Dalam kerangka kebijakan publik, pasca fase implementasi kebijakan terdapat fase evaluasi kebijakan yang dilandasi dengan opini publik dan output dari suatu kebijakan yang dapat terlihat secara kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam kerangka kebijakan publik yang dituliskan oleh Thomas Birkland disebutkan bahwa evaluasi kebijakan publik merupakan fase dalam siklus kebijakan publik yang digunakan untuk menentukan apakah suatu kebijakan berjalan sesuai dengan perencanaan kebijakan dan mampu memberikan kepuasan publik.
Oleh karena itu, evaluasi kebijakan yang ditawarkan oleh publik sangat penting bagi pemangku kebijakan untuk menciptakan asesmen terhadap implementasi kebijakan yang dilakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam beberapa minggu terakhir, publik diusik dan merasa terganggu dengan beredarnya informasi terkait siswa yang mengalami keracunan makanan setelah mengkonsumsi makanan yang berasal dari program Makan Siang Gratis (MBG) yang diberikan pemerintah.
Pada awal tahun jumlahnya cenderung sedikit, bahkan dalam pidatonya Presiden Prabowo menyampaikan bahwa "Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya enggak enak sejumlah 200 orang, itu 200 dari 3 koma sekian juta kalau tidak salah adalah 0,005 persen. Berarti keberhasilannya adalah 99,99 persen."
Namun sayangnya klaim keberhasilan Presiden Prabowo tidak bertahan lama sebab per tanggal 27 September 2025 tercatat 6.542 anak mengalami keracunan makanan. Jika dirata-ratakan, angka ini setara dengan sekitar 18 anak setiap hari, atau 126 anak setiap minggu, bahkan mencapai 545 anak setiap bulan.
Data tersebut menunjukkan bahwa kasus keracunan makanan bukanlah insiden sporadis, melainkan masalah yang berulang dan sistematis.
Dalam konteks kebijakan makan siang bergizi gratis yang dicanangkan pemerintahan Prabowo Gibran, sudah sangat layak untuk dievaluasi secara serius dan melakukan perubahan yang signifikan dalam implementasi kebijakannya.
Studi yang dilakukan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebutkan beberapa permasalahan mendasar dari kebijakan makan siang gratis seperti banyaknya model makanan "Ultra Processed Food dan susu ber-perisa tinggi", terpangkasnya dana daerah demi keberlangsungan program MBG, hingga program MBG yang seringkali memakan korban akibat lemahnya pengawasan terhadap kualitas makanan yang disediakan.
Sehingga dalam konteks evaluasi kebijakan apabila berpaku pada teori Birkland yang menyebutkan evaluasi kebijakan sebagai usaha untuk memastikan implementasi kebijakan telah memenuhi tujuan kebijakan, maka dalam konteks kebijakan MBG dapat dikatakan gagal dan perlu dievaluasi secara mendalam.
Maturitas Kebijakan Makan Siang Gratis di Negara Nordik
Sebagaimana yang seringkali Presiden Prabowo sebutkan, bahwa sejatinya program makan siang bergizi gratis bukanlah sesuatu hal yang baru, pasalnya negara negara Nordik, Inggris, India, Brazil hingga Amerika Serikat telah menerapkan program tersebut. Namun nampaknya demi evaluasi kebijakan makan bergizi gratis, akan bijak apabila menggunakan negara nordik sebagai komparator, sebab Swedia yang merupakan bagian dari negara nordik telah menerapkan kebijakan ini sejak dekade 50 hingga saat ini.
Sejatinya walaupun berada pada satu regional yang sama kebijakan program makan siang gratis tidaklah sama, namun terdapat beberapa evaluasi kebijakan MBG yang dapat diperbaiki dengan melihat kebijakan makan siang bergisi gratis di regional Nordik.
Dalam konteks gizi, berdasarkan penelitian yang dilakukan (Juniusdottir et al., 2018) disebutkan bahwa sejatinya Finlandia memiliki kebijakan dan regulasi yang sangat ketat dibandingkan Swedia dan Islandia dalam aspek standar gizi, sehingga standar whole grain, susu wajib dipenuhi demi menjaga kualitas makanan yang ada.
Meskipun Indonesia telah memiliki standarisasi terkait gizi, namun sebagiknya kandungan gizi yang terkandung haruslah menjadi peraturan yang rigid dan tidak menjadi standarisasi yang sifatnya performatif.
Selain itu salah satu permasalahan dari program makana siang bergizi gratis adalah terkait anggara yang membengkak, bahkan laporan dari CISDI menunjukan bahwa transfer pusat ke daerah menjadi terdisrupsi dan dikurangi demi keberlangsungan program makan siang bergizi gratis.
Salah satu hal yang dilakukan negara negara Nordik adalah dengan memberikan otoritas dan kewenangan kebijakan MBG pada pemerintah daerah.
Hal ini disebutkan dalam artikel yang dituliskan (Juniusdottir et al., 2018; Mikkelsen et al., 2013; Heim et al., 2022) menyebutkan bahwa sistem atau program makan siang gratis diatur di dalam pemerintah daerah atau munisipalitas.
Apabila proyek makan bergizi gratis maka tentu tidak ada dana transfer daerah yang berkurang, justru pemerintah memberikan kewenangan program tersebut pada pemerintah daerah dengan menambahkan transfer daerah sehingga hal tersebut akan membuat daerah memiliki rasa memiliki terhadap program tersebut dan memperketat proses pengawasan menjadi dipusatkan pada pemerintah daerah.
Bahkan dapat pula turut memberdayakan pihak sekolah atau komite sekolah untuk mengawasi kualitas dari hulu ke muara proses produksi hingga pendistribusian makan bergizi gratis sebagaimana yang dilakukan di Brazil dan India.
Alih-alih pemerintah daerah mengeluarkan anggaran untuk membiayai dana kesehatan siswa yang keracunan makanan akibat MBG, pemerintah pusat seharusnya meniru model Nordik dengan memperkuat kapasitas fiskal lokal agar daerah merasa memiliki dan mampu menjaga kualitas MBG
Optimalisasi Sinergi Antar Lembaga
Apabila dibandingkan dengan negara-negara Nordik, terlihat jelas adanya perbedaan kelembagaan dalam tata kelola program makan bergizi gratis. Di Norwegia, peran Norwegian Food Safety Authority (Mattilsynet) menjadi kunci.
Lembaga ini memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan standar keamanan pangan, melakukan inspeksi berbasis risiko terhadap dapur maupun katering, serta mencabut sertifikasi pemasok apabila terbukti melanggar ketentuan. Dengan struktur tersebut, pengawasan keamanan pangan bersifat terpusat, profesional, dan memiliki mekanisme akuntabilitas yang jelas.
Di Indonesia, fungsi serupa secara normatif berada di bawah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Dinas Kesehatan di tingkat daerah.
Sementara itu, di Finlandia, pengelolaan makanan sekolah diintegrasikan dengan kurikulum pendidikan melalui mandat Finnish National Agency for Education (Opetushallitus). Program makan siang gratis dipandang sebagai bagian dari food education, bukan sekadar layanan konsumsi.
Pedoman gizi yang dikeluarkan secara nasional memastikan standar nutrisi terjaga di seluruh sekolah. Begitu pula di Swedia, otoritas pendidikan seperti Swedish National Agency for Education (Skolverket) bersama Swedish Food Agency (Livsmedelsverket) menetapkan bahwa makanan sekolah harus tidak hanya gratis, tetapi juga bergizi sesuai pedoman nasional.
Jika dibandingkan, fungsi ini di Indonesia seharusnya dapat dijalankan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), termasuk Kementerian Agama untuk sekolah di bawah naungannya. Berdasarkan fakta tersebut Integrasi kebijakan dapat diwujudkan memberdayakan Kementerian Pendidikan hingga Kementerian Agama dalam implementasi kebijakannya.
Penutup
Program Makan Bergizi Gratis akan gagal mencapai tujuannya apabila "gratis" hanya berarti akses tanpa jaminan kualitas.
Indonesia perlu belajar dari Nordik: menjadikan gizi, keamanan, dan pengawasan sebagai fondasi utama. Gratis harus berarti aman, sehat, dan mendidik
Revo Linggar Vandito. Project Research Assistant di CSIS Indonesia dan Peneliti di Mudabicara.id.
Simak juga Video: Pemerintah Sederhanakan Proses Penerbitan SLHS untuk Ribuan SPPG