Panggung Majelis Umum PBB dimanfaatkan secara optimal oleh Presiden Prabowo demi kemerdekaan Palestina. Namun demikian, solusi tanggul raksasa 480 km yang disampaikan Presiden telah menunjukkan bahwa Indonesia masih belum memiliki visi maritim jangka panjang dari negara kepulauan ini.
Alih-alih memberikan formula atau setidaknya ide bersama di hadapan para pemimpin bangsa, Indonesia masih belum bisa mengembalikan jati dirinya sebagai bangsa maritim terbesar di dunia.
Momentum Pidato Prabowo di PBB jatuh pada hari yang sama dengan peringatan Hari Maritim Nasional yang digagas Presiden Soekarno sejak tahun 1964. Sayangnya, momen ini tidak menjadi pengingat bagi Prabowo untuk memberikan visi maritim Indonesia yang terdampak atas perubahan iklim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan maritim Indonesia sempat menjadi perhatian dengan Visi Poros Maritim Dunia yang dicanangkan Presiden Jokowi pada awal kepemimpinannya. Kala itu, Jokowi bahkan mengumumkan kemenangan atas Prabowo di atas kapal pinisi. Kementerian Koordinator Maritim dibentuk, Peraturan Presiden No 16/2017 Tentang Kebijakan Kelautan Nasional ditetapkan, pembangunan tol laut juga digadang-gadang menjadi andalan.
Meskipun, terdapat lima poros maritim dengan multi sektor pembangunan dari aspek infrastruktur, politik, sosial-budaya, hukum, keamanan,dan ekonomi yang seharusnya menjadi acuan dari pembangunan pemerintahan Jokowi. Namun, sepuluh tahun berselang, pidato kenegaraan terakhir Jokowi 16 Agustus 2024 lalu, capaian pembangunan jalan, jembatan, dan jalan tol yang akhirnya tetap menjadi prioritas utama era Jokowi. Pada era ini, arah pembangunan dan fokus kebijakan tetap tidak berpihak pada maritim sebagai poros utamanya.
Asta Cita menjadi acuan baru visi Indonesia lima tahun ke depan. Ekonomi biru seharusnya menjadi kata kunci bagi pembangunan berbasis maritim. Namun, pada kenyataannya, program-program yang dijalankan jauh lebih fokus pada ketahanan pangan, energi, keamanan, dan Makan Bergizi Gratis. Hal ini tergambar dari alokasi APBN dimana Kementrian Kelautan berada pada peringkat tujuh belas dan hilangnya Kemenko Kemaritiman pada era Prabowo.
Padahal, sejarah panjang Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bangsa maritim dan kota-kota Pelabuhan yang menyertainya. Mulai dari Samudera Pasai, Maluku, dan Batavia menjadi saksi bisu masa keemasan bangsa maritim ini yang tercatat sebagai poros maritim dunia hingga mendatangkan saudagar bahkan penjajah Eropa.
Ironisnya, pelabuhan Indonesia masih sulit bersaing dan mengejar ketinggalannya dengan pelabuhan di Malaysia dan Singapura. Data dari OceanWeek menyebutkan, pada tahun 2024, volume total peti kemas dari berbagai pelabuhan daerah di Indonesia, termasuk di Jakarta mencapai 17,7 juta TEUs (twenty-foot equivalent units).
Sementara Pelabuhan Klang, Tanjung Pelepas, dan Penang di Malaysia mencapai sekitar 28 juta TEUs. Lebih dari itu, dua pelabuhan Singapura yakni PSA dan Tuas pada tahun yang sama mencapai 50-an juta TEUs atau hampir tiga kali lipat dari kapasitas Pelabuhan Indonesia. Padahal, apabila menjadi perhatian pemerintah, bukan tidak mungkin peran perdagangan internasional yang melibatkan negara-negara di kawasan Asia, serta Eropa dan Amerika dari Singapura akan beralih ke Indonesia.
Di sisi lain, ancaman kedaulatan negara masih menjadi persoalan yang dapat sewaktu-waktu terjadi. Salah satunya adalah Laut China Selatan atau Natuna Utara yang merupakan persilangan paling penting bernilai ekonomis, politis, dan strategis di kawasan Asia Pasifik. Selain letak geografis dan sumber daya alam yang melimpah, kawasan ini berada di antara sepuluh negara sehingga rawan sengketa.
Konflik batas maritim di Blok Ambalat juga memanas pada awal pemerintahan Prabowo dengan Malaysia. Hal ini tidak terlepas dari wilayah kaya minyak dan gas di Laut Sulawesi, tepatnya di perbatasan antara Kalimantan Utara dan negara bagian Sabah, Malaysia. Meskipun, kedua pemimpin negara telah bertemu dan mengedepankan pengembangan bersama yang mengacu pada hukum internasional.
Namun, dikutip dari Kompas 10 Agustus 2025, Dinna Prapto Raharja mengatakan, pernyataan sikap Malaysia setelah dua kali pertemuan Prabowo dengan Anwar, yakni pada akhir Juni dan Juli lalu, mengindikasikan ada persoalan yang belum tuntas. Pada kemungkinan lainnya, terdapat persoalan yang tidak terkait langsung dengan Ambalat, tetapi mengharuskan Malaysia menekan Indonesia.
Pidato kenegaraan Prabowo 16 Agustus 2025 lalu menjabarkan delapan program prioritas pada APBN 2026. Namun demikian, kebijakan maritim kembali tidak menjadi fokus pemerintah. Padahal, Nusantara yang berarti Nusa (pulau) dan antara (luar/seberang), hari ini merupakan negara berdaulat yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau dengan 2/3 lautan yang memiliki persoalan secara sosial, politik, ekonomi, dan krisis iklim yang harus segera ditangani.
Maka dari itu, alih-alih memfokuskan anggaran pada MBG, pemerintah sebaiknya memiliki perhatian lebih untuk melaksanakan ekonomi biru yang telah menjadi bagian dari Asta Cita untuk memastikan Indonesia dapat hidup kembali sebagai poros maritim dunia.
Rico Novianto Hafidz. Mahasiswa Doktoral FHUI.
(rdp/imk)