Bangka Belitung menyimpan harta karun strategis yang menjadi incaran dunia: timah dan logam tanah jarang (rare earth elements). Namun di mata Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, kekayaan itu bukan sekadar komoditas ekspor, melainkan sumber kedaulatan ekonomi yang harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat-sebagaimana amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Kunjungan Prabowo ke Bangka Belitung pada 6 Oktober 2025 menjadi momen penting dalam reposisi kebijakan sumber daya alam Indonesia. Di hadapan aparat penegak hukum, TNI, dan masyarakat, Presiden menyaksikan penyitaan enam smelter ilegal yang terlibat praktik tambang tanpa izin di kawasan PT Timah.
Nilai aset yang disita diperkirakan mencapai Rp 6-7 triliun, sementara potensi kerugian negara akibat praktik ilegal tersebut mencapai Rp 300 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari lokasi itu, ditemukan tumpukan ingot timah dan tanah jarang jenis monasit. Nilainya fantastis: satu ton monasit bisa mencapai 200 ribu dolar AS, dengan total temuan mendekati 40 ribu ton.
Jika dikonversi, potensi yang diselamatkan dari monasit saja dapat mencapai Rp 128 triliun. Angka itu sebagian dari keseluruhan kerugian negara yang dikatakan Prabowo mencapai Rp 300 triliun tadi.
Tanah Jarang dan Logika Geopolitik Baru
Lebih dari 91 persen cadangan timah Indonesia berada di Bangka Belitung, tersebar di hampir 500 lokasi tambang. Tak hanya itu, sekitar 95 persen potensi logam tanah jarang nasional-neodymium, cerium, dan lanthanum-juga tersimpan di wilayah ini.
Kedua mineral tersebut merupakan "emas baru" dunia modern. Timah adalah bahan utama untuk solder pada komponen elektronik dan kendaraan listrik. Sementara tanah jarang menjadi bahan baku magnet permanen untuk turbin angin, baterai, perangkat medis, bahkan sistem pertahanan.
Dalam logika geopolitik global, siapa yang menguasai rantai pasok mineral strategis seperti ini akan menguasai arah teknologi masa depan.
Indonesia, melalui langkah-langkah penegakan hukum yang kini digerakkan, tampak berusaha memastikan bahwa kekayaan tersebut tidak jatuh ke tangan asing atau diperdagangkan secara ilegal. Sebagaimana beberapa kali ditegaskan Prabowo, "Semua harus dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat."
Dari Eksploitasi ke Tata Kelola Berdaulat
Selama beberapa dekade, kekayaan alam kerap memunculkan paradoks klasik: sumber daya melimpah, tetapi masyarakat sekitar tetap miskin. Ratusan tambang ilegal tumbuh tanpa kendali, negara kehilangan triliunan rupiah, sementara kelompok kecil memperkaya diri.
Paradigma ini kini tengah diubah. Di bawah komando Prabowo, pendekatan yang diambil tidak berhenti pada penertiban hukum semata, tetapi juga integrasi dengan tata kelola dan industrialisasi. Aset smelter yang disita akan dikembalikan untuk dikelola oleh PT Timah bersama masyarakat lokal, agar hasilnya langsung dirasakan oleh rakyat.
Langkah ini sejalan dengan kebijakan hilirisasi yang lebih progresif: memastikan mineral strategis tidak lagi diekspor mentah, melainkan diolah di dalam negeri agar nilai tambahnya-yang bisa naik hingga puluhan kali lipat-dinikmati bangsa sendiri.
Tidak Ada Kompromi untuk Korupsi
Prabowo juga secara tegas menyebut korupsi sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan nasional. Dalam kasus timah, puluhan individu dan sejumlah korporasi telah diproses hukum. Ia pun menegaskan pemerintah tidak beri ruang bagi mafia tambang dan koruptor yang merampas kekayaan bangsa.
Pesan ini bukan hanya soal moralitas hukum, tetapi juga fondasi kebijakan publik yang menghubungkan antara integritas birokrasi dan kemandirian ekonomi. Negara tidak bisa berdaulat atas sumber dayanya jika aliran ekonominya bocor ke tangan segelintir aktor rente.
Menegakkan Pasal 33: Jalan Menuju Kedaulatan Ekonomi
Kebijakan penguasaan sumber daya strategis di Bangka Belitung mencerminkan semangat penegakan Pasal 33 UUD 1945 dalam konteks modern. Pasal ini bukan sekadar slogan, melainkan prinsip pembangunan nasional yang kini diterjemahkan dalam tiga langkah besar:
1. Penegakan hukum di sektor tambang dan hutan.
2. Perbaikan tata kelola melalui penguatan BUMN strategis seperti PT Timah.
3. Industri hilir yang memastikan nilai tambah dinikmati oleh rakyat, bukan eksportir mentah.
Kedaulatan ekonomi hanya bisa ditegakkan bila negara memiliki kendali penuh atas sumber dayanya sendiri-baik melalui kebijakan fiskal, hukum, maupun industrialisasi. Dengan hilirisasi tambang, pemberantasan korupsi, dan integrasi lintas sektor, Indonesia mulai menapaki babak baru dalam sejarah pengelolaan kekayaan alam: dari eksploitasi menuju kedaulatan.
Kini Bangka Belitung bukan sekadar 'pulau timah' tetapi menjadi laboratorium kebijakan publik tentang bagaimana negara bisa menata ulang hubungan antara sumber daya, hukum, dan kemakmuran rakyat. Dari sisa lumpur pengolahan timah yang dulu dianggap limbah, kini muncul bahan dasar industri masa depan: monasit-logam tanah jarang yang menopang energi hijau, teknologi tinggi, dan pertahanan.
Keberadaan Bangka Belitung menjadi entry point dalam reinventing governance terkait arah kebijakan pengelolaan tambang timah secara nasional yang selama ini kurang mencerminkan keterbukaan dan keterlibatan publik. Kehadiran Prabowo ke Bangka Belitung membuktikan bahwa pemerintah serius untuk membenahi tambang timah agar memberi manfaat optimal kepada rakyat dan mengembalikan kedaulatan timah ada di tangan rakyat.
Bangka Belitung adalah metafora atas babak baru ekonomi Indonesia: bangsa yang tidak lagi menjual tanahnya mentah-mentah, melainkan mengolahnya menjadi kemandirian. Dari "pulau tambang" menjadi simbol kedaulatan nasional-sebuah perjalanan panjang dari eksploitasi menuju martabat.
Trubus Rahardiansah. Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti.
Tonton juga Video: Prabowo Geram Kasus Timah Ilegal Rugikan Negara Rp 300 T