Keadaan Ideal a la Plato Vs Artikulasi Tak Terbatas AI
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Keadaan Ideal a la Plato Vs Artikulasi Tak Terbatas AI

Rabu, 15 Okt 2025 14:33 WIB
Firman Kurniawan
Pemerhati Budaya-Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pengajar Komunikasi UI, Firman Kurniawan (Dok Pribadi)
Foto: Pengajar Komunikasi UI, Firman Kurniawan (Dok Pribadi)
Jakarta -

Banyak hal menarik dari kemasyhuran peninggalan filsuf Plato. Salah satunya yang dikenal sebagai Alegori Manusia Gua. Pada alegori ini dikisahkan, adanya sekelompok tawanan--entah apa kesalahannya, hingga dijaga sangat ketat--dengan belenggu pada kaki, tangan, dan lehernya. Seluruhnya ditempatkan di sebuah gua.

Dengan belenggu ketat itu, para tawanan--yang kemudian disebut sebagai manusia gua--alih-alih memberontak dan melarikan diri, untuk bergerak leluasa pun sangat kesulitan. Belenggu pada leher itu, hanya memungkinkan manusia gua bisa memandang ke depan. Ke kiri, ke kanan atau ke belakang, tak mungkin.

Kecuali ada yang kuat menanggung rasa sakit. Dan itu pun, turut dirasakan manusia gua yang lain yang dibelenggu bersama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tembok belakang manusia gua itu, terdapat api yang terus-menerus dinyalakan. Semula, untuk memberikan penerangan pada ruangan. Namun dengan terdapatnya penjaga yang berlalu lalang melakukan patroli, gerakannya terpantul sebagai bayangan.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan pemandangannya tak berubah dan tak ada alternatif lain. Bayangan itu jadi satu-satu pemandangan pengisi waktu, para manusia gua. Dan akibat seluruhnya ditawan sejak berusia masih belia--selain wujud sesamanya--pemandangan hasil bayangan itu, jadi realitas yang dihayatinya.

ADVERTISEMENT

Namun entah apa yang terjadi--mungkin akibat belenggu pengikatnya yang berkarat dimakan waktu--salah satu manusia gua itu berhasil membebaskan diri. Berhasil menghindari patroli pengawasan, dan dapat keluar melarikan diri. Ia juga berhasil membebaskan satu tawanan yang lain, dan melakukan pelarian bersama. Di luar gua, disaksikan kehidupan yang sama sekali berbeda.

Pohon-pohon yang diterpa cahaya matahari, beberapa binatang dan serangga yang melangsungkan kehidupan. Dan tentunya udara yang lebih segar, memberi kenyamanan. Dua tawanan yang membebaskan diri itu, menghayati realitas baru. Realitas kebebasan dari belenggu di gua, sekaligus mengalami guncangan kesadaran: inikah realitas yang sesunguhnya?

Harry Verity, 2022, dalam "Plato's Allegory of the Cave: Explained", menyebut: realitas, tak lain hanya konstruksi. Dunia hadir, sebatas yang dihayati. Dan tampaknya Verity juga ingin menyebut: penghayatan itu merupakan refleksi panca indera--tentang keadaan di sekitar tempat manusia hidup--dengan sistem budaya yang melingkupinya. Maka yang dapat dimengerti dari alegori di atas: ketika penghayatan yang dialami manusia di dalam gua berbeda dari keadaan di luarnya, maka realitas yang dikonstruksi juga berbeda.

Dan hal yang tersirat dari alegori di atas: selama penghayatan manusia terarah pada keadaan di sekitarnya, realitas yang terkonstruksi sesuai bahan dari sekitarnya itu. Bagaimana jika terdapat bahan yang baru? Apakah realitasnya lebih utuh atau sama sekali berubah? Pertanyaan ini, dapat diproyeksikan pada peradaban hari ini.

Peradaban yang sangat dipengaruhi intensifnya pemanfaatan artificial intellligence (AI). Dengan belum intensifnya pemanfaatan AI, manusia kontemporer dapat diidentikkan dengan manusia gua di atas. Manusia yang menghayati realitas, sebagai hasil bayang-bayang para penjaga tawanan. Tak ada yang lain di luar itu. Dan ketika berhasil membebaskan diri --menyerap bahan yang baru-- konstruksi realitasnya turut berubah.

AI yang meresap dalam peradaban hari ini, dipromosikan sebagai temuan yang membuat keadaan ideal. Lebih mudah dijalani, lebih murah, hasilnya lebih sempurna, dapat mencegah terjadinya kegagalan. Bahkan dalam lompatan yang lebih jauh, AI menjanjikan kehidupan yang abadi. Ini lantaran berbagai penyakit dapat terdeteksi dini, jauh sebelum teraktualisasi sebagai penderitaan. Dan kalau pun pencegahannya gagal --penyakit teraktualisasi sebagai penderitaan-- pengobatannya lebih mudah.

Ini tak lain karena data kegagalan dan keberhasilan pengobatan, telah tersedia. Juga peta algoritma penyembuhannya yang makin sempurna. Seluruhnya memberi kesempatan peluang hidup yang lebih panjang. Manusia menuju keabadian, karena manusia semakin sulit berakhir hidupnya. Inikah keadaan ideal yang menjadi utopia manusia?

Sebelum menjawab tentang keadaan ideal itu, ada baiknya kembali pada pesan tersirat dari alegori manusia gua itu. Manusia jadi tawanan realitas, yang terlanjur dihayatinya. Betapa pun buruknya itu. Juga terbelenggu oleh ikatan-ikatan, yang diyakini jadi penghalang untuk melampaui kelamnya gua. Ketaktahuan tentang adanya reallitas yang lain, menjadi fakta yang harus ditanggungnya.

Hidup di dalam gua ketaktahuan, membuat manusia tak mampu mencapai keadaan ideal. Maka terhadap keadaan ideal itu, Plato juga punya pemikirannya.

Mitha Anind, 2023, dalam "Plato's Idealism & Aristotle's Realism: An Introduction", menyebut, realitas akan berada dalam bentuk ide-ide di dalam pikiran. Dan objek-objek pemikiran itulah, sejatinya realitas. Ia juga percaya pada ide-ide abadi di luar ruang dan waktu, serta di balik alam fisik, yang disebut "bentuk".

Diyakininya, dunia ini lebih dari sekadar realitas yang dihayati. Dan itu ditemukan dalam bentuk. Bentuk adalah rancangan dari sesuatu, yang tempatnya ada di dalam pikiran. Dalam pengertian ini, realitas sejati dihadirkan sebagai persepsi.

Karenanya, ketika ingin mewujudkan sesuatu di dalam hidup, harus diwujudkan sebagai bentuk di dalam pikiran. Dengan itu, jadilah sebuah dunia ide yang menjadi tempat bersemayamnya kesempurnaan. Maka kesempurnaan yang hakiki, hanya ada di dalam pikiran.

Pendapat Plato di atas, berbeda dari Aristoletes. Aristoteles dengan realismenya menyebut, yang sejati dari segala sesuatu hanya dunia material. Walaupun Itu dinyatakan aristoteles, dalam keadaan yang tidak hanya meyakini dunia material sebagai satu-satunya realitas. Dunia material merupakan tujuan akhir pengetahuan manusia, yang keberadaannya lebih realistis dibandingkan dengan "bentuk" dalam gagasan Plato.

Aristoteles juga tak percaya pada solipsisme dan realisme tidak langsung. Di mana solipsisme adalah pandangan yang menyebut: hanya pikiran diri sendiri saja yang pasti ada. Ini sepenuhnya tak cocok dengan realisme.

Namun dari itu semua, ketika pandangan keadaan ideal dari Plato dipadukan dengan realisme menurut Aristoteles --jalan tengah pertemuannya-mungkin terwujud sebagai AI.

AI yang semula sebatas persepsi "bentuk" kesempurnaan, terwujud sebagai material yang mampu mengartikulasikan pikiran ideal manusia. Material yang sekaligus mampu mematerialkan keadaan ideal yang semula hanya bersemayam di dunia ide. Jika seluruhnya tuntas dimaterialkan, apakah AI jadi puncak utopia manusia? Tak mudah menjawabnya.

Ini lantaran, keadaan ideal yang dipikirkan Plato tak pernah ada acuan tunggalnya. Seakan cukup dengan mengatakan --menggunakan kombinasi kata yang sama-- akan muncul bentuk "keadaan ideal" di luar sana. Jika demikian, realitas dapat dihayati. Juga saat ditempuh, karena jelas ukuran perwujudannya.

Bahkan realitas sosial -yang bentuknya pun abstrak, seperti: moral, ketulusan, keadilan, kejahatan, penderitaan- walaupun sifatnya metafisis, namun melalui interaksi intersubyektif masih dapat ditemukan common sense knowledge-nya. Pengetahuan akal sehatnya. Lewat common sense knowledge hasil interaksi ini, manusia mengalami institusionalisasi berbagai penyelesaian persoalan hidupnya. Dalam realitasnya, tak ada acuan tunggal semacam itu.

Lalu apakah keadaan ideal itu ketika semua orang dalam keadaan tanpa sakit? Tak ada kemiskinan? Tak ada bencana? Tak ada kesedihan? Tak ada ketakpastian? Lalu bagaimana dunia tanpa keadaan yang tak ideal, dapat diseimbangkan? Sementara keseimbangan adalah syarat berlangsungnya kehidupan.

Ketika sedih diseimbangkan oleh gembira, keberhasilan diseimbangkan oleh kegagalan, juga kelahiran diseimbangkan oleh kematian. Dapatkah tanpa keseimbangan, dunia berlangsung? Keadaan ideal nyatanya, sering hanya berupa ide-ide individual yang bahkan sangat dipengaruhi ruang dan waktu.

Berbeda ruang dan waktunya, berbeda pula keadaan ideal yang dibutuhkan. Jika demikian, lalu bagaimana dapat memberi bobot kualitatif maupun kuantitatif pada realitas tanpa acuan? Jadi, apakah keadaan ideal itu benar-benar ada? Atau hanya cara berkelit Plato terhadap hal yang tak dapat dijawabnya?

Maka manifestasi keadaan ideal sebagai material --mengikuti pandangan Aristoteles-- dalam wujud AI, tak memenuhi syarat keabsahannya. Unsur epistemologisnya tak terpenuhi. AI memang mampu mengartikulasikan pikiran. Gagasan yang semula hanya ada di dunia ide, dikonkretkan oleh AI. Ketika diri mempunyai gagasan mampu menciptakan sebuah lagu -tanpa belajar seni musik-- ada aplikasi berbasis AI untuk mewujudkan itu.

Saat hendak berfoto akrab dengan idola yang belum pernah ditemui, ada aplikasi yang mengkonkretkannya. Atau ketika hendak menceritakan proses kepunahan Dinosaurus, cukup menyusun beberapa kalimat sebagai prompt, visualisasinya yang mengagumkan dapat diwujudkan AI. Namun ketika hendak mengkonkretkan keadaan ideal, justru keadaan ideal sebagai acuan tunggal tak pernah ada. Jadi keadaan ideal apa yang hendak dikonkretkan AI?


Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya-Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org

Lihat juga Video 'Google Investasi USD 15 Miliar Bangun Pusat Data AI di India':

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads