Di tengah hiruk-pikuk demokrasi dan derasnya arus globalisasi, Pancasila kembali menjadi jangkar moral sekaligus kompas kebangsaan. Kesaktian Pancasila bukan sekadar slogan seremonial tiap 1 Oktober, melainkan ujian nyata: mampukah nilai-nilainya meneguhkan demokrasi yang berkeadilan dan menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Reformasi 1998 membuka pintu demokrasi, tetapi dua dekade lebih berlalu, demokrasi kita menghadapi tantangan serius. Data BPS 2024 mencatat Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) mencapai 79,81, naik tipis dari 2023 yang sebesar 79,51, menempatkan Indonesia di kategori sedang (60-80 poin). Padahal pada 2022, indeks ini sempat berada di kategori baik dengan skor 80,41.
Secara provinsi, DI Yogyakarta memimpin dengan skor 92,5, disusul Bali (88,34) dan Kalimantan Barat (86,17). Sementara itu, Papua menjadi yang terendah dengan 56,55, diikuti Papua Barat (64,74) dan Maluku Utara (67,8).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) 2024 justru menunjukkan penurunan: indeks demokrasi Indonesia merosot dari 6,53 (2023) menjadi 6,44 (2024) dari skala 0-10, menempatkan Indonesia di peringkat 59 dunia dan peringkat keempat di ASEAN. EIU menilai demokrasi berdasarkan lima indikator: proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.
Data ini mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral, tetapi juga menyangkut kualitas pemerintahan, partisipasi rakyat, dan penghormatan pada hak asasi manusia.
Pancasila sebagai Fondasi Etis dan Filosofis
Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga fondasi etis dan filosofis yang memandu arah pembangunan nasional. Sila-sila Pancasila memadukan nilai religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial nilai yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.
Di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi, Pancasila memberi pijakan moral agar demokrasi tidak terjebak dalam liberalisme yang individualistik atau populisme yang sesaat.
Demokrasi Pancasila menuntut keputusan politik yang berakar pada musyawarah, menghargai pluralitas, dan berorientasi pada keadilan sosial. Inilah yang membedakan demokrasi Indonesia dari model demokrasi Barat yang kerap menekankan kebebasan individu di atas segalanya.
Kesejahteraan Rakyat sebagai Tujuan Akhir
Demokrasi sejatinya bukan hanya tentang pemilu yang bebas atau kebebasan berpendapat, melainkan tentang bagaimana kekuasaan digunakan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Demokrasi yang gagal menghadirkan kesejahteraan pada akhirnya hanya akan melahirkan kekecewaan dan apatisme publik dan inilah yang menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan demokrasi itu sendiri.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dalam satu dekade terakhir belum sepenuhnya diikuti dengan pemerataan kesejahteraan. Data BPS 2024 mencatat, meskipun tingkat kemiskinan turun ke angka 9,03 persen, ketimpangan ekonomi yang diukur dengan Gini Ratio masih bertahan di level 0,37.
Angka ini menandakan bahwa jurang antara si kaya dan si miskin tetap lebar, sementara demokrasi seharusnya menjadi jembatan bagi keadilan sosial.
Sejarah global menunjukkan bahwa demokrasi yang sehat hanya mungkin tumbuh di atas fondasi kesejahteraan rakyat. Negara-negara Skandinavia menjadi contoh klasik: demokrasi di sana kuat karena ditopang oleh kebijakan pajak progresif, jaminan sosial universal, dan pemerataan layanan pendidikan serta kesehatan.
Bagi Indonesia, hal ini berarti demokrasi harus menembus sekat-sekat ekonomi: memastikan bahwa pembangunan bukan hanya menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga pemerataan. Pancasila sudah menegaskan melalui sila kelima bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah puncak dari seluruh perjuangan politik dan demokrasi bangsa.
Penegasan Peran Negara dan Masyarakat
Dalam kerangka demokrasi Pancasila, negara tidak boleh sekadar hadir sebagai regulator atau penyelenggara birokrasi, melainkan sebagai pengemban amanat konstitusi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran negara mencakup tiga fungsi utama: melindungi, melayani, dan memberdayakan.
Namun, negara tidak bisa berjalan sendiri. Masyarakat harus hadir sebagai pengawas dan mitra kritis, bukan sekadar penerima kebijakan. Demokrasi yang sehat memerlukan partisipasi publik dalam proses perumusan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan.
Dengan demikian, demokrasi dan kesejahteraan hanya dapat berjalan seiring apabila ada keseimbangan antara peran negara yang kuat, responsif, dan berkeadilan dengan partisipasi masyarakat yang aktif, kritis, dan konstruktif.
Mengembalikan Ruh Demokrasi
Kesaktian Pancasila bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihidupkan dalam denyut nadi demokrasi dan kebijakan publik. Jika demokrasi hanya berhenti pada kotak suara tanpa menghadirkan keadilan sosial, maka Pancasila sekadar menjadi mantra kosong di tengah kesenjangan dan ketidakpastian.
Saatnya negara dan masyarakat bersama-sama memastikan demokrasi tak hanya tumbuh secara prosedural, tetapi berakar dalam keadilan, berpuncak pada kesejahteraan, dan berjiwa pada kemanusiaan. Sebab tanpa itu semua, demokrasi akan kehilangan rohnya, dan Pancasila akan kehilangan maknanya.
Saputra Malik. Asisten Ombudsman RI.
Tonton juga video "Prabowo Pimpin Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya" di sini:
(rdp/imk)