Selamat Jalan Ekonomi Pengetatan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Selamat Jalan Ekonomi Pengetatan

Senin, 13 Okt 2025 12:10 WIB
Gede Sandra
Peneliti di lembaga think tank Lingkar Studi Perjuangan (LSP). Sarjana di Teknik Kimia ITB, Master di Ilmu Ekonomi FEUI, saat ini sedang doktoral Ilmu Ekonomi di IPB.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi uang
Ilustrasi / Foto: Getty Images/acilo
Jakarta -

Rezim ekonomi yang baru saja lewat, setelah berpuluh tahun mengatasnamakan rasionalitas, ternyata hanya berujung pada pertumbuhan ekonomi yang stagnan/tertahan, rasio pajak yang terendah, pertumbuhan kredit yang rendah, dan rasio gini (ketimpangan) yang tinggi, Beberapa waktu sebelum akhirnya benar-benar tergusur dari pemerintahan, rumus dasar mereka: austerity atau pengetatan, pun sempat kita cicipi. Dan hasilnya adalah ledakan sosial, demonstrasi besar-besaran, pembakaran fasilitas publik, hingga penjarahan-penjarahan rumah pejabat. Struktur ekonomi yang sangat timpang ini, yang dicap "rasional" oleh sekalangan ekonom, menjadi api dalam sekam bagi siapapun Pemerintahan yang mewarisinya.

Seperti ditulis Thomas Kuhn (1962), kemajuan dari suatu ilmu itu tidak pernah lancar, proses yang kumulatif namun merupakan serangkaian revolusi-revolusi yang ditandai berbagai tahapan yang berbeda. Dalam konteks ilmu ekonomi, cara pandang ini mewujud dalam sebuah paradigma ekonomi. Paradigma dari kalangan yang mengatasnamakan ekonomi "rasional" ini menggunakan asumsi-asumsi, konsep-konsep, dan metode yang pada masanya diakui. Setelah sekian lama, paham ekonomi ini menjadi normal science, diakui umum sehingga paradigma ini semakin terartikulasi, berkembang dan diangap sebagai sebuah monopoli kebenaran. Hingga akhirnya datanglah sebuah anomali. Kondisi di mana banyak keadaan sudah tidak lagi bisa dijelaskan dengan paradigma yang ada. Dan terjadilah krisis. Dalam kondisi krisis inilah bandul paradigma yang baru bergerak ke arah yang sebaliknya, yang akan menjadi normal science di masa yang baru.

Ambil contoh soal keperluan efisiensi pada APBN. Paradigma ekonomi lama, dengan pendekatan rasionalitasnya, lebih memilih untuk memotong anggaran sebesar ratusan triliun yang seharusnya dialirkan untuk transfer ke daerah. Dalam kondisi daya beli yang lemah dan ketimpangan yang tinggi, langkah "rasional" tak ayal memicu kemarahan publik. Misalnya di Pati, Pemda yang kebingungan akhirnya memilih menaikkan pajak bumi dan bangunan dan malah menuai respon demonstrasi yang berujung pada krisis politik lokal dan menjalar hingga nasional. Rasionalitas ekonomi, yang mungkin bisa dibilang sebagai ekonomi "pengetatan", telah membawa bencana sosial-politik yang mengerikan. Paska berlalunya bencana sosial-politik ini, sudah barang tentu Bangsa Indonesia memerlukan paradigma ekonomi yang baru.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kembali ke masalah ekonomi "rasional" atau "pengetatan". Entah rasionalitas seperti apa yang lebih memilih memotong anggaran belanja Rp 300-an triliun ketimbang memanfaatkan dana SAL yang tersimpan di Bank Indonesia sebesar Rp 450 triliun untuk disuntikkan ke dalam sistem ekonomi (baca: bergulir di Masyarakat). Opsi pengetatan ini jelas menimbulkan kesulitan hidup rakyat mayoritas karena daya beli yang hancur, pendapatan yang rendah dan stagnan, pemutusan hubungan kerja, dan lain sebagainya. Sementara ada dana pemerintah yang tidak terserap-yang parkir begitu saja-yang sebenarnya bisa digunakan untuk menalangi APBN, agar tidak perlu melakukan efisiensi. Namun, rasionalitas paradigma lama tetap memilih pengetatan dan secara tidak langsung telah memprovokasi masyarakat untuk melakukan perlawanan di daerah-daerah. Apa yang sudah kita lalui adalah pelajaran yang sangat berharga, sebagai bangsa yang bisa belajar dari kesalahan, kita tentu tidak perlu mengulang kembali paradigma ekonomi lama bila ternyata kita memiliki semangat baru.

Anomali lain yang sering luput terbahas adalah, dugaan saya, terdapat hubungan kuat antara rendahnya pertumbuhan kredit di sektor perbankan dengan agresifnya perbankan membeli surat utang pemerintah. Kenapa? Karena tingginya bunga surat utang pemerintah telah mengakibatkan efek baru, yang bernama efek crowding out, atau mengeringnya likuiditas di masyarakat untuk membiayai program pemerintah. Pertumbuhan kredit yang sangat rendah (7 persen), mungkin yang terendah sejak era Covid, sudah tidak cocok dengan rencana pertumbuhan ekonomi tinggi. Pertumbuhan kredit rendah menandakan rendahnya daya usaha masyarakat Indonesia. Seharusnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen saja, pertumbuhan kredit harus di atas 15 persen atau lebih dari dua kali lipat pertumbuhan kredit saat ini. Maka terobosan dari Menteri Keuangan baru, yang tentu kita harapkan memiliki paradigma baru juga, dengan menggelontorkan dana SAL Rp 200 triliun ke perbankan Negara, dapat memacu pertumbuhan kredit perbankan di atas 10 persen tahun depan.

ADVERTISEMENT

Hanya yang paling penting sebenarnya, di luar injeksi ke perbankan sebesar Rp 200 triliun tersebut, adalah kolaborasi dari seluruh kementerian yang sifatnya memacu produktivitas ekonomi nasional. Lapangan kerja harus benar-benar dapat diciptakan. Pabrik-pabrik hilirisasi pertanian, perkebunan, dan perikanan bermunculan. PHK-PHK massal dapat ditahan. Koperasi-koperasi produktif tumbuh dan berkembang dan mampu berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Pembangunan perumahan benar-benar meluas. Daya beli masyarakat pun akan meningkat. Maka orang-orang tidak akan ragu lagi untuk mengambil resiko untuk berusaha. Apabila ini terjadi, injeksi Rp 200 triliun ke perbankan dapat benar-benar bermanfaat untuk menggerakkan ekonomi masyarakat.

Salah satu goal dari sekian ragam aliran ekonomi ialah mencapai pertumbuhan. Hanya yang menjadi masalah, benar sanggup tidak aliran yang satu ketimbang yang lain merealisasikannya, sudah dibuktikan sejarah. Aliran ekonomi "pengetatan" telah gagal memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari akan semakin tertinggalnya kesejahteraan masyarakat kita dibanding Vietnam. Bila dibandingkan antara tahun 1975, PDB per kapita Indonesia sebesar US$ 230, yang mana saat itu sedang masa puncak dominasi aliran ekonomi "pengetatan" di Orde Baru. Sementara di tahun yang sama, Vietnam baru saja selesai perang dan PDB perkapitanya hanya US$ 79. Kini, setelah 50 tahun PDB perkapita Indonesia sebesar US$ 5.030, sementara Vietnam sudah di US$4.806. Sudah pasti bila tidak ada percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, Vietnam akan segera melampaui tingkat kesejahteraan kita. Jadi kelihatannya sudah benar Presiden Prabowo memasang target 8 persen, setidaknya dengan begini akan ada ruang untuk kalangan aliran ekonomi di luar aliran ekonomi "pengetatan" muncul, agar tidak loe lagi loe lagi.

Gede Sandra. Peneliti di lembaga think tank Lingkar Studi Perjuangan (LSP). Sarjana di Teknik Kimia ITB, Master di Ilmu Ekonomi FEUI, saat ini sedang doktoral Ilmu Ekonomi di IPB.

Simak juga Video Menkeu Purbaya Pilih Genjot Ekonomi Tanpa Tambah Utang Besar

(imk/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads