Kolom

Tragedi Era Digital

Pormadisimbolon - detikNews
Rabu, 08 Okt 2025 13:29 WIB
Foto: Ilustrasi media sosial (Getty Images/iStockphoto/Kar-Tr)
Jakarta -

Fenomena flexing di media sosial belakangan ini menghebohkan publik Indonesia. Sejumlah anak muda percaya diri memamerkan mobil mewah, tas bermerek, dan uang segepok seolah itu tanda kesuksesan sejati.

Kasus Mario Dandy pada tahun 2023, anak pejabat pajak yang kerap memamerkan mobil Rubicon dan motor gede, menjadi sorotan karena kemudian tersangkut perkara hukum penganiayaan. Meski masalah hukumnya bukan akibat flexing, peristiwa ini menjadi simbol bagaimana pamer harta memicu kritik publik.

Ada pula kasus "crazy rich" gadungan yang memamerkan kekayaan palsu hasil penipuan. Selebritas dan influencer pun kerap menampilkan gaya hidup mewah di Instagram atau TikTok-makanan mahal, barang branded, liburan ke luar negeri.

Di sisi lain, berita remaja depresi akibat perundungan (cyberbullying) makin sering muncul. Fenomena ini menunjukkan wajah lain era digital: di balik layar penuh cahaya, tersembunyi kehampaan dan luka batin.

Menurut Indonesia Digital Report 2023, terdapat 167 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia atau sekitar 60 persen populasi. Rata-rata penggunaan mencapai 3 jam 18 menit per hari. Data ini membuktikan ruang digital telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Era Cair

Dalam Liquid Modernity (2000), Zygmunt Bauman menyebut zaman kini sebagai modernitas cair: segalanya bergerak cepat, berubah, dan sulit menetap. Identitas manusia pun cair. Jika dahulu dibangun dari keluarga, komunitas, dan tradisi, kini lebih banyak ditentukan profil digital yang mudah diubah sesuai tren.

Tidak sedikit generasi muda hari ini tampil sebagai aktivis lingkungan, esok gamer, lusa komentator politik. Identitas tidak lagi soal siapa diri kita, melainkan bagaimana kita terlihat di dunia digital.

Byung-Chul Han dalam The Burnout Society (2010) menyebut manusia kini hidup dalam masyarakat prestasi: tuntutan untuk selalu lebih viral, produktif, dan kreatif. Jika dahulu tekanan datang dari luar, kini datang dari dalam diri sendiri.

Tekanan ini nyata di berbagai platform. Banyak kreator konten mengaku lelah karena harus terus membuat tayangan agar tidak ditinggalkan pengikut sekaligus demi pemasukan.

Sebuah studi internasional yang dikutip media lokal (2024) melaporkan tiga dari empat kreator konten mengalami stres atau burnout akibat tekanan algoritma. Kebebasan digital ternyata semu; manusia justru terjebak dalam kompetisi tanpa akhir.

Menurut penulis, inilah tragedi digital: teknologi yang semula diciptakan untuk memperkaya hidup justru menimbulkan penderitaan baru. Kedangkalan menggantikan kedalaman, citra menggeser makna, eksistensi manusia direduksi menjadi angka like dan follower.

Kedangkalan Mengikis Kedalaman

Tragedi digital nyata dalam hilangnya ruang kedalaman. Algoritma mendorong konten singkat dan sensasional; refleksi kritis tenggelam.

Bauman menyebut ini sebagai hilangnya the commons: setiap orang sibuk membangun panggung sendiri, sementara kepedulian sosial melemah.

Di Indonesia, isu bencana atau kemanusiaan sering kalah perhatian dibanding gosip selebritas. Han dalam The Transparency Society (2012) menyebutnya tirani positivitas: dunia digital menuntut segalanya tampak menyenangkan, likeable, dan shareable. Kritik, kesedihan, bahkan keheningan tak lagi dihargai.

Ekshibisionisme Digital

Fenomena lain adalah ekshibisionisme digital. Banyak orang dengan sukarela membuka sisi pribadinya--dari makanan hingga persoalan rumah tangga--demi pengakuan publik. Privasi kian kabur.

Bauman dalam Liquid Surveillance (2013, bersama David Lyon) menyebut kondisi ini synopticon: banyak orang mengawasi sedikit figur populer. Influencer dan YouTuber menjadi pusat perhatian jutaan orang.

Han dalam Psychopolitics (2017) menilai manusia telah menjadikan dirinya produk pasar. Identitas otentik terkikis; yang tersisa hanyalah citra semu. Semakin keras mencari pengakuan, semakin besar kehampaan yang dirasakan.

Di balik citra bahagia, banyak orang sesungguhnya bergulat dengan kelelahan dan depresi. Han menyebut manusia digital sebagai the tired self-subjek yang lelah, bukan karena dipaksa pihak luar, melainkan karena memaksa diri sendiri untuk terus eksis.

Survei Nasional Kesehatan Jiwa Indonesia 2022 mencatat 2,45 juta remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental. Tekanan terbesar datang dari perbandingan sosial: kurangnya like, ejekan daring, hingga rasa tidak mampu menyamai pencapaian teman sebaya. Ini menegaskan tragedi digital nyata di hadapan kita.

Menata Ulang Relasi Digital

Tragedi digital tidak boleh dipandang remeh. Ia bukan sekadar masalah individu, melainkan fenomena sosial yang menuntut tanggung jawab bersama. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh.

Pertama, literasi digital dan emosional. Sekolah dan keluarga harus mengajarkan keterampilan menghadapi tekanan media sosial, bukan hanya cara menggunakannya. Generasi muda perlu memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan jumlah pengikut.

Kedua, menciptakan ruang hening. Di tengah banjir notifikasi, masyarakat perlu membatasi waktu daring, misalnya melalui digital detox. Keheningan adalah cara melawan tirani kecepatan dan tuntutan tampil.

Ketiga, memperkuat ruang bersama. Komunitas nyata-keluarga, sekolah, organisasi kemasyarakatan, rumah ibadah-harus menjadi tempat membangun relasi mendalam yang bebas dari algoritma.

Keempat, membatasi ekshibisionisme digital. Tidak semua aspek kehidupan layak dipamerkan; ada nilai lebih bermakna bila dirawat dalam keintiman.

Bauman dalam Liquid Modernity menekankan tugas manusia membangun dunia bersama yang lebih manusiawi di tengah modernitas cair. Han dalam The Transparency Society mengingatkan pentingnya melawan tirani "positivitas" digital. Dua pesan ini berpadu: kita perlu menata ulang relasi dengan teknologi agar ruang digital memperdalam, bukan mereduksi, kemanusiaan.

Era digital memang membawa kemudahan komunikasi, tetapi juga melahirkan tragedi baru: citra menggantikan makna, kedangkalan menggerus kedalaman, produktivitas berujung pada kelelahan.

Namun tragedi ini tidak harus menjadi akhir. Ia bisa menjadi panggilan untuk membangun kehidupan digital yang lebih sehat, otentik, dan manusiawi.

Kita dihadapkan pada pilihan: terus terjebak dalam kedangkalan citra, atau menjadikan digital sebagai sarana memperkaya hidup bersama. Pilihan kedualah yang layak ditempuh, agar layar bercahaya tidak menutupi kegelapan batin, melainkan membuka ruang bagi kemanusiaan yang utuh dan mendalam.

Pormadi Simbolon. Pegiat literasi, alumnus pascasarjana STF Driyarkara Jakarta.

Tonton juga Video: Awas! Flexing di Media Sosial Bisa Jadi Sasaran Penipu Online




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork