Beberapa hari terakhir, ruang publik kembali riuh soal rencana penggunaan APBN untuk membantu pembangunan ulang mushala di lingkungan Pondok Pesantren Al Khoziny yang ambruk. Beberapa pihak memantik persepsi seolah negara sedang melakukan sesuatu yang "salah". Seolah bantuan kepada pesantren adalah bentuk penyalahgunaan anggaran publik.
Padahal, di balik semua keriuhan politik dan opini yang berseliweran di media sosial, ada hal mendasar yang perlu diingat, pesantren adalah bagian sah dari sistem pendidikan nasional. Ia bukan lembaga eksklusif milik kelompok tertentu, melainkan institusi pendidikan yang sejak lama menjadi pilar pembentuk karakter bangsa.
Sebelum republik ini lahir, pesantren telah menjadi kawah candradimuka bagi para pejuang kemerdekaan dan tokoh bangsa. Dari ruang-ruang ngaji yang sederhana, lahir semangat kebangsaan, nasionalisme, dan kejujuran. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga disiplin, kemandirian, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai itulah yang hari ini justru sering hilang di tengah masyarakat modern.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tokoh-tokoh pesantren mendidik jutaan anak bangsa, bahkan di pelosok yang tidak pernah tersentuh gedung sekolah negeri. Tak ada gaji besar, tak ada fasilitas megah, tapi mereka terus mendidik. Jika bukan karena pesantren, jutaan anak dari keluarga miskin mungkin tidak pernah mencicipi pendidikan yang layak.
Lalu, ketika negara hadir membantu memperbaiki sarana pesantren yang rusak, mengapa justru muncul cibiran?
Negara Wajib Menyelenggarakan Pendidikan
Kita sering lupa bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 Amanademen terbaru dengan tegas menyebut negara wajib membiayai pendidikan dasar, tanpa diskriminasi. Bahkan Mahkamah Konstitusi, lewat Putusan No. 3/PUU-XXII/2024, menegaskan prinsip pendidikan gratis yang dijamin negara.
Lebih jauh lagi, UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren mengakui pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Artinya, negara memiliki tanggung jawab yang sama terhadap pesantren sebagaimana terhadap sekolah negeri, madrasah, atau perguruan tinggi.
Jadi, penggunaan APBN untuk membangun kembali bangunan pesantren bukan bentuk penyimpangan, melainkan pelaksanaan tanggung jawab konstitusional.
Tragedi robohnya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, yang menelan korban jiwa, menjadi peringatan keras bahwa banyak infrastruktur pesantren di Indonesia masih rawan secara konstruksi. Respon pemerintah pun cukup cepat untuk memitigasi kejadian serupa.
Presiden Prabowo Subianto langsung memerintahkan Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar (Gus Imin) untuk melakukan pendataan dan pemeriksaan infrastruktur pesantren di seluruh Indonesia. Instruksinya jelas, pastikan bangunan pesantren aman, layak, dan memiliki izin yang sesuai standar (PBG). Gus Imin kemudian berkoordinasi dengan Menteri Agama dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) untuk menyiapkan langkah audit konstruksi dan bantuan teknis di lapangan.
Langkah cepat ini memperlihatkan satu hal penting, yaitu negara tidak menutup mata, negara turun tangan. Pemerintah tidak hanya mengucap bela sungkawa, tetapi menata sistem agar tragedi serupa tak terulang di tempat lain.
Menteri PU Dody Hanggodo menjelaskan bahwa penggunaan APBN untuk pesantren seperti Al-Khoziny dilakukan karena situasinya darurat dan menyangkut keselamatan peserta didik. Inilah bentuk tanggung jawab negara yang sistematis, bukan simbolik.
APBN Bukan Milik Golongan Tertentu
Sebagian pihak beranggapan bahwa APBN hanya boleh digunakan untuk program-program pembangunan dan tidak berhubungan dengan lembaga keagamaan. Ini pandangan yang sempit dan ahistoris. APBN adalah instrumen gotong royong nasional. Pajak yang membentuk APBN berasal dari semua warga negara, termasuk para santri, para kiai, dan jutaan alumni pesantren yang bekerja, membayar pajak, dan berkontribusi pada ekonomi nasional.
Kalau stadion sepak bola, gedung olahraga, atau taman kota bisa dibangun dengan APBN, mengapa sarana pendidikan keagamaan yang mendidik karakter bangsa tidak boleh dibantu? Apakah nilai pendidikan moral dan akhlak kalah penting dari infrastruktur jalan? Kalau kita bandingkan dengan pembangunan Masjid Al Jabbar yang menghabiskan APBD Jawa Barat sebesar Rp 1,2 Triliun saja itu juga bagian dari membangun umat.
Pemerintah tidak sedang menutup-nutupi kelalaian siapa pun. Justru sebaliknya, negara hadir dengan tanggung jawab moral untuk memastikan kegiatan pendidikan tidak terhenti karena bencana. Sama seperti negara memperbaiki sekolah negeri yang roboh atau madrasah yang rusak, pesantren pun berhak mendapatkan perhatian yang setara.
Kehadiran negara merupakan bentuk tanggung jawab. Apalagi ketika pesantren menjadi tumpuan ribuan santri yang menggantungkan masa depannya di sana.
Kritik terhadap kebijakan publik tentu boleh. Tapi kritik tanpa pemahaman hanya akan melahirkan prasangka. Jangan sampai karena antipati politik, kita malah mengabaikan logika keadilan sosial. Menolak bantuan negara untuk pesantren sama saja dengan menolak hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Di tengah gempuran globalisasi dan degradasi moral, pesantren masih menjadi benteng terakhir karakter bangsa. Mereka mendidik dari hati, dengan semangat pengabdian yang jarang dimiliki lembaga lain. Ketika negara hadir membantu mereka berdiri kembali, seharusnya kita bersyukur, bukan mencibir.
Saatnya Menghargai Peran Pesantren
Mari kita berhenti memperdebatkan sesuatu yang seharusnya sudah jelas. Negara hadir membantu pesantren bukan karena belas kasihan, tapi karena itu kewajibannya. Pesantren adalah bagian dari bangsa ini, bagian dari sistem pendidikan kita, dan bagian dari sejarah panjang Indonesia.
Justru yang harus kita waspadai bukan penggunaan APBN untuk pesantren, tapi jika suatu hari nanti negara abai terhadap pesantren. Sebab saat negara meninggalkan pesantren, sesungguhnya ia sedang meninggalkan akarnya sendiri.
Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal
Simak juga Video Istana Kaji Wacana Perbaikan Ponpes Pakai APBN