80 Tahun TNI: TNI Prima Manunggal Bersama Rakyat

Tantan Taufiq Lubis - detikNews
Minggu, 05 Okt 2025 22:27 WIB
Foto: Tantan Taufiq Lubis (dok istimewa)
Jakarta -

Era globalisasi abad ke-21 telah mentransformasi lanskap keamanan nasional dan internasional secara fundamental. Tantangan yang dihadapi oleh Tentara Nasional Indonesia-TNI telah berevolusi dari ancaman konvensional yang bersifat kinetik menjadi ancaman yang kompleks, multidimensi, dan seringkali bersifat hybrid. Dalam rangka memperingati 80 tahun perjalanannya, refleksi historis menjadi penting bukan hanya sebagai kilas balik, tetapi sebagai fondasi untuk merancang masa depan.

TNI lahir bukan sebagai institusi negara yang mapan, melainkan dari rakyat yang bersenjata. Pada masa ini, TNI awalnya BKR/TKR berperan sebagai people's army yang menyatu dengan rakyat. Perang gerilya dan strategi total people's defense menjadi ciri khas. Menurut sejarawan militer
A.H. Nasution dalam bukunya "Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Yang Lalu dan Masa Yang Akan Datang", kemenangan dalam revolusi fisik tidak terletak pada kekuatan senjata semata, tetapi pada dukungan total rakyat. Hal ini menciptakan DNA pertama TNI, Yaitu TNI Rakyat.

Kelahiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober 1945 bukan sekadar peristiwa administratif atau pembentukan sebuah institusi militer biasa. Ia adalah manifestasi final dan kristalisasi dari kobaran perjuangan rakyat Indonesia yang telah bergelora sejak proklamasi kemerdekaan, bahkan sejak masa pendudukan Jepang dan sebelumnya. Kelahirannya adalah sebuah jawaban yang tak terelakkan terhadap situasi genting yang memaksa bangsa muda ini untuk memiliki "tulang punggung" fisik dalam mempertahankan kemerdekaannya yang masih rapuh.

Dalam konteks inilah, kelahiran TNI yang awalnya bernama Tentara Keamanan Rakyat-TKR menjadi sebuah keniscayaan politik dan militer. Pemerintah menyadari bahwa semangat juang saja tidak cukup, diperlukan sebuah tentara teratur, terlatih, dan tersentralisasi untuk menghadapi musuh yang disiplin dan modern. Langkah ini adalah upaya untuk mengkonsolidasikan kekuatan militer di bawah satu komando nasional, tanpa mematikan semangat juang rakyat yang sudah ada. TNI tidak lahir dari ruang rapat yang steril, tetapi dari kancah pertempuran seperti Surabaya, Ambarawa, dan Bandung. Prajurit pertama TNI adalah para pemuda eks-PETA, Heiho, dan laskar- laskar yang telah teruji di medan tempur. Mereka bukan prajurit karier dalam arti konvensional, tetapi pejuang yang disiplinkan. TNI Lebih dari Sekadar Tentara, TNI adalah Anak Kandung Revolusi.

Kelahiran Tentara Nasional Indonesia yang sebelumnya BKR-TKR di tengah kobaran perjuangan memberikan warisan nilai yang mendalam bagi karakter TNI:
Jiwa Kerakyatan (Civic Mission): TNI sejak awal bukanlah tentara yang terpisah dari rakyat. Mereka adalah bagian integral dari rakyat yang mengangkat senjata. Filosofi "Tentara Rakyat" inilah yang membedakannya dari tentara pendudukan.

Semangat Pantang Menyerah: Pengalaman bertempur melawan musuh yang jauh lebih kuat memupuk mentalitas "habis gelap terbitlah terang" yang menjadi DNA TNI.
Loyalitas pada Negara: Dalam situasi revolusi yang penuh intrik, loyalitas tertinggi harus diberikan kepada negara Republik Indonesia yang sah, bukan kepada kelompok atau ideologi tertentu.

Pasca-pengakuan kedaulatan, TNI dihadapkan pada tantangan konsolidasi dan berbagai pemberontakan (PKI, DI/TII, PRRI, Permesta dan lainnya). Periode ini menunjukkan dual peran TNI, yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan sebagai kekuatan sosial-politik. Dwifungsi ABRI mulai menemukan bentuknya. Dalam jurnal "Indonesia" terbitan Cornell University, Harold Crouch dalam artikel "The Army and Politics in Indonesia" (1975) menganalisis bagaimana kondisi politik yang tidak stabil memaksa militer untuk masuk ke dalam gelanggang politik, sebuah warisan yang dampaknya masih terasa hingga hari ini.

Di bawah pemerintahan Soeharto, TNI mencapai puncak integrasinya dengan negara melalui doktrin Dwifungsi ABRI. TNI tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga mengisi jabatan-jabatan sipil di birokrasi dan legislatif. Buku "Military Politics and Democratization in Indonesia" oleh Jun Honna (2003) menjelaskan bahwa periode ini menciptakan militer yang kuat secara politik tetapi juga rentan terhadap praktik KKN dan menjauh dari akar people's army-nya. Modernisasi alat utama sistem senjata (Alutsista) sering kali dikalahkan oleh kepentingan politik dan stabilitas rezim.

Bersama Rezim Orde Baru, ABRI (sekarang TNI) bukan sekadar alat pertahanan, melainkan sebuah kekuatan sosio-politik yang memiliki peran "manifes" dan "legal". Doktrin Dwifungsi ABRI, seperti dianalisis secara brilian oleh Harold Crouch dalam bukunya "The Army and Politics in Indonesia" (1978), telah mengubah militer menjadi state within a state. Militer mengisi jabatan- jabatan sipil di birokrasi, memiliki kursi di parlemen (Fraksi TNI/POLRI), dan menjalankan bisnis melalui yayasan-yayasan untuk mendanai diri sendiri (off-budget funding).

Oleh karena itu, memandang kelahiran TNI hanya sebagai tanggal di kalender adalah kekeliruan historis. Ia adalah proses dinamis yang merefleksikan pergulatan bangsa Indonesia untuk bertahan hidup. Kelahiran TNI adalah pilihan strategis yang brilian untuk mengubah energi revolusi yang meluas menjadi kekuatan militer yang terfokus. Ia adalah anak kandung dari zaman yang penuh gejolak, yang dibesarkan oleh darah dan air mata perjuangan. Warisan semangat inilah semangat untuk berdiri tegak di atas kaki sendiri, setia kepada konstitusi, dan bersatu padu dengan rakyat yang seharusnya terus menjadi pedoman, bukan hanya untuk TNI, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia. Kobaran perjuangan itu tidak berhenti pada 1945, ia harus terus menyala dalam bentuk semangat membangun negara Indonesua yang berdaulat, adil, dan Makmur, inilah Warisan Nilai yang Tak Tergantikan.

Dari Reformasi Militer Menuju re-Militerisasi fungsional?

Jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998 bukan hanya menjadi momentum kelahiran demokrasi Indonesia, tetapi juga merupakan pukulan telak dan titik balik paksa bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Institusi yang selama 32 tahun berperan sebagai "the ruler" (penguasa) melalui doktrin Dwifungsi ABRI, tiba-tiba harus berhadapan dengan tuntutan untuk bertransformasi menjadi "the ruled" (yang diperintah) di bawah kendali otoritas sipil yang demokratis. Proses reposisi ini adalah salah satu reformasi struktural paling ambisius, kompleks, dan penuh liku dalam sejarah Indonesia modern.

Reposisi TNI pasca-1998 telah berhasil dalam menciptakan "demiliterisasi" politik formal, namun masih bergumul dalam mewujudkan "remiliterisasi" profesionalisme yang utuh, terkendala oleh warisan struktural, kepentingan ekonomi, dan kompleksitas ancaman kontemporer. Semangat Jaman memaksa TNI melakukan reformasi fundamental. Tap MPR No. VI/MPR/2000 dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi landasan hukum untuk menarik militer dari politik praktis dan mengembalikannya pada fungsi utamanya. Proses ini, seperti dijelaskan oleh Marcus Mietzner dalam bukunya "The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance" (2009), adalah proses yang panjang dan penuh tantangan, termasuk resistensi dari dalam internal TNI sendiri.

Keruntuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 menjadi titik balik fundamental tidak hanya bagi demokrasi Indonesia, tetapi juga bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dari sebuah institusi yang berkuasa (the ruler) dengan doktrin Dwifungsi ABRI yang menempatkannya di semua lini kekuasaan, TNI dipaksa dan berusaha untuk bertransformasi menjadi institusi yang diperintah oleh yang terpilih (the ruled). Proses reposisi ini adalah salah satu reformasi struktural paling ambisius dan sulit dalam sejarah Indonesia modern. Pandangan ini berargumen bahwa reposisi TNI pasca- 1998 telah mencapai kemajuan signifikan dalam hal pelembagaan kendali sipil dan penarikan diri dari politik formal, namun masih menghadapi tantangan berat dalam mewujudkan profesionalisme murni, yang terkendala oleh warisan struktural, kepentingan ekonomi, dan kompleksitas ancaman baru

Reposisi TNI pasca Reformasi adalah salah satu kisah sukses transisi demokrasi Indonesia. TNI telah berhasil melakukan transformasi dramatik dari sebuah institusi yang berkuasa menjadi institusi yang pada dasarnya tunduk pada kontrol demokratis. Mereka telah kembali ke khittahnya sebagai "tool of the state" yang profesional. Namun, opini ini menyimpulkan bahwa reposisi TNI adalah sebuah proses, bukan sebuah titik akhir. Menjadi militer yang profesional bukan hanya tentang memiliki senjata yang canggih, tetapi juga tentang konsistensi dalam tunduk pada kedaulatan sipil, transparansi, dan penghormatan terhadap HAM dalam setiap tindakannya. Kobaran semangat 1945 kini harus diartikulasikan ulang bukan sebagai semangat untuk berkuasa, tetapi sebagai semangat pengabdian yang tulus dan profesional kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis. Perjalanan itu masih berlanjut, dan pengawasan serta dukungan dari seluruh elemen bangsa tetap dibutuhkan untuk memastikan TNI konsisten pada jalur profesinalismenya.

Dari kilas balik ini, terlihat sebuah pola bahwa TNI selalu beradaptasi dengan konteks zamannya. DNA "TNI Rakyat" dari masa revolusi adalah modal sosial yang tak ternilai. Namun, intervensi di masa Orde Baru meninggalkan "luka" dalam hubungan sipil-militer. Era reformasi adalah upaya penyembuhan dan profesionalisasi. Sejarah 80 tahun ini bukan hanya tentang perang dan politik, tetapi tentang pencarian jati diri sebuah institusi di tengah turbulensi bangsa. Keberhasilan TNI di abad ke-21 sangat bergantung pada kemampuannya menyaring nilai-nilai terbaik dari sejarahnya (seperti kedekatan dengan rakyat) dan meninggalkan warisan yang kontra-produktif (seperti intervensi politik).

Saking dinamis nuansa adaftasi nya, era kepresidenan Joko Widodo menampilkan sebuah paradoks yang mencengangkan dalam hubungan sipil-militer Indonesia. Di satu sisi, secara formal, TNI tetap berpegang pada komitmennya untuk tidak terlibat dalam politik praktis sebagaimana diamanatkan oleh reformasi. Tidak ada kursi di DPR, dan doktrin Dwifungsi secara resmi telah dimuseumkan. Namun, di sisi lain, terjadi fenomena yang oleh banyak pengamat disebut sebagai "remiliterisasi fungsional" atau "depolitisasi yang terpolitisasi," di mana TNI justru semakin terlihat dalam ranah-ranah sipil dan pemerintahan, seringkali dengan justifikasi efisiensi dan stabilitas. Opini ini berargumen bahwa pada era Jokowi, penarikan TNI ke dalam orbit politik dan jabatan sipil tidak dilakukan melalui jalur institusional lama (seperti dwifungsi), melainkan melalui logika yang lebih personal, pragmatis, dan teknokratis, yang justru lebih halus namun berpotensi sama bahayanya bagi konsolidasi demokrasi.

Era Jokowi telah membawa TNI kembali ke panggung kekuasaan, tetapi dengan pakaian yang berbeda. Jika di era Orde Baru TNI masuk dengan kekuatan doktrin dan institusi (Dwifungsi), di era Jokowi, kembalinya TNI dibungkus dengan narasi "pembangunan," "stabilitas," dan "efisiensi." Ini adalah bentuk reposisi yang berbahaya karena justru lebih sulit dikritik. Sulit bagi publik untuk menentang TNI yang membangun jalan, mengawal vaksin, atau membangun ibu kota baru. Namun, di balik semua itu, terjadi pendangkalan demokrasi. Kembalinya pengaruh TNI dalam politik fungsional di era Jokowi bukanlah sebuah kemunduran secara formal, melainkan sebuah transformasi menuju model hubungan sipil-militer yang lebih organik dan tersamar, di mana militer tidak lagi menjadi penguasa, tetapi menjadi mitra utama yang hampir tak tergantikan bagi eksekutif sipil. Warisan terbesar dari periode ini mungkin bukanlah kembalinya TNI ke kursi menteri, tetapi normalisasi gagasan bahwa solusi untuk masalah sipil yang kompleks terletak pada pendekatan militeristik. Dan normalisasi inilah yang, jika tidak diwaspadai, dapat menggerogoti fondasi demokrasi Indonesia untuk dekade-dekade mendatang.

Memaknai Trilogi TNI Prima - TNI Rakyat - Indonesia Maju

Trilogi TNI Prima - TNI Rakyat - Indonesia Maju dapat dikatakan merupakan sebuah kerangka filosofis yang powerful, Trilogi ini bukan sekadar slogan, tetapi sebuah filosofi operasional yang menggambarkan evolusi peran TNI. TNI tidak hanya ditempatkan sebagai "penjaga keamanan" yang statis, tetapi sebagai aktor aktif dan integral dalam proses pembangunan nasional. Konsep ini menekankan bahwa jalan menuju Indonesia Maju harus didukung oleh pertahanan negara yang kuat (Prima) dan memiliki akar yang dalam di hati rakyat (Rakyat).

TNI Prima : Unggul dan Profesional

Prima berarti utama, unggul, dan terdepan, ini dapat dimaknai bahwa kondisi Tentara Nasional Indonesia yang berada dalam keadaan terbaik, unggul, dan profesional. Ini mencakup beberapa hal yang harus di penuhi agar memenuhi syarat sebagai TNI yang Unggul seperti Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, Artinya Seorang Prajurit yang tidak hanya kuat secara fisik dan mental, tetapi juga cerdas, terampil dengan skill tinggi, dan menguasai teknologi. Kemudian Memiliki Kemampuan Tempur yang Tangguh, Dilengkapi dengan alutsista (alat utama sistem senjata) yang modern dan terlatih untuk menghadapi segala bentuk ancaman.

Selanjutnya Adalah Aspek Profesionalisme TNI yang patuh pada hukum, netral secara politik, dan menjalankan tugasnya dengan penuh disiplin dan integritas. Terakhir soal aspek Modernisasi, yaitu pentingnya Proses pembaruan terus-menerus dalam hal organisasi, doktrin, dan peralatan untuk menjawab tantangan zaman. TNI harus membenahi dan memperkuat dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum bisa memberikan kontribusi maksimal untuk menjaga kedaulatan bangsa, Karena TNI Prima adalah fondasi.

TNI Prima merepresentasikan sebuah visi tentang TNI yang profesional, terlatih, disiplin, dan dilengkapi dengan Alutsista yang modern dan teknologi mutakhir. Filosofi ini sejalan dengan teori militer modern tentang pentingnya readiness dan competency. Ini adalah prasyarat bagi TNI untuk dapat dipercaya menjalankan tugasnya. Tanpa profesionalisme, dukungan rakyat dan kontribusi bagi kemajuan Indonesia akan sulit diwujudkan. TNI Prima adalah Pilar Profesionalisme dan Modernitas. Sebuah TNI yang Prima tetapi jauh dari rakyat akan kehilangan legitimasinya (seperti pada akhir Orde Baru). Sebaliknya, TNI yang dekat dengan rakyat tetapi tidak Prima akan menjadi institusi yang lemah dan tidak efektif dalam menghadapi musuh. Keduanya harus bersinergi untuk mencapai tujuan tertinggi, yaitu kontribusi bagi Indonesia Maju. Trilogi ini, dengan demikian, adalah kompas strategis untuk mengarahkan seluruh proses transformasi dan reposisi TNI di abad ke-21.

Di usia yang ke-80, TNI tidak hanya sekadar memperingati usia yang penuh dengan catatan heroik, tetapi juga berdiri di persimpangan sejarah yang menentukan. Konsep "TNI Prima" yang digaungkan bukan sekadar slogan, melainkan sebuah keniscayaan strategis dalam merespons tantangan zaman yang bergerak semakin kompleks dan multidimensi. Transformasi dan modernisasi menuju "TNI Prima" adalah jantung dari upaya TNI untuk tetap relevan, diperhitungkan, dan mampu menjadi penjamin kedaulatan negara di abad ke-21. Transformasi menuju TNI Prima pada hakikatnya adalah pergeseran paradigma dari tentara yang mengandalkan kuantitas (mass warfare) menjadi tentara yang mengedepankan kualitas dan kecerdasan (smart warfare). Di masa lalu, kekuatan TNI banyak bertumpu pada semangat dan jumlah prajurit. Hari ini, semangat saja tidak cukup. Modernisasi Alutsista melalui program Minimum Essential Force (MEF) adalah tulang punggung dari upaya ini, Sebuah Revolusi dalam Mindset dan Alutsista.

Namun, opini ini melihat bahwa modernisasi tidak boleh hanya diukur dari besarnya anggaran atau banyaknya unit baru yang dibeli. Esensi dari "Prima" terletak pada integrasi dan interoperabilitas.

Sebuah kapal selam canggih tidak akan berarti banyak tanpa sistem komando, kendali, komunikasi, komputer, intelijen, pengintaian, dan pengawasan yang mumpuni yang menghubungkannya dengan pesawat tempur dan pasukan darat. Transformasi yang sesungguhnya terjadi ketika TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara tidak lagi beroperasi sebagai "kerajaan" sendiri-sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan tempur gabungan yang sinergis dan seamless. Inilah ujian sebenarnya dari "TNI Prima".

TNI Prima juga harus berani melampaui domain tradisional darat, laut, dan udara. Dua domain baru telah menjadi penentu kedaulatan masa depan, ruang siber (cyberspace) dan ruang angkasa (space). Kehadiran Pusat Siber TNI adalah langkah yang tepat, namun kapasitasnya perlu terus ditingkatkan secara signifikan. Ancaman cyber attack terhadap infrastruktur kritnas bisa melumpuhkan negara tanpa satu tembakan pun dilontarkan. Demikian pula, meski belum mampu meluncurkan satelit sendiri, kemampuan untuk memanfaatkan dan melindungi aset di ruang angkasa (seperti satelit komunikasi dan pengintai) sudah menjadi keharusan. "TNI Prima" adalah TNI yang memiliki visi jauh ke depan, mempersiapkan diri untuk pertempuran yang mungkin bahkan belum kita bayangkan sepenuhnya hari ini.

Proses menuju "TNI Prima" tentu tidak mulus. Beberapa tantangan yang perlu diwaspadai adalah:
Ketergantungan Teknologi: Modernisasi Alutsista yang tinggi berisiko menciptakan ketergantungan pada negara pemasok. Oleh karena itu, penguatan defense industry dalam negeri melalui transfer teknologi dan riset mandiri harus menjadi prioritas.

Konsistensi Anggaran: Modernisasi membutuhkan pendanaan yang besar dan berkelanjutan, yang seringkali bersaing dengan kebutuhan pembangunan sektor lain. Diperlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan DPR untuk menjamin konsistensi anggaran pertahanan.
Perubahan Mindset Birokrasi: Transformasi seringkali terhambat oleh birokrasi dan budaya lama yang resisten terhadap perubahan. Inovasi dan kelincahan birokrasi internal TNI sendiri menjadi kunci.

TNI telah menunjukkan niat dan langkah konkret dalam perjalanan ini. Keberhasilan mewujudkan TNI Prima tidak hanya akan menentukan kemampuan TNI dalam memenangkan perang, tetapi lebih dari itu, dalam mencegah perang itu sendiri (deterrence). Sebuah TNI yang Prima, profesional, dan modern akan menjadi pilar penopang yang kokoh bagi terwujudnya cita- cita "Indonesia Maju". Dengan demikian, komitmen pada "TNI Prima" adalah komitmen pada masa depan Indonesia yang berdaulat, damai, dan sejahtera.

TNI Rakyat (TNI yang Manunggal dengan Rakyat)

Dalam narasi besar bangsa Indonesia, hubungan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan rakyat bukan sekadar hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Ini adalah sebuah simbiosis mutualistis yang telah menyatu dalam DNA kebangsaan kita. Konsep "TNI Rakyat" dan "Rakyat TNI" bukanlah retorika kosong, melainkan sebuah realitas hidup yang dipraktikkan dan dijiwai, menjadi fondasi paling kokoh dari sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Di usia TNI yang ke-80, nilai-nilai kemanunggalan ini justru semakin relevan untuk dirawat dan diaktualisasikan. Kemanunggalan ini terwujud dalam aksi-aksi nyata yang seringkali melampaui tugas formal kemiliteran. Praktik-praktik ini adalah manifestasi dari jiwa "tentara pejuang" yang tidak pernah sirna

Konsep ini adalah jiwa dari TNI sejak masa perjuangan. Spiritnya adalah Dari Rakyat, Untuk Rakyat dan Bersama Sama Rakyat. Dari Rakyat Oleh Karena Sebagian besar prajurit TNI berasal dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, Untuk Rakyat Bermakna bahwa Pengabdian TNI pada akhirnya adalah untuk melindungi kedaulatan rakyat dan keselamatan bangsa. Bersama Rakyat ini berarti bahwa TNI melibatkan dan bekerja sama dengan rakyat dalam berbagai program, seperti pembangunan infrastruktur, mengatasi bencana alam, dan program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD). Menjaga keamanan dan kedaulatan yang pada ujungnya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Konsep ini mirip dengan "The Soldier and the State" karya Samuel P. Huntington (1957), dimana militer yang profesional harus tunduk pada kontrol sipil dan melayani kepentingan negara, yang dalam konteks Indonesia adalah kepentingan rakyat.

Hubungan ini menciptakan ketahanan nasional yang sesungguhnya, di mana keamanan dijaga bersama. Ini Semua didasari Rasa Saling Percaya. Rakyat melihat TNI sebagai pelindung, dan TNI mengandalkan dukungan rakyat sebagai basis legitimasi dan kekuatan moral. Kekuatan TNI yang prima tidak akan berarti tanpa dukungan dan kepercayaan dari rakyat. Manunggal bersatu bersama rakyat adalah sebuah keharusan, Karena TNI Rakyat adalah legitimasi dan kekuatan moral.

Praktik dan nilai-nilai kemanunggalan TNI dengan rakyat adalah jiwa dari tubuh TNI itu sendiri. Ini adalah kekuatan non-materil yang tidak dapat diukur oleh kecanggihan teknologi senjata mana pun. Dalam perspektif ancaman hibrida dan perang asimetris di abad ke-21, di mana perang informasi dan perpecahan sosial menjadi senjata utama, kemanunggalan ini justru menjadi benteng pertahanan paling strategis. Sebuah TNI yang benar-benar manunggal dengan rakyatnya adalah TNI yang tidak akan pernah bisa dikalahkan, karena ia berdiri di atas fondasi yang paling kuat, cinta dan dukungan segenap bangsanya. Inilah warisan terbesar 80 tahun pengabdian TNI yang harus terus dipelihara.

Indonesia Maju (Visi dan Tujuan Akhir)

Indonesia Maju yang adil Sejahtera adalah tujuan akhir dari seluruh perjuangan bangsa, termasuk pengabdian TNI. Kemajuan ini tidak hanya diukur secara ekonomi, tetapi juga oleh adanya Kedaulatan yang Kukuh. Negara yang maju haruslah negara yang berdaulat penuh atas wilayahnya, bebas dari intervensi asing dengan terjaminnya Stabilitas Keamanan, Karena

Pembangunan ekonomi dan sosial tidak mungkin terjadi dalam kondisi yang tidak aman dan penuh konflik. TNI menciptakan "ruang aman" yang memungkinkan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk fokus pada pembangunan dan inovasi.

TNI yang Prima dan manunggal dengan rakyat adalah prasyarat mutlak bagi kontribusinya yang efektif untuk Indonesia Maju." Keterkaitan yang Saling Menguatkan (The Synergy) dalam Trilogi tersebut. Ini akan membentuk sebuah siklus atau mata rantai yang tak terputus:
TNI Prima memungkinkan TNI menjalankan tugasnya dengan efektif, yang pada akhirnya melindungi rakyat dan membangun kepercayaan mereka.
Kepercayaan dan hubungan TNI Rakyat yang kuat memberikan TNI dukungan logistik, informasi, dan moral yang membuatnya semakin Prima dan tangguh.
Kombinasi antara TNI Prima dan TNI Rakyat menciptakan stabilitas dan keamanan nasional yang menjadi pondasi utama untuk mewujudkan Indonesia Maju.
Indonesia Maju yang tercapai akan memberikan sumber daya dan dukungan politik yang lebih besar untuk terus memelihara dan mengembangkan TNI Prima.
Merekonfigurasi Peran dan Strategi TNI dalam Panggung Pembangunan Nasional adalah sebuah keharusan. Visi Indonesia Maju 2045 bukan hanya sebuah proyeksi ekonomi, melainkan sebuah cita-cita geopolitik yang mensyaratkan kedaulatan penuh, ketangguhan nasional, dan keberdayaan di panggung global. Dalam narasi besar ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) seringkali hanya dipandang sebagai penjaga kedaulatan yang statis. Padahal, peran TNI dalam mendukung pembangunan nasional bersifat multidimensi, dinamis, dan strategis. Untuk mencapai Indonesia Maju, TNI harus dikonsepsikan bukan sekadar sebagai pelindung hasil pembangunan, tetapi sebagai aktor pembangunan itu sendiri dan katalisator yang menciptakan kondisi kondusif bagi kemajuan.

TNI dan Tantangan Kontemporer Keamanan Nasional

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibentuk dalam cengkraman konflik konvensional (inter-state war) dan penumpasan pemberontakan (intra-state war). Doktrin dan struktur tradisionalnya sangat diwarnai oleh pengalaman historis tersebut. Namun, di abad ke-21, lanskap keamanan nasional telah mengalami transformasi drastis. Ancaman tidak lagi datang semata-mata dari pasukan musuh yang seragam, melainkan dari aktor-aktor yang kabur, domain yang tak berwujud, dan fenomena non-tradisional. Dalam konteks inilah TNI dituntut untuk beradaptasi, mereformasi diri, dan memperluas perannya. Kini TNI sedang berada pada titik kritis transisi dari sebuah kekuatan yang berfokus pada "pertahanan teritorial" menuju "penjaga kedaulatan multidomain". Namun, transisi ini menghadapi tantangan besar, baik secara doktrin, kapabilitas, maupun koordinasi sipil-militer, yang harus segera diatasi untuk menjamin keamanan nasional yang berkelanjutan dari berbagai ancaman seperti Ancaman Hibrida, Siber, Perbatasan, dan Bencana Alam

Tantangan pertama dari Ancaman hibrida ( Hybrid Threats ) adalah perpaduan antara metode konvensional dan non-konvensional (proxy war, perang informasi, perang ekonomi, perang psikologis) yang dilancarkan oleh state dan non-state actors dengan tujuan menggerogoti kedaulatan tanpa melibatkan perang terbuka. Frank G. Hoffman dalam bukunya "Conflict in the 21st Century: The Rise of Hybrid Wars" (2007) mendefinisikannya sebagai "campuran dari modus perang konvensional, taktik irregular, dan aksi teror yang dikombinasikan dengan manipulasi informasi dan operasi siber." Di Indonesia, ancaman ini dapat terlihat dalam upaya memecah belah NKRI melalui isu SARA, disinformasi, dan proxy war di daerah perbatasan.

Yang Kedua adalah Ancaman Siber (Cyber Threats) Ruang siber telah menjadi domain pertahanan yang kelima (setelah darat, laut, udara, dan luar angkasa). Ancaman siber terhadap infrastruktur kritis (seperti perbankan, energi, dan data pemerintah) bersifat lintas batas dan instan. Jurnal "Contemporary Security Policy" dalam artikel "Cybersecurity and the Politics of Time" (2016) menyoroti kerentanan negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi serangan siber yang canggih. Lemahnya cyber hygiene dan regulasi membuat TNI harus berperan tidak hanya sebagai defender tetapi juga membangun deterrence di ruang siber, yang menjadi tugas dari Pusat Siber TNI.

Ketiga adalah Tantangan di wilayah Perbatasan adalah wajah kedaulatan negara. Namun, banyak wilayah perbatasan Indonesia justru tertinggal secara ekonomi dan infrastruktur, sehingga rentan terhadap infiltrasi, imigrasi ilegal, penyelundupan, dan klaim sepihak oleh negara tetangga. Buku "Managing Border Disputes in Southeast Asia" oleh Mikael Weissmann (2012) mengungkapkan kompleksitas diplomasi dan keamanan di perbatasan. Ketegangan di Laut Natuna Utara adalah contoh nyata dimana TNI AL harus berhadapan dengan kapal coast guard dan milisi asing, sebuah bentuk ancaman grey-zone.

Yang Keempat Adalah Tantangan dari Bencana Alam dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Sebagai negara yang terletak di ring of fire, Indonesia rawan bencana alam. TNI, dengan struktur komando yang terintegrasi dan logistik yang kuat di seluruh pelosok, selalu menjadi ujung tombak dalam penanggulangan bencana. Peran ini memperkuat legitimasi TNI di mata rakyat. Dalam jurnal "The Pacific Review", Evan A. Laksmana dalam artikel "The enduring legacy of territorial management for the Indonesian military" (2020) berargumen bahwa struktur komando teritorial TNI justru menjadi aset yang sangat berharga untuk OMSP, termasuk penanganan bencana.

Lanskap Keamanan yang Terfragmentasi dan Multidimensi adalah bahwa tantangan terbesar bagi TNI saat ini bukanlah ancaman tunggal yang jelas, melainkan konvergensi dari semua tantangan ini. Sebuah krisis di perbatasan bisa diperparah oleh serangan siber dan perang informasi yang masif (hybrid warfare), sementara bersamaan dengan itu terjadi bencana alam besar yang menguras sumber daya. Ini membutuhkan pendekatan whole of government dan whole of nation, di mana TNI tidak bisa bekerja sendiri. TNI harus menjadi enabler dan integrator yang mampu berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain, swasta, dan bahkan mitra internasional.
Pentingnya Revitalisasi Peran TNI dalam Menghadapi Dinamika Abad ke-21

Di ambang pintu abad ke-21, dunia tidak lagi berwujud dalam bentuk yang sama seperti ketika TNI didirikan 80 tahun lalu. Tantangan yang dihadapi bukan lagi sekadar agresi militer konvensional, melainkan sebuah lanskap ancaman yang kabur, multidimensi, dan asimetris. Dalam konteks ini, reposisi dan revitalisasi peran TNI bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan eksistensial bagi keamanan dan kedaulatan Indonesia. Tanpa transformasi ini, TNI berisiko menjadi institusi yang terperangkap dalam paradigma lama, sementara ancaman telah berevolusi dengan kecepatan yang mencengangkan.

Reposisi dan Revitalisasi Sangat Penting karena adanya Perubahan Paradigma Ancaman, Dari Senjata Kinetik ke Senjata Non-Kinetik. Abad ke-21 ditandai dengan menghilangnya batas yang jelas antara keadaan perang dan damai. Ancaman utama kini datang dari kemungkinan Perang Hibrida (Hybrid Warfare), yaitu Gabungan dari taktik konvensional, non-konvensional, perang siber, dan perang informasi yang dilancarkan secara simultan untuk menciptakan kebingungan dan instabilitas tanpa menyatakan perang secara terbuka. Contohnya adalah campur tangan asing dalam pemilu melalui disinformasi yang merusak kohesi sosial. Kemudian datangnya Ancaman Siber (Cyber Threats), Serangan siber dapat melumpuhkan infrastruktur vital nasional (seperti perbankan, listrik, dan data pemerintah). Sebuah negara bisa lumpuh tanpa satu serangan fisik pun. TNI harus memiliki komando siber yang tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu melakukan deterrens.

Begitu juga dengan Ancaman di Domain Gray Zone (Zona Abu-abu), yaitu Aktivitas yang berada di bawah ambang batas perang terbuka, seperti intimidasi oleh kapal militer asing di perairan natuna, penggunaan milisi swasta, atau eksploitasi ekonomi ilegal yang didukung oleh state actor. TNI membutuhkan strategi dan alat yang tepat untuk merespons provokasi semacam ini tanpa memicu eskalasi yang tidak diinginkan. Tanpa reposisi, TNI akan fokus pada pertempuran simetris di darat, laut, dan udara, sementara musuh menyerang melalui jalur siber dan psikologis yang tidak terjamah. Sebagai bagian dari negara demokrasi modern, TNI harus terus memperkuat posisinya sebagai tentara profesional yang tunduk pada supremasi sipil. Reposisi berarti konsisten pada peran hankam dan semakin menjauh dari arena politik praktis serta kegiatan bisnis yang dapat mengaburkan profesionalisme. Revitalisasi berarti meningkatkan kapasitas untuk mendukung tugas-tugas pemerintahan, seperti menjaga stabilitas politik selama proses demokrasi, tanpa intervensi yang tidak semestinya. TNI yang profesional adalah pilar demokrasi yang kokoh.

Konsep pertahanan nasional abad ke-21 telah bergeser dari sekadar "military security" menuju "comprehensive security". Ketahanan pangan, energi, kesehatan (seperti yang terlihat dalam pandemi), dan lingkungan adalah bagian dari keamanan nasional. TNI dapat direposisikan sebagai "jaring pengaman nasional" yang kapasitas logistik, disiplin, dan jaringannya di seluruh Indonesia dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan ini. Misalnya, TNI dapat memimpin logistik distribusi pangan ke daerah terpencil atau menjadi tulang punggung dalam penanganan bencana alam skala nasional. Menjadi Katalisator Ketahanan Nasional yang Komprehensif.

Bagaimana Bentuk Reposisi dan Revitalisasinya, Reposisi dan revitalisasi harus bersifat holistik, menyentuh tiga pilar utama, Pertama yaitu Reposisi Doktrin dan Strategi. Doktrin Sishankamrata harus ditafsirkan ulang untuk abad ke-21. Bukan sekadar mengerahkan massa, tetapi membangun Semesta Resilience atau ketangguhan seluruh bangsa di semua domain, termasuk digital dan kognitif. Strategi harus fokus pada deterrence (pencegahan) melalui kemampuan yang kredibel, bukan hanya pada bagaimana memenangkan perang setelah terjadi.

Yang Kedua adalah membangun Struktur dan Kapabilitas dengan Peningkatan Kapasitas Siber dan Luar Angkasa. Pembentukan Komando Siber dan Udara yang setara dengan TNI AD, AL, AU bukanlah sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak. Penguatan Kekuatan Gabungan (Joint Force) Struktur yang masih sering terkotak-kotak antar matra harus dirombak menuju integrasi yang lebih cair. Komando operasi gabungan harus menjadi otak dari setiap respons terhadap ancaman, memastikan AD, AL, dan AU bergerak sebagai satu kesatuan yang padu. Lalu diikuti oleh Gerakan Modernisasi yang Cerdas, yaitu Implementasi Kebijakan Modernisasi Alutsista tidak boleh hanya mengejar teknologi "seksi", tetapi harus sesuai dengan kebutuhan taktis menghadapi ancaman hybrid dan gray zone. Kapal patroli yang lincah, pesawat tanpa awak (UAV) untuk pengawasan, dan sistem komunikasi yang tahan gangguan mungkin lebih dibutuhkan daripada aset besar yang mudah menjadi target.

Langkah Ketiga Adalah Melakukan Reposisi Hubungan Sipil-Militer, TNI perlu secara aktif membangun narasi bahwa profesionalisme militer dan loyalitas pada konstitusi adalah bentuk tertinggi dari pengabdian. Dengan terus memperkuat transparansi dan akuntabilitas, TNI akan mendapatkan kepercayaan publik yang lebih besar, yang merupakan modal sosial terkuatnya. Relasi sipil militer berbasis Trust akan membawa kepada fase soliditas semesta yang luar biasa

Reposisi dan revitalisasi TNI di abad ke-21 adalah sebuah proyek nasional yang menentukan masa depan Indonesia. Ini bukan tentang meninggalkan sejarah dan nilai-nilai luhur "TNI Rakyat", melainkan tentang mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam bentuk yang relevan dengan zaman. TNI yang direposisi adalah TNI yang tidak hanya kuat dalam perang konvensional, tetapi juga tangguh dalam menghadapi perang hibrida, lincah dalam merespons gray zone conflict, dan menjadi penopang ketahanan nasional yang komprehensif. Hanya dengan transformasi inilah TNI dapat tetap menjadi "Prasetya Perkasa" yang benar-benar mampu menjaga kedaulatan dan memastikan terwujudnya cita-cita Indonesia Maju 2045. Jika tidak, kita akan mempertaruhkan keamanan generasi mendatang dengan hanya berpedoman pada buku taktik kemarin.

Tantan Taufiq Lubis, Wakil Rektor Universitas Jakarta, Ketua Umum DPP KNPI, Founder OIC Youth dan Asian African Youth Government, Presiden World NYC Federation




(azh/knv)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork