Sudah lama saya tidak menulis/membahas perkembangan Kereta Cepat Whoosh Jakarta Bandung atau yang awalnya Bernama Proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Jakarta Bandung yang menghebohkan itu. Apa kabarnya si Whoosh ini ? Sepertinya peminatnya cukup banyak di hari akhir pekan tetapi minimalis di hari kerja, namun apakah pendapatannya sudah bisa menutup biaya operasional Whoosh ? Lalu apakah KCIC sudah bisa mencicil hutang berikut bunganya kepada China Development Bank dan lain lain. Sumber dananya dari mana ? APBN kah atau Danantara atau apa ? Karena proyek ini dijamin APBN, maka seharusnya PT KAI hanya sebagai kasir saja, nyatanya tidak demikian.
Selepas koordinator PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia berpindah dari PT WIKA ke PT KAI dan adanya penjaminan APBN untuk proyek KCIC, maka tugas PT KAI semakin berat. Total investasi untuk membangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCIC) mencapai USD 7,22 miliar. Biaya ini awalnya diperkirakan sebesar USD 6,02 miliar namun mengalami cost overrun sebesar USD 1,2 miliar. Seperti kita ketahui bersama bahwa komposisi permodalan KCIC adalah PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang merupakan konsorsium empat BUMN memegang 60% saham KCIC. Dari 60% tersebut, PT Wijaya Karya Tbk kebagian saham 38%, PT Kereta Api Indonesia 25%, PT Perkebunan Nusantara VIII (25%) dan PT Jasa Marga Tbk (12%). Sedangkan Beijing Yawan HSR Co. Ltd China yang memegang saham KCIC 40% terdiri dari CRIC, CREC, Sinohydro, CRRC dan CRSC.
Proyek Kereta Cepat awalnya dibangun dengan menggunakan dana pinjaman dari JICA (Jepang International Cooperation Agency) tapi kemudian oleh Presiden Jokowi dipindah ke China. Perpindahaan paksa ini tentu mengecewakan Jepang, sehingga Presiden Jokowi sampai harus minta maaf dengan mengirim dua utusan khusus (mantan Menteri) ke Jepang. Partner lokal untuk studi dari JICA adalah UGM dan UI. Ketika diambil alih China studi dilakukan oleh ITB. Awalnya pemerintah Indonesia membiayai proyek Kerteta Cepat ini menggunakan skema pinjaman bilateral berbunga khusus. Dengan China awalnya B to B, namun ketika sedang dikerjakan keuangan proyek bermasalah, maka APBN menjadi penjamin.
Dengan dana pinjaman dari JICA ke pemerintah Indonesia melalui APBN dikenakan bunga hanya 0,1 per tahun dan tenor pinjaman selama 40 tahun. Pinjaman China awalnya berbunga 2% dengan USD atau 3,46% dengan Remimbi juga berdurasi 40 tahun dengan skema B to B tanpa jaminan langsung pemerintah, meskipun pada akhirnya dijamin APBN dan lebih mahal biayanya, apalagi ketika nilai tukar Rupiah terhadap USD terus ambruk. Nasi sudah jadi sop. Pemerintah tidak bisa mundur. Pilihannya lanjut dengan segala resiko seperti kasus Pelabuhan Hambantota di Srilangka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nasib Whoosh
Pelabuhan Laut Hambantota di Sri Lanka berada di lokasi strategis di jalur perdagangan laut internasional. Pelabuhan Hambantota dibangun dengan bantuan Tiongkok melalui China Exim Bank. Pembangunan pelabuhan ini dilakukan dalam dua fase dan beroperasi sejak tahun 2008.
Proyek ini merupakan bagian dari kerjasama antara Sri Lanka dan Tiongkok di bawah inisiatif Belt and Road Initiative (BRI). Investasi awal pembangunan Pelabuhan Hambantota diperoleh dari pinjaman Tiongkok sebesar $1,5 juta. Karena biaya membengkak, maka β β pemerintah Srilangka mengajukan tambahan pinjaman sebesar US $ 4,8 juta antara tahun 2010-2015, dan terus meningkat lagi menjadi USD $ 6 juta pada tahun 2016. Ini persis nasibnya sama dengan pembangunan Whoosh dengan cost overrun nya.
Sedangkan untuk pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCIC) atau Whoosh pinjaman mencapai US $ 7,22 miliar. Biaya ini awalnya diperkirakan sebesar US $ 6,02 miliar namun terjadi cost overrun sebesar USD 1,2 miliar dengan nilai tukar yang terus meningkat. Sama kan nasibnya dan mungkin ini juga strategi Tiongkok dengan Whoosh untuk mensukseskan BRI. Lalu apa yang terjadi sebenarnya dengan Pelabuhan Hambantota ?
Pada akhirnya Pelabuhan Hambantota yang dibangun oleh China, melalui dana investasi pinjaman super besar, membuat pemerintah Srilangka mabuk dan menyerahkan 70% saham pelabuhan Hambantota kepada China Merchants Port Holdings dengan nilai sekitar US $ 1,12 miliar. β Akuisisi oleh China ini merupakan bagian dari program penukaran piutang China terhadap utang yang dimiliki Sri Lanka. Perjanjian ini memiliki persyaratan yang tidak menguntungkan bagi Sri Lanka, termasuk kemungkinan pemindahan pangkalan angkatan laut dari wilayah pelabuhan yang dikuasai China. Ini yang diperkirakan akan segera terjadi pada Whoosh. Bagaimana bentuknya belum tahu. Yang pasti ini sebuah tragedi yang menyedihkan.
β Pembangunan pelabuhan Hambantota berdampak pada ketergantungan Sri Lanka terhadap modal asing dan politik dari Tiongkok dan ini di khawatirkan juga akan terjadi pada Whoosh. Apakah jika diambil alih Danantara, Whoosh bisa selamat ? Belum tentu dan Danantara harus menutup pinjaman yang macet ini hingga berapa besar?
Total biaya investasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang mencapai USD 7,22 miliar setelah cost overrun tersebut, dibebani biaya bunga per tahun yang mencapai USD 120,9 juta atau hampir Rp. 2 triliun (dengan 1 USD = Rp. 16.500). Sedangkan pendapatan dari penjualan tiket relatif rendah dibandingkan dengan biaya bunga, sehingga keuangan KCIC Senin - Kamis. Alias deficit. Belum lagi biaya sewa frekuensi (BHP) di jaringan Telkomsel (karena Whoosh menggunakan frekuensi 900 MHz milikTelkomsel) sekitar Rp. 1,3 triliun per tahun. Selain itu biaya listrik Whoosh sekali jalan sekitar Rp. 9.500.000 per Kereta dan biaya operasional lain yang harus dibayarkan, termasuk gaji karyawan.
Langkah Pemerintah
Pertama, Pemerintah harus menyediakan anggaran yang cukup di APBN untuk membayar cicilan pinjaman melalui PT KAI. Sesuai dengan strategi bisnis yang ditetapkan. Pembayaran hutang harus disediakan oleh APBN bukan dari dana internal PT KAI. Tahun lalu patut diduga pembayaran cicilan menggunakan dana PT KAI yang berasal dari pengangkutan batubara yang merupakan pendapatan PT KAI. Sangat tidak adil jika beban pembayaran cicilan hutang Whoosh dibebankan ke proses bisnis PT KAI yang membuat cashflow PT KAI akan morat marit. Awalnya beban finansial ini berada di PT Wika (sebagai pimpinan konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia), bukan dari PT KAI. Hentikan beban pembayaran hutang Whoosh menggunakan dana intertnal PT KAI.
Kedua, berhubung proyek Whoosh dengan China adalah kemauan Jokowi, maka sebaiknya JKW diminta bertanggungjawab karena banyak dari kita yang secara sendiri maupun bersama sudah mengingatkan terkait mahalnya biaya pengembangan dan operasional Whoosh. Harus ada dana super besar dengan sumber yang jelas karena KCIC tidak bisa berharap pemasukan hanya dari tiket (fare box) maupun non fare box saja, tetapi harus menggunakan subsidi melalui APBN.
Ketiga, sudah harus dimulai strategi penanganan yang matang dari sekarang jika ternyata PT KAI akan gagal bayar dan bernasib seperti pelabuhan Hambantota di Srilangka. Salam
Agus Pambagio, Peneliti dan Pelaku Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest Group.
Tonton juga video "Kata AHY Soal Proyek KA Cepat Whoosh ke Surabaya" di sini:
(whn/whn)