Kolom

Menegosiasikan Ruang Lewat Perjalanan Solo Perempuan Indonesia

Inayah Hidayati - detikNews
Selasa, 07 Okt 2025 10:51 WIB
Foto: Ilustrasi perempuan (Getty Images/Eva-Katalin)
Jakarta -

Perjalanan solo perempuan Indonesia merupakan fenomena sosial yang kompleks, tidak hanya sebatas perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas ini selalu terikat dengan berbagai ruang: domestik, publik, maupun transnasional. Penelitian terhadap 25 perempuan Indonesia yang melakukan perjalanan sendiri ke berbagai negara menunjukkan bahwa bahkan perjalanan personal tetap harus dinegosiasikan dengan keluarga (Hidayati dkk., 2025).

Dalam konteks budaya Indonesia, praktik perawatan diri melalui perjalanan solo sering kali masih dibingkai oleh norma agama dan tradisi lokal. Persetujuan orang tua atau pasangan kerap menjadi syarat awal, sehingga ruang domestik rumah tangga tetap menjadi titik berangkat yang menentukan sejauh mana perempuan dapat bergerak bebas.

Faktor Sosial-Budaya dan Identitas Perempuan

Mobilitas lintas negara memberi perempuan kesempatan untuk merespons isu-isu global sekaligus mempertahankan identitas kultural mereka (Nikmatullah & Istianah, 2024; Subagja, 2022). Namun, feminisme global justru menuntut perempuan untuk terus menegosiasikan posisi mereka baik di level lokal maupun internasional. Dengan kata lain, perjalanan solo bukan hanya tentang "pergi jauh", tetapi juga tentang bagaimana perempuan menempatkan dirinya dalam tarik-menarik antara tradisi, identitas, dan modernitas global.

Di ruang publik, perempuan sering berhadapan dengan pembatasan baru berupa stereotip gender. Stigma seperti "perempuan Asia" atau "muslim traveler" kerap muncul, disertai pelecehan verbal, tatapan menghakimi, bahkan pertanyaan sinis terkait legitimasi mereka bepergian sendiri. Situasi ini menunjukkan bahwa ruang publik adalah arena yang selalu diperebutkan, di mana setiap langkah membawa beban tambahan untuk membuktikan dan melegitimasi keberadaan diri.

Strategi Membangun Ruang Aman

Meski penuh tantangan, perempuan tidak pasif dalam menghadapi keterbatasan. Mereka aktif menciptakan ruang aman dengan beragam strategi: membangun jejaring dengan pelancong lain, menggunakan komunikasi asertif, hingga mengatur bahasa tubuh agar terlihat percaya diri. Strategi ini memperlihatkan bahwa ruang aman bukanlah fasilitas yang tersedia begitu saja, melainkan hasil dari kreativitas dan pengalaman yang terus diasah.

Perempuan memanfaatkan sumber daya sosial, teknologi, dan bahkan simbol-simbol tubuh untuk menandai bahwa ruang publik juga milik mereka. Dengan demikian, perjalanan solo menjadi praktik politik ruang sehari-hari, di mana perempuan mengolah ulang pengalaman mobilitas agar tetap aman sekaligus bermakna.

Paradoks Kebebasan dan Pembatasan

Bagi banyak perempuan, perjalanan solo menawarkan kebebasan, kemandirian, dan pertumbuhan personal. Banyak yang pulang dengan rasa percaya diri lebih tinggi, keterampilan adaptasi yang lebih baik, serta perspektif global yang lebih luas. Namun, perjalanan ini juga diwarnai risiko, prasangka, dan tuntutan adaptasi kompleks.

Perjalanan solo mengandung paradoks: membebaskan sekaligus membatasi, memberi ruang refleksi sekaligus menegaskan ketidaksetaraan ruang publik. Justru melalui paradoks inilah terlihat bahwa mobilitas perempuan adalah cerminan negosiasi sosial-budaya yang berlangsung terus-menerus di berbagai skala ruang.

Membangun Mobilitas yang Inklusif

Jika mobilitas perempuan selalu bersifat gendered, maka kebijakan transportasi dan pariwisata perlu merespons realitas ini. Infrastruktur yang aman, sistem pelaporan pelecehan yang efektif, serta dukungan bagi komunitas pelancong perempuan adalah langkah penting untuk menciptakan ekosistem mobilitas yang lebih adil.

Selain itu, kampanye publik dan pendidikan sosial diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa ruang publik harus dapat diakses dengan aman oleh semua orang. Upaya ini tidak hanya membebankan strategi adaptasi pada perempuan, tetapi juga mendorong masyarakat luas untuk bersama-sama menciptakan ruang yang inklusif.

Mobilitas sebagai Negosiasi Sosial-Budaya

Perjalanan solo perempuan Indonesia tidak dapat dipahami sekadar sebagai aktivitas rekreasi, melainkan sebagai praktik sosial yang sarat negosiasi. Mobilitas ini menunjukkan tarik-menarik antara norma domestik, stigma publik, dan tuntutan global, sekaligus membuka ruang baru bagi perempuan untuk menegosiasikan identitas dan legitimasi kehadiran mereka.

Dengan memahami pengalaman ini, kebijakan transportasi dan pariwisata dapat diarahkan pada pendekatan yang lebih holistik, yang tidak hanya menekankan efisiensi, tetapi juga keadilan gender dan keamanan emosional. Pada akhirnya, mengakui legitimasi mobilitas perempuan berarti membuka jalan menuju masyarakat yang lebih adil, di mana perempuan dapat bergerak bebas tanpa harus terus-menerus menegosiasikan ruang yang memang sudah menjadi hak mereka.


Inayah Hidayati. Periset kebijakan kependudukan di Direktorat Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan, dan Kebudayaan, BRIN.

Tonton juga Video Putri Tanjung soal TGC Jakarta 2025: Merayakan Semua Perempuan




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork