencana menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Bukan sekadar naik, tapi melonjak drastis-ada yang sampai tiga kali lipat.

Rumah-rumah yang dulu hanya dikenai ratusan ribu rupiah kini ditaksir jutaan. Dari pasar hingga warung kopi, obrolan warga hanya satu: kenapa tiba-tiba segini?

Tak butuh waktu lama, spanduk protes terbentang. Warga mendatangi kantor Satpol PP, menuntut kebijakan itu dibatalkan. Pemerintah berdalih, tarif lama sudah tak relevan, tak pernah disesuaikan sejak 2010.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi bagi rakyat, rasionalitas fiskal tak sebanding dengan rasa kehilangan kendali atas hidup yang makin mahal. Pajak bukan lagi sekadar kewajiban; ia berubah menjadi ancaman.

Kisah di Pati ini hanyalah potongan kecil dari keresahan yang mungkin terasa di banyak daerah. Ketika pendapatan daerah stagnan, tapi belanja rutin tak bisa dikurangi, pemerintah daerah dipaksa mencari celah baru: menaikkan tarif, menambah retribusi, atau memperketat pungutan.

ADVERTISEMENT

Di ujung lain Nusantara, kegelisahan itu muncul dalam rupa berbeda. Di Sumatera Utara, Gubernur Bobby Nasution sempat menghentikan truk berpelat nomor BL dari Aceh. Ia meminta pengusaha mengganti pelatnya menjadi BK, agar pajaknya masuk ke Sumut.

Rekaman itu viral. Reaksi dari Aceh pun keras. Ketegangan antardaerah pun sempat memanas.

Dua peristiwa ini-kenaikan pajak di Pati dan insiden pelat truk di Sumut-memperlihatkan wajah baru politik fiskal daerah: usaha keras untuk mempertahankan pendapatan di tengah menyusutnya dukungan dari pusat. Karena satu hal kini jelas: kue Transfer ke Daerah (TKD) sedang mengecil.

'Perlawanan' 18 Gubernur

Ketika wacana pemangkasan Transfer Ke Daerah (TKD) dalam rancangan APBN 2026 mulai nyata, provinsi-provinsi pun bergegas. Sekurang-kurangnya 18 gubernur dalam wadah APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyampaikan keberatan dan mendesak agar pemangkasan dibatalkan atau disesuaikan.

Mereka menyuarakan: bila dana transfer dikurangi, bagaimana daerah bisa menjaga jalan, pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lain yang sangat bergantung pada alokasi pusat?

Keluhan datang dari Aceh (pemotongan TKD mencapai 25 %), dari Maluku Utara (sekitar Rp3,5 triliun), hingga Sulawesi Tengah yang disebut mengalami pemangkasan sangat dalam.

Para gubernur mengingatkan bahwa daerah sudah menanggung beban program pusat yang dialihkan (contohnya kesehatan, pendidikan, infrastruktur kecil) - sementara kapasitas fiskal lokal tak bisa menanggung semua itu.

Intinya: daerah keberatan karena pemangkasan TKD tak hanya mengurangi ruang manuver fiskal, tapi mengancam kesinambungan pelayanan publik. Daerah yang selama ini menggantungkan sebagian besar pendanaan rutinnya pada transfer pusat mungkin akan kehilangan pijakan ketika transfer itu 'dipangkas'.

Keluhan itu beralasan. Sebagian besar daerah masih sangat bergantung pada transfer pusat. Di luar DKI Jakarta dan beberapa provinsi kaya sumber daya, lebih dari 70 persen APBD daerah bergantung pada TKD.

Pemotongan 20 hingga 25 persen berarti pemangkasan gaji pegawai, tertundanya proyek, atau naiknya pajak daerah-seperti yang terjadi di Pati. Namun dari sisi pemerintah pusat, cerita ini punya bingkai berbeda.

Menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, langkah ini bukan sekadar penghematan, tapi penataan ulang struktur fiskal nasional. Banyak pos TKD dianggap boros, tidak akuntabel, bahkan rawan penyimpangan.

Pemerintah ingin sebagian besar dana langsung disalurkan lewat kementerian agar lebih terukur dampaknya. "Anggaran daerah tidak berkurang secara total," kata Purbaya. "Yang berubah adalah mekanisme: sebagian dialihkan ke belanja kementerian agar lebih efisien."

Artinya, pusat ingin mengubah arah hubungan fiskal: dari transfer yang bersifat umum menjadi bantuan yang lebih bersyarat dan berbasis kinerja. Jika penyerapan anggaran daerah di semester pertama baik dan berdampak nyata pada ekonomi, tambahan dana akan diberikan di pertengahan tahun.

Dalam bahasa lain: pusat ingin menegakkan disiplin fiskal, memaksa daerah bekerja lebih efisien. Tapi bagi daerah yang hidupnya masih bertumpu pada transfer, pesan itu terdengar seperti ancaman.

Ketika Jakarta Memilih Jalan Berbeda

Di tengah hiruk pikuk protes dan keluhan, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung memilih sikap yang tidak biasa: ia menerima kebijakan itu. Bagi Pramono, pemangkasan bukanlah akhir, melainkan awal dari perubahan. Ia menyebut perlunya creative financing-pembiayaan kreatif-agar pembangunan tidak tergantung penuh pada dana transfer.

Jakarta, katanya, harus belajar hidup dengan ukuran baru. APBD tahun depan akan turun sekitar Rp 15 triliun dari tahun sebelumnya. Tapi di balik itu, ada rencana besar yang sedang disiapkan: Jakarta Collaboration Fund (JCF), semacam lembaga pembiayaan publik yang menghimpun modal dari sisa anggaran, BUMD, dan mitra swasta. Tujuannya sederhana: membiayai proyek publik tanpa menunggu transfer pusat.

Jakarta juga tengah menyiapkan penerbitan obligasi daerah, rencana lama yang sudah muncul sejak era Fauzi Bowo, kini dimatangkan kembali. Melalui obligasi, warga dan investor bisa ikut membiayai pembangunan kota-sekaligus mengawalnya.

Pembiayaan kreatif lainnya bisa datang dari kompensasi Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Simpang Susun Semanggi adalah contoh konkret bagaimana pembangunan infrastruktur bisa saja berasal bukan dari APBD.

Selain itu, Jakarta juga berencana menerapkan disiplin baru dalam pengeluaran. Pos belanja nonprioritas akan dipangkas. Pembangunan fisik yang tak mendesak akan ditunda.

"Era anggaran besar selama ini kontrolnya tidak ketat sudah lewat, sudah berakhir," ujarnya di hadapan jajaran Pemprov DKI Jakarta.

Jakarta tentu punya keistimewaan: PAD besar, kapasitas fiskal kuat, dan infrastruktur birokrasi yang relatif matang. Tapi langkah Pramono memberi pesan penting: daerah tidak boleh hanya mengeluh ketika dana pusat menyusut; mereka harus menemukan cara baru untuk berdiri sendiri.

Cermin untuk Daerah Lain

Pertanyaannya kini: apakah daerah lain bisa seperti Jakarta? Tidak semua. Banyak daerah yang PAD-nya bahkan tak cukup menutup gaji pegawai. Infrastruktur fiskal belum siap. Kemampuan manajerial dan regulasi pembiayaan modern seperti obligasi daerah masih minim.

Mungkin benar, pusat ingin memperbaiki tata kelola fiskal. Tapi bagi daerah, realitas di lapangan sering lebih keras dari sekadar pasal dan tabel.

Ketika transfer berkurang, mereka tetap harus memperbaiki jalan, membayar guru, menyiapkan tenaga kesehatan. Dan ketika rakyat marah karena pajak naik, yang pertama kali dituding bukan menteri, tapi bupati atau wali kota.

Pati memberi peringatan, Sumut menunjukkan gejala, dan Jakarta menampilkan alternatif. Tiga wajah kebijakan fiskal yang lahir dari tekanan yang sama, tapi menjelma menjadi tiga arah berbeda.

Kita mungkin tidak bisa menahan arus pengurangan dana dari pusat, tapi kita bisa memilih bagaimana menanggapinya. Ada yang menolak, ada yang menyesuaikan, dan ada yang berinovasi.

Dan barangkali, seperti kata Pramono, inilah saatnya daerah berhenti menunggu transfer turun, dan mulai membangun "transfer dari dalam"-dari akal, keberanian, dan kepercayaan publik yang tak bisa dikalkulasi dengan rumus APBN.

M Shendy Adam Firdaus. ASN Pemprov DKI Jakarta, Dosen Tidak Tetap Universitas Bakrie.

Tonton juga video "NasDem Minta Kepala Daerah Bersabar soal TKD Dipotong Kemenkeu" di sinii:

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads