Reformasi dan Kosmetik Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Reformasi dan Kosmetik Politik

Kamis, 25 Sep 2025 10:05 WIB
MUHAMMAD MAKMUN RASYID
Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama 2025-2030.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Massa Aliansi Perempuan Indonesia demo di depan DPR, Jakarta, Rabu (3/9/2025).
Foto: Ilustrasi Massa Aliansi Perempuan Indonesia demo di depan DPR (Azhar/detikcom)
Jakarta -

Dua puluh lima tahun lebih setelah reformasi 1998, istilah reformasi kembali digemakan. Namun, yang kerap disebut sebagai agenda pembaruan justru sering berhenti pada perubahan di permukaan. Reformasi seakan menjadi semacam "kosmetik politik": menutupi luka lama tanpa menyembuhkan sumber penyakit.

Di titik inilah kita perlu bertanya, apakah reformasi sungguh sebuah jalan menuju perbaikan mendasar, atau sekadar cara kekuasaan menjaga citra di tengah krisis legitimasi?

Variabel, Stimulus, dan Momentum

Untuk memahami konteks tersebut, mari kita tarik ke belakang pada dinamika demonstrasi yang berlangsung di berbagai kota. Demonstrasi selalu menyimpan pelajaran penting tentang bagaimana masyarakat merespons dinamika politik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setidaknya ada tiga aspek utama yang dapat menjelaskan mengapa gelombang protes muncul: variabel, stimulus, dan momentum.

Variabel mencakup pihak-pihak yang terlibat dalam demonstrasi. Mahasiswa, sebagaimana tradisi panjangnya, tampil sebagai kekuatan moral sekaligus intelektual. Mereka membawa tuntutan perubahan, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk agenda yang lebih besar: demokrasi dan keadilan sosial.

ADVERTISEMENT

Di samping itu, pekerja turut serta membawa suara yang lahir dari realitas ekonomi sehari-hari. Namun, variabel tidak berhenti di situ. Dalam setiap aksi massa, ada pula penunggang gelap, kelompok anarko, bahkan permainan elitis yang masuk ke dalam gerakan untuk kepentingan tertentu. Keragaman variabel ini membentuk lanskap demonstrasi yang kompleks, dengan kepentingan yang sering kali tidak selaras.

Stimulus muncul dari kesalahan para aktor politik, khususnya sejumlah anggota DPR. Baik berupa ucapan yang tidak sensitif maupun kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat, stimulus semacam ini memantik kekecewaan kolektif.

Ia memperkuat perasaan bahwa rakyat tidak lagi didengar, bahkan seolah diabaikan. Kekecewaan ini kemudian terakumulasi, membentuk gelombang besar yang akhirnya sulit dibendung.

Momentum hadir ketika mahasiswa memutuskan turun ke jalan. Demonstrasi menjadi ruang artikulasi politik untuk menyuarakan kemarahan kolektif. Namun, momentum ini juga membuka peluang benturan, baik antara massa dan aparat maupun antar kelompok di dalam massa itu sendiri.

Dengan kata lain, momentum demonstrasi bukan hanya simbol perlawanan, melainkan juga titik rawan terjadinya konflik horizontal maupun vertikal.

Dalam situasi semacam ini, kepolisian menempati posisi yang dilematis. Mereka ditugaskan menjaga ketertiban, tetapi akar masalah sebenarnya berasal dari kesalahan politik DPR. Insiden tragis yang menimpa almarhum Afan adalah contoh nyata bahwa kepolisian pun bisa menjadi pihak terdampak.

Sayangnya, narasi publik lebih sering meletakkan posisi polisi semata-mata sebagai pihak represif tanpa melihat bahwa mereka juga terjebak dalam arus besar kesalahan politik.

Tuntutan Reformasi

Prahara politik dan sosial ini kemudian memunculkan tuntutan baru: reformasi kepolisian. Narasi ini berkembang dengan cepat, seolah-olah masalah utama hanya berada pada tubuh Polri. Padahal, jika kita menelaah peta persoalan dengan lebih tenang, pertanyaan mendasar segera muncul: mengapa hanya kepolisian yang dituntut berubah?

Jika jalur yang kita pilih adalah reformasi-bukan transformasi-maka logikanya seluruh institusi terkait seharusnya ikut direformasi. TNI, lembaga politik, bahkan DPR sendiri semestinya tidak luput dari evaluasi.

Mengarahkan sorotan hanya pada Polri sama saja dengan menutup mata terhadap akar masalah yang lebih luas. Reformasi yang parsial seperti ini berisiko menghasilkan solusi tambal sulam: tampak sibuk, tetapi tidak menyentuh inti persoalan.

Lebih jauh, kita juga perlu memperjelas letak kesalahan Polri. Banyak masalah justru bersumber dari wilayah kultural: pola interaksi aparat dengan masyarakat, kebiasaan represif dalam menghadapi demonstran, serta cara komunikasi yang kerap memperlihatkan jarak antara "yang berkuasa" dan "yang dikuasai."

Namun, yang kemudian digulirkan adalah reformasi di tingkat sistem: regulasi, kelembagaan, dan prosedur administratif. Terjadi ketidaksesuaian antara diagnosis dan terapi.

Analogi sederhananya, kita sedang menghadapi pasien dengan penyakit yang bersumber dari gaya hidup (kultural), tetapi yang diberikan justru obat yang sifatnya hanya memperbaiki organ tertentu (sistem). Akibatnya, akar masalah tetap ada, sementara perubahan yang diharapkan tidak pernah benar-benar terjadi.

Kegagalan membaca persoalan ini berulang kali terjadi dalam sejarah politik kita. Setelah 1998, kita memang menyaksikan reformasi besar-besaran. Namun, terlalu sering reformasi hanya dimaknai sebagai restrukturisasi lembaga atau perubahan regulasi. Padahal, tanpa perubahan budaya politik dan habitus institusi, reformasi tidak lebih dari jargon administratif.

Membaca Ulang Diagnosis

Di sinilah letak tantangan kita hari ini: keberanian untuk melakukan diagnosis yang tepat. Jika kesalahan kepolisian berada di wilayah kultural, maka penyelesaiannya pun harus menembus dimensi kultural.

Regulasi baru mungkin diperlukan, tetapi tidak memadai. Yang lebih penting adalah pembenahan pola pikir, etika, dan kebiasaan aparat. Misalnya, bagaimana polisi dididik dalam menghadapi massa, bagaimana mereka memahami hak-hak warga, dan bagaimana membangun relasi yang lebih egaliter dengan masyarakat.

Diagnosis yang tepat juga menuntut kita melihat keterkaitan antar-institusi. Krisis legitimasi DPR yang menjadi stimulus demonstrasi adalah bagian dari persoalan struktural politik kita. TNI yang masih menyimpan warisan masa lalu juga tidak bisa diabaikan.

Dengan kata lain, reformasi kepolisian tidak boleh berdiri sendiri; ia harus menjadi bagian dari reformasi menyeluruh yang melibatkan institusi politik dan keamanan lainnya.

Jika tidak, kita hanya mengulang kesalahan yang sama. Reformasi dikerjakan setengah hati, perubahan hanya tampak di permukaan, dan masyarakat kembali kecewa. Dalam jangka panjang, kekecewaan ini akan melahirkan siklus baru demonstrasi, benturan, dan krisis legitimasi.

Oleh karena itu, tugas kita bukan sekadar menggulirkan wacana reformasi, melainkan memastikan arah reformasi itu tepat sasaran.

Pertama, berhenti menyalahkan satu institusi saja karena masalah jauh lebih luas. Kedua, fokus membenahi aspek kultural, bukan sekadar aspek sistem. Ketiga, memastikan bahwa reformasi dijalankan secara menyeluruh, bukan parsial.

Sejarah menunjukkan bahwa setiap kali reformasi salah diagnosis, rakyatlah yang menanggung akibatnya. Demonstrasi terus berulang, aparat kembali diposisikan sebagai musuh, dan institusi politik semakin kehilangan legitimasi. Kita tentu tidak ingin siklus ini terus berulang.

Maka, marilah kita berani membaca ulang diagnosis dan menata ulang solusi. Jika tidak, jargon reformasi hanya akan menjadi kosmetik politik, sementara akar persoalan tetap membusuk di dalam tubuh institusi.

Muhammad Makmun Rasyid. Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama 2025-2030.

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads