Dalam lanskap fiskal Indonesia yang kian terkonsolidasi, tekanan terhadap efisiensi anggaran pemerintah pusat telah merembes ke daerah. Transfer ke daerah mengalami penyesuaian, sementara tuntutan terhadap kinerja pembangunan lokal tetap tinggi. Di tengah situasi ini, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi instrumen vital, bukan hanya sebagai sumber pembiayaan, tetapi sebagai cermin kemandirian fiskal dan keberdayaan ekonomi lokal. Namun, bagaimana PAD dapat ditingkatkan tanpa mengorbankan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan? Di sinilah relevansi Ekonomi Pancasila sebagai paradigma alternatif muncul secara strategis.
Opsi Struktural
Ekonomi Pancasila, sebagai gagasan normatif yang menggabungkan efisiensi pasar dengan etika sosial, menolak dikotomi antara negara dan pasar. Ia menempatkan manusia sebagai subjek ekonomi, bukan objek statistik. Dalam konteks PAD, pendekatan ini menuntut agar optimalisasi pendapatan tidak semata-mata berbasis intensifikasi pajak dan retribusi, tetapi melalui rekayasa kelembagaan yang memberdayakan ekonomi rakyat dan memperluas basis produksi lokal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara empiris, kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah masih timpang. Misalnya saja dikutip dari data Kemendagri tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD kabupaten/kota hanya sekitar 12,4%, dengan ketimpangan ekstrem antara daerah metropolitan seperti DKI Jakarta (PAD > 50%) dan kabupaten tertinggal di Papua (< 5%). Ketimpangan ini bukan semata akibat perbedaan potensi ekonomi, tetapi juga refleksi dari model pembangunan yang belum sepenuhnya mengadopsi prinsip ekonomi kerakyatan.
Dalam kerangka Ekonomi Pancasila, optimalisasi PAD dapat dilakukan melalui tiga pendekatan struktural. Pertama, revitalisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai agen produksi lokal. Bukan sekadar entitas komersial, BUMD harus menjadi instrumen pembangunan sektoral dari pangan, air bersih, hingga transportasi dengan model tata kelola yang transparan dan berbasis kebutuhan masyarakat. Studi perbandingan antara BUMD Provinsi Jawa Barat dan BUMD Sumatera Barat menunjukkan bahwa BUMD yang memiliki orientasi pelayanan publik dan kemitraan dengan koperasi lokal cenderung lebih berkontribusi terhadap PAD dan stabil secara finansial.
Kedua, reformulasi kebijakan pajak dan retribusi daerah dengan pendekatan behavioral economics. Alih-alih menaikkan tarif, pemerintah daerah dapat mengadopsi strategi nudging misalnya, memberikan insentif bagi pelaku UMKM yang membayar pajak tepat waktu, atau mengintegrasikan sistem digital yang memudahkan pelaporan dan pembayaran. Kota Surabaya, melalui aplikasi e-Pajak, berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak sebesar 18% dalam dua tahun terakhir.
Ketiga, penguatan ekosistem ekonomi lokal berbasis komoditas unggulan. Pendekatan ini menuntut pemetaan potensi ekonomi daerah secara partisipatif, lalu membangun rantai nilai yang melibatkan petani, koperasi, dan pelaku industri kreatif. Kabupaten Banyuwangi, misalnya, berhasil meningkatkan PAD dari sektor pariwisata dan agroindustri melalui skema kemitraan antara pemerintah daerah, komunitas lokal, dan investor swasta dengan prinsip keberlanjutan.
Semangat Ekonomi Pancasila
Namun, strategi ini tidak akan efektif tanpa reformasi kelembagaan yang bersifat mendasar dan lintas sektor. Banyak daerah masih terjebak dalam logika birokrasi administratif yang rigid dan fragmentaris, di mana fungsi fiskal dipandang sebagai urusan teknis penganggaran semata, terpisah dari fungsi pembangunan yang seharusnya bersifat strategis dan transformatif. Akibatnya, PAD sering diperlakukan sebagai target nominal tahunan, bukan sebagai instrumen pembangunan yang berakar pada dinamika ekonomi lokal dan aspirasi masyarakat.
Dalam semangat Ekonomi Pancasila, institusi daerah harus bertransformasi dari sekadar regulator yang mengelola perizinan dan pungutan menjadi fasilitator ekonomi rakyat yang aktif membangun ekosistem produksi, distribusi, dan konsumsi yang berkeadilan. Ini menuntut perubahan dalam desain organisasi birokrasi, dari struktur hierarkis menjadi jaringan kolaboratif; dalam sistem insentif, dari orientasi kepatuhan administratif menuju penghargaan atas inovasi dan dampak sosial; serta dalam kapasitas teknokratis aparatur, dari sekadar pengelola anggaran menjadi perancang kebijakan yang memahami ekonomi lokal secara holistik.
Reformasi kelembagaan ini juga menuntut integrasi antara fungsi fiskal dan fungsi pembangunan dalam satu kerangka kerja yang berbasis outcome, bukan hanya output. Misalnya, peningkatan PAD dari sektor pariwisata tidak cukup diukur dari jumlah retribusi yang terkumpul, tetapi dari seberapa besar dampaknya terhadap pendapatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan pelestarian budaya lokal. Dengan kata lain, PAD harus menjadi indikator kapabilitas daerah dalam menciptakan nilai tambah yang inklusif dan berkelanjutan.
Secara teoritis, pendekatan ini menggabungkan prinsip Musgrave (1959) sebagaimana dimuat dalam bukunya Theory of Public Finance, yang menekankan pentingnya fungsi alokasi dan distribusi fiskal sebagai instrumen pemerataan dan efisiensi. Sementara itu dengan gagasan Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom memandang pembangunan sebagai perluasan kapabilitas manusia untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga. Dalam konteks ini, PAD bukan hanya angka dalam neraca, tetapi refleksi dari kemampuan daerah untuk menciptakan struktur ekonomi yang memungkinkan warganya berkembang secara sosial dan produktif.
Dengan demikian, menggenjot PAD ala Ekonomi Pancasila bukanlah proyek fiskal semata, melainkan rekayasa sosial yang menempatkan rakyat sebagai aktor utama dalam proses pembangunan. Di tengah efisiensi anggaran dan tekanan fiskal dari pusat, inilah saatnya daerah membuktikan bahwa kemandirian fiskal dapat berjalan seiring dengan keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Bukan dengan mengejar pendapatan secara eksploitatif, tetapi dengan membangun sistem ekonomi lokal yang berakar pada nilai gotong royong, kemandirian, dan keberlanjutan nilai-nilai inti dari Pancasila itu sendiri.
Sehingga pendekatan ekonomi pancasila dapat diterapkan di tengah-tengah keterbatasan anggaran sebagai konsekuensi logis sekaligus opsi struktural terhadap implikasi efisiensi fiskal di daerah.
Herry Mendrofa. Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA)
(imk/imk)