Tak Pakai APBN, Pemerintah Tunjukkan Disiplin Fiskal Atasi Utang Kereta Cepat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tak Pakai APBN, Pemerintah Tunjukkan Disiplin Fiskal Atasi Utang Kereta Cepat

Rabu, 15 Okt 2025 13:52 WIB
Trubus Rahardiansah
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Trubus Rahardiansah (Dok Pribadi)
Foto: Trubus Rahardiansah (Dok Pribadi)
Jakarta -

Pernyataan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak akan digunakan untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) patut diapresiasi. Di tengah tekanan fiskal dan kebutuhan belanja sosial yang besar, keputusan ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai menerapkan disiplin fiskal dan tata kelola keuangan negara yang lebih tegas.

Langkah ini juga memperlihatkan bahwa pemerintah ingin memastikan proyek infrastruktur besar tetap berkelanjutan, namun tanpa menambah beban keuangan negara. Dalam konteks kebijakan publik, ini merupakan sinyal positif bahwa arah pembangunan ke depan tidak lagi bergantung semata pada kantong APBN, tetapi pada inovasi pembiayaan yang lebih cerdas dan berbasis investasi.

Selama ini, salah satu persoalan utama dalam proyek strategis nasional adalah kaburnya batas antara tanggung jawab pemerintah dan BUMN. Ketika proyek menghadapi tekanan keuangan, sering kali APBN menjadi "penyelamat terakhir". Pola seperti ini jelas tidak sehat karena menciptakan ketergantungan fiskal dan berpotensi menurunkan kepercayaan pasar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan menegaskan bahwa utang KCJB harus diselesaikan melalui mekanisme korporasi dan investasi, bukan fiskal, pemerintah sedang memperbaiki struktur kelembagaan pembangunan nasional. Ini bukan berarti negara lepas tangan, tetapi justru sedang menegakkan akuntabilitas di antara pelaku proyek.

Menkeu Purbaya menyebut bahwa penyelesaian pembiayaan proyek ini akan diarahkan melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), lembaga pengelola investasi yang memiliki sumber dividen mandiri sekitar Rp80 triliun per tahun. Dengan kapasitas tersebut, Danantara bisa menjadi shock absorber baru dalam pembiayaan infrastruktur strategis, tanpa membebani APBN.

ADVERTISEMENT

Inovasi Pembiayaan: Arah Baru Pembangunan
Kebijakan ini menandai pergeseran paradigma: dari "pembangunan berbasis utang" menjadi "pembangunan berbasis aset dan investasi".

Model ini mirip dengan praktik terbaik yang diterapkan oleh Temasek Holdings di Singapura atau Government Pension Fund di Norwegia, di mana lembaga pengelola aset negara menjadi motor pembiayaan infrastruktur dan industri strategis.

Dengan cara ini, pemerintah bukan hanya membangun proyek, tetapi juga membangun mekanisme ekonomi yang produktif dan mandiri. Setiap rupiah yang diputar melalui Danantara dapat menghasilkan dividen baru yang kembali ke negara tanpa perlu menambah utang luar negeri.

Pendekatan ini menunjukkan visi fiskal yang lebih matang di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-sebuah arah baru di mana tanggung jawab fiskal dan ambisi pembangunan berjalan beriringan.

Pernyataan Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani bahwa negosiasi restrukturisasi utang KCJB dengan pihak China sedang berlangsung juga patut diapresiasi. Langkah ini bukan semata urusan angka, tetapi upaya memperbaiki model pembiayaan secara menyeluruh agar risiko serupa tidak terulang di masa depan.

Dengan restrukturisasi ini, pemerintah mendorong reformasi struktural dalam proyek besar yang melibatkan kerja sama internasional. Prinsipnya sederhana: proyek boleh besar, tapi tata kelola harus lebih besar. Reformasi semacam ini adalah bukti bahwa Indonesia sedang belajar dari pengalaman dan membangun model baru yang lebih berkelanjutan.

Terlepas dari persoalan pembiayaan, tidak bisa diabaikan bahwa Whoosh telah memberi dampak ekonomi yang nyata. Data PT KCIC menunjukkan jumlah penumpang telah mencapai 30 ribu per hari. Waktu tempuh yang lebih singkat antara Jakarta dan Bandung mendorong pertumbuhan sektor pariwisata, perhotelan, dan UMKM di sepanjang jalur.

Mensesneg Prasetyo Hadi menegaskan bahwa pemerintah melihat Whoosh sebagai bagian dari visi jangka panjang pembangunan transportasi nasional. Bahkan, ada rencana memperluas jalur hingga ke Surabaya. Jika dikelola dengan baik, proyek ini bisa menjadi benchmark transportasi modern yang tidak hanya mempercepat mobilitas, tapi juga mengubah peta ekonomi pulau Jawa.

Dari perspektif kebijakan publik, langkah ini menunjukkan arah baru manajemen fiskal dan korporasi negara. Pemerintah ingin menegakkan disiplin keuangan tanpa mematikan proyek strategis. Inilah bentuk kepemimpinan fiskal yang rasional namun progresif, yaitu membangun dengan tanggung jawab, bukan dengan beban.

Tantangan berikutnya adalah menjaga transparansi dan komunikasi publik. Pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat bahwa keputusan ini bukan bentuk pengabaian, melainkan strategi untuk memperkuat pondasi ekonomi jangka panjang.

Dengan disiplin fiskal, inovasi pembiayaan, dan restrukturisasi yang berkeadilan, Indonesia tengah melangkah menuju pola pembangunan yang lebih mandiri, akuntabel, dan tahan guncangan.

Keputusan untuk tidak menalangi utang Whoosh dengan APBN bukan sekadar kebijakan teknokratis. Ini adalah pesan moral bahwa pembangunan negara harus berani, tapi juga bertanggung jawab.


Trubus Rahardiansah. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.

Simak juga Video 'Konferensi Pers APBN KiTa Oktober 2025':

(rdp/fjp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads