Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi pembicaraan di level nasional. Pemerintah mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk tahun 2026, yakni Rp 335 triliun. Alokasi ini terdiri dari Rp 223 Triliun dari sektor pendidikan, Rp 24,7 triliun dari sektor kesehatan serta Rp 19,7 triliun dari sektor ekonomi.
Alokasi ini membuat MBG mendapatkan anggaran terbesar dari sektor pendidikan sekitar Rp 223 triliun dari Rp 769,1 triliun, jauh lebih tinggi dari program beasiswa pendidikan tinggi sebesar Rp 57,7 triliun dan juga melebihi tunjangan guru non-PNS, ASN daerah, dan dosen non-PNS yang totalnya Rp 91,4 triliun.
Posisi MBG menjadikan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga dengan anggaran terbesar di seluruh kementerian dan lembaga di Indonesia.
Anggaran yang besar tidak selalu diiringi oleh keberhasilan. Kantor berita BBC mencatat bahwa sampai 22 September 2025 ada 5.626 kasus keracunan di 16 provinsi yang melaksanakan MBG. Para anak-anak korban keracunan harus dirawat di rumah sakit dari gejala ringan sampai kritis. Kasus ini jelas bukan sekadar statistik, melainkan alarm keras agar perbaikan dilakukan segera.
Satu anak yang keracunan menandakan satu masa depan yang dipertaruhkan. Evaluasi pelaksanaan MBG harus dilakukan segera dan bukan sekadar opsi. Jangan sampai menunggu ada korban jiwa.
Secara prinsip, MBG adalah program bagus yang bertujuan untuk mengatasi hidden hunger dan kesenjangan nutrisi di dalam kelas. Hidden hunger adalah kondisi ketika anak-anak datang ke sekolah tanpa sarapan atau hanya mengonsumsi makanan rendah gizi. Program ini seharusnya bisa memberikan pondasi yang kokoh untuk anak-anak kita di masa depan.
Keberhasilan program ini bergantung pada kualitas kebijakan, bukan pada besarnya anggaran. Pelaksanaannya harus matang serta melibatkan partisipasi masyarakat. Jangan sampai MBG hanya sekadar menjadi proyek yang lebih berorientasi pada pengadaan barang dan jasa daripada manfaat jangka panjang untuk anak-anak.
MBG Bukan Proyek Tapi Program
Dalam manajemen kebijakan publik membedakan program dan proyek adalah hal yang penting. Project Management Book of Knowledge mendefinisikan program sebagai kumpulan proyek yang saling terkait dan dikelola secara terkoordinasi untuk mencapai manfaat bersama. Sementara proyek adalah serangkaian aktivitas spesifik yang harus diselesaikan dengan metode tertentu.
Fakta di lapangan menunjukkan MBG lebih menyerupai proyek ketimbang program. Seluruh pelaksanaannya dikendalikan secara terpusat oleh BGN, mulai dari pengadaan hingga prosedur operasional.
Hal ini membuat MBG minim ruang adaptasi dan inovasi di tingkat lokal. Pengelolaan terpusat ini juga didukung lewat terbitnya Peraturan Kepala LKPP No. 2 Tahun 2025 yang membuka ruang penunjukan langsung dalam pelaksanaan program prioritas pemerintah. MBG tidak disebutkan secara spesifik, namun peraturan tersebut membuka kesempatan pengadaan MBG dilakukan secara terpusat.
Jika MBG diposisikan sebagai program, pemerintah pusat hanya perlu menetapkan capaian-capaian strategis, koridor kebijakan yang harus dilewati serta nilai-nilai dasar yang harus diikuti oleh para pelaksana proyek di lapangan. Pelaksanaan dapat dibagi ke daerah sesuai kapasitas masing-masing.
Pemerintah daerah yang memiliki pengetahuan dan kapasitas fiskal yang baik bisa melakukan inovasi dengan melibatkan UMKM lokal, bekerjasama dengan kantin sekolah dan komite sekolah atau memanfaatkan dana CSR.
Pemerintah bisa memberikan perhatian khusus dan pendampingan langsung terhadap daerah yang secara kapasitas masih terbatas. Pendekatan ini akan menghasilkan program yang lebih inklusif dan adaptif. Jalan programatik akan membuat keuntungan ekonomi dan politik dibagi dari pusat sampai daerah berbeda dengan proyek yang keuntungan ekonomi dan politiknya juga terpusat.
PNPM dan PMTAS Sebagai Contoh Sukses
Indonesia memiliki pengalaman sukses lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dalam program ini, pemerintah pusat menyediakan dana, sementara eksekusi dilakukan oleh masyarakat desa dengan pendampingan fasilitator. Deliberasi dan partisipasi para PNPM membuat kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi dengan baik.
Jika pelaksanaan MBG dilakukan dengan mengikuti metode PNPM, maka pelaksana di lapangan adalah komite sekolah atau kantin sekolah serta kader PKK atau Posyandu untuk ibu hamil dan lansia. Pemerintah pusat hanya perlu memastikan fasilitator dan panduan standar untuk menjadi panduan dan eksekusi dilakukan sesuai dengan kondisi lokal.
Contoh program lain yang dapat dijadikan referensi adalah program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Program ini adalah program yang diminta Pak Prabowo kepada Anies Baswedan saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan judul revolusi putih.
Revolusi Putih adalah pemberian susu secara terpusat kepada sekolah sekolah. Sepanjang perjalanan program, muncul banyak masalah seperti susu basi, alergi, hingga intoleransi laktosa karena anak-anak Indonesia tidak sepenuhnya bisa mengonsumsi susu sapi secara langsung. Pada 2019 program ini diubah menjadi pengadaan makanan tambahan yang dikelola oleh orang tua murid di sekolah-sekolah.
Hasilnya, kehadiran siswa meningkat signifikan. Keberhasilan PMTAS membuktikan bahwa pelibatan komunitas dan fleksibilitas eksekusi mampu meningkatkan efektivitas program.
Deliberasi dan Partisipasi Jadi Kunci
Jürgen Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms menegaskan bahwa legitimasi kebijakan harus lahir dari proses deliberatif. Diskusi publik, seminar, hingga FGD adalah instrumen penting untuk melibatkan masyarakat dalam perumusan program. Sayangnya, dalam satu dekade terakhir, ruang deliberasi publik kian terpinggirkan. Kebijakan sering disusun terburu-buru tanpa melibatkan partisipasi bermakna. Kritik publik dipersepsikan sebagai serangan politik atau intervensi asing.
Inti masalah justru terletak pada inkompetensi pelaksana kebijakan dan komunikasi publik yang buruk. Pemerintah perlu berhenti mengaburkan kritik dengan narasi politik dan mulai membuka ruang partisipasi yang nyata. Bagi Presiden Prabowo, proses deliberasi akan memperkuat meritokrasi dengan menyingkirkan aktor yang inkompeten, serta membangun legitimasi organik yang muncul dari para ahli dan masyarakat yang terlibat.
MBG adalah program strategis yang menyangkut masa depan generasi muda Indonesia. Dengan anggaran Rp335 triliun, taruhannya terlalu besar jika hanya dijalankan sebagai proyek terpusat. Program ini harus ditempatkan dalam kerangka programatik, bukan sekadar proyek politik. Belajar dari PNPM dan PMTAS, pelibatan masyarakat dan fleksibilitas daerah adalah kunci sukses.
Lebih dari itu, MBG hanya akan memperoleh legitimasi kuat jika disertai proses deliberasi publik yang terbuka, partisipatif, dan berbasis bukti. Jika hal-hal ini dijalankan, maka MBG benar-benar bisa menjadi warisan penting bagi masa depan Indonesia, bukan sekadar catatan angka di APBN.
Angga Putra Fidrian. Peneliti kebijakan publik Wamesa Consulting.
Tonton juga video "Saat Prabowo Bahas Kasus Keracunan MBG Berdasarkan Angka" di sini:
(rdp/imk)