Politik Bestie untuk Indonesia Maju
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Politik Bestie untuk Indonesia Maju

Selasa, 14 Okt 2025 20:31 WIB
Endang Tirtana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Endang Tirtana (dok.istimewa)
Foto: Endang Tirtana (dok.istimewa)
Jakarta -

Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo di kediaman Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Sabtu 4 Oktober 2025, menyedot perhatian publik. Pertemuan kedua tokoh bangsa tersebut mendapatkan respons beragam oleh publik. Sebagian melihatnya dalam bingkai gesture politik, sebagian lagi menilai sebagai upaya meneguhkan semangat kebersamaan. Dua tokoh bangsa duduk bersama dalam suasana silaturahmi kebangsaan.

Bila dicermati lebih mendalam, dalam lanskap politik Indonesia yang sarat akan simbol, Kertanegara tidak mutlak sebagai alamat rumah Presiden Prabowo. Sebagaimana Hambalang, rumah Kertanegara menjadi ruang simbolik yang mempertemukan antar tokoh penting. Dari tempat inilah Prabowo kerap menerima tamu-tamu negara, baik dalam kapasitas sebagai Menteri Pertahanan maupun sebagai Presiden Republik Indonesia. Mulai dari Wakil Perdana Menteri Australia Richard Marles, utusan khusus Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, hingga Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail Al Mazrouei. Kertanegara kini seperti menjadi ruang silaturahmi, ruang temu, bahkan ruang simbolik bagi arah baru politik Indonesia.

Politik Bestie

Dalam kacamata publik, pertemuan Jokowi-Prabowo di Kertanegara memiliki gesture politik yang mengandung ragam makna. Banyak pihak mencoba menafsirkan pertemuan itu dengan sinis, curiga, bahkan ada yang menudingnya sebagai bagian dari dinamika intervensi politik. Tafsiran yang cenderung destruktif ini lumrah terjadi dalam iklim demokrasi terbuka. Kendati demikian, terlalu sempit jika pertemuan di Kertanegara ini dimaknai dengan sinisme dan prasangka. Karena pertemuan dua simpul energi bangsa ini sesungguhnya menghadirkan pesan kebangsaan yang sangat kuat. Kita perlu mengingat, hubungan Jokowi dan Prabowo telah menempuh perjalanan panjang. Dari rivalitas politik, hingga akhirnya menjadi bestie.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Politik bestie yang dijalankan duo tokoh bangsa ini sebagai representasi ikatan politik yang sangat kental yang berlangsung sejak lama. Bahkan puncaknya, saat Prabowo menjadi bagian dari kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Pertahanan. Pertemuan kedua sahabat ini jauh dari kepentingan politik praktis, menanggalkan ego masa lalu demi kepentingan bangsa, dan menunjukan ketulusan untuk mengabdi dan membangun bangsa.

Hubungan personal antarelite bisa berfungsi sebagai perekat sosial yang secara informal membantu menjaga stabilitas politik tanah air. Upaya ini sebagai bentuk kepercayaan di antara elite politik agar perbedaan politik tidak bermetamorfosis menjadi fragmentasi sosial. Apa yang terjadi di Kertanegara selayaknya dapat menjadi contoh bagi tokoh-tokoh politik lainnya dalam membangun semangat persatuan. Politik bestie memberikan pesan tentang semangat kebersamaan, kontinuitas kepemimpinan, kesinambungan, dan kesadaran bersama akan pentingnya menjaga stabilitas politik nasional.

Pertemuan di Kertanegara antara Presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo dapat dibaca sebagai manifestasi simbolik dari politics of recognition dalam praktik politik Indonesia dewasa ini. Pertemuan ini memiliki makna mendalam tentang rekognisi antar dua pemimpin yang berdiri di ruang yang sama demi kontinuitas dan kematangan demokrasi. Di satu sisi, Jokowi menunjukkan sikap kenegarawanan dengan dukungan penuh terhadap otoritas dan tanggung jawab besar Prabowo sebagai Presiden. Di sisi lain, Prabowo menunjukkan sikap hormat kepada pendahulunya, mengapresiasi kerja-kerja besar yang telah dilakukan selama dua periode pemerintahan Jokowi dalam membangun bangsa.

ADVERTISEMENT

Konsensus Indonesia Maju

Di tengah budaya politik kita yang kerap terjebak dalam suhu politik yang panas dan terpolarisasi, pertemuan ini memperlihatkan kematangan dan kebijaksanaan politik. Karena kekuasaan sejatinya sebagai amanat rakyat yang harus dijaga, diteruskan, dan disempurnakan untuk kemajuan bangsa. Oleh karena itu, pertemuan ini dapat dibaca bukan sebagai simbol subordinasi atau dominasi politik, melainkan sebagai narasi keberlanjutan dan semangat persatuan dalam perjalanan nakhoda republik ini.

Kertanegara, juga sebagai ruang simbolik bagi rekonsiliasi dan konsensus nasional, menjelma menjadi panggung di mana nilai-nilai kebangsaan diuji sekaligus diteguhkan. Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi oleh informasi dan kepentingan, pertemuan antar-tokoh bangsa seperti Presiden dan mantan Presiden sejatinya merupakan momentum penting untuk meneguhkan kembali semangat kesadaran kolektif dalam membangun Indonesia maju. Maka, jika setiap pertemuan tokoh bangsa diartikan secara sinis, maka bangsa ini justru akan kehilangan kemampuan dasarnya untuk membangun ruang dialog.

Kecurigaan yang berlebihan hanya akan melahirkan jarak sosial yang semakin lebar dan mengikis rasa saling percaya antarwarga bangsa. Sebaliknya, sebagaimana dipertegas Talcott Parsons (1951) melalui konsep value consensus, masyarakat akan stabil dan berfungsi ketika ada seperangkat nilai bersama yang disepakati dan dijaga bersama untuk mewujudkan harmoni sosial. Dengan demikian, pertemuan dua pemimpin bangsa tersebut merupakan representasi aktual dari upaya menjaga konsensus bersama dalam membangun demokrasi dan semangat persatuan untuk Indonesia maju.

Pertemuan tokoh-tokoh besar dalam sistem demokrasi bukan hal baru di dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, pertemuan antara Presiden terpilih dengan mantan Presiden menjadi praktik rutin yang mencerminkan keberlanjutan kepemimpinan nasional. Barack Obama dan George W. Bush, duduk bersama membicarakan transisi kekuasaan. Di Prancis, Emmanuel Macron kerap mengundang pendahulunya, Franรงois Hollande dan Nicolas Sarkozy, dalam forum-forum kenegaraan untuk menjaga kesinambungan pembangunan. Bahkan di Korea Selatan, pertemuan antara Presiden Yoon Suk-yeol dan mantan Presiden Moon Jae-in diadakan sebagai simbol kesatuan.

Dalam konteks itu, Kertanegara seharusnya tidak dilihat sebagai arena politik yang sempit, melainkan sebagai simbol peradaban politik Indonesia yang semakin matang. Sebagai tempat di mana dialog antargenerasi kepemimpinan dapat tumbuh tanpa beban dendam masa lalu. Ketika dua pemimpin bangsa saling menyapa dalam semangat persaudaraan, ini bukan sekadar peristiwa politik, tetapi sebagai ekspresi dari kedewasaan demokrasi yang mencerminkan semangat kebangsaan. Memaknai demokrasi bukan sebagai kompetisi abadi, melainkan kolaborasi menuju Indonesia maju sesuai dengan arah tujuan berbangsa dan bernegara.

Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Kertanegara sesungguhnya mengandung makna yang jauh melampaui dimensi politik praktis. Dalam atmosfer politik yang kerap terfragmentasi, peristiwa ini menjadi oase dan pengingat bahwa kepemimpinan sejati selalu bertumpu pada kebesaran jiwa untuk mengakui, menghormati, dan melanjutkan estafet pembangunan. Pertemuan duo bestie ini mengajarkan kita bahwa demokrasi yang matang diukur dari kemampuan para pemimpin dan rakyatnya untuk membangun konsensus, kepercayaan, kontinuitas, dan rekognisi. Dari sinilah bangsa ini dapat melangkah dengan optimisme baru menuju Indonesia maju.

Dr. Endang Tirtana
Pemerhati Politik dan Sosial

Tonton juga video "Ombudsman Ungkap Ada Yayasan MBG Terafiliasi Politik" di sini:

(lir/lir)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads