Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus bulan lalu menempatkan kesehatan, pendidikan, ketahanan pangan, dan subsidi energi sebagai prioritas utama. Dua program besar, Makan Bergizi Gratis (MBG) senilai kurang lebih Rp 335 triliun dan Sekolah Rakyat sekitar Rp 25 triliun, dielu-elukan sebagai bukti komitmen negara pada rakyat.
Antusiasme itu wajar, tapi anggaran jumbo bukan jaminan. Ia bisa menjadi berkah, bisa pula menjadi beban fiskal yang menghantui. Seperti diingatkan Wekke (2024), pembangunan tak boleh berhenti di proyek politik jangka pendek, melainkan harus melahirkan sistem sosial yang berkelanjutan.
Membiarkan APBN menanggung semua kebutuhan gizi dan pendidikan dengan anggaran super jumbo jelas berisiko. Di sisi lain, ada lebih dari 7 juta anak muda Indonesia masih menganggur (BPS, 2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mestinya, energi muda ini bisa diarahkan ke ranah sociopreneur yang sedang berkembang di kalangan generasi Y dan Z. Henton et al. (1997) menyebutnya sebagai civic entrepreneur, pelaku usaha yang menggabungkan logika bisnis dengan tanggung jawab sosial.
Dari sini lahir gagasan Civic Foodpreneur. UMKM kuliner tidak lagi berdiri sendiri sebagai unit bisnis semata, tetapi ikut menopang MBG lewat produk mereka, sementara sebagian laba dialirkan ke sekolah sekitar, khususnya di sekolah swasta dengan kategori terbelakang yang sejalan dengan tujuan dari Sekolah Rakyat.
Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial sebagai warga negara yang baik (good citizen). Thornton (2004) menyebut ini sebagai civic responsibility, yakni kesadaran warga negara untuk memikul urusan publik, bukan sekadar jadi penonton.
Sejalan dengan itu, Sarrouy-Watkins & Gahlam (2020) menyebut foodpreneur, sebagai sebuah usaha kuliner yang berorientasi sosial sekaligus menguntungkan.
Succes Story dari Pegiat Wirausaha Sosial
Dunia sudah lebih dulu memberi teladan. Muhammad Yunus lewat Grameen Bank menjadikan kredit mikro sebagai revolusi pemberdayaan perempuan. Bill Drayton melalui Ashoka mengangkat ribuan wirausahawan sosial lintas negara. Melinda Gates mengubah filantropi menjadi strategi global untuk kesehatan dan pendidikan.
Indonesia punya tokoh seperti dr Gamal Albinsaid yang dengan "asuransi sampah" berhasil membangun klinik bagi kaum miskin kota, atau Tri Mumpuni yang menghadirkan listrik ke desa-desa terpencil lewat mikrohidro bersama IBEKA. Semua menunjukkan benang merah yang sama: usaha kecil dengan jiwa sosial bisa melahirkan perubahan besar.
Pelajaran dari Pengusaha Kuliner di Pulau Sebatik
Contoh nyata praktik Civic Foodpreneur ada di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, pulau yang membagi Indonesia-Malaysia di batas negeri. Sebuah Warung Makan sederhana bernama Prasmanan Zam-Zam selama tiga tahun ini berupaya menyisihkan laba untuk tiga lembaga pendidikan swasta formal dan non formal sebagai penerima manfaat dalam scope kecil yakni PAUD, SD hingga TPQ.
Guru honorer diberi insentif, SPP di SD dihapuskan, bahkan seragam dibagikan gratis. Tidak cukup di situ, warung ini juga memproyeksikan "MBG mandiri," memberi makan bergizi gratis.
Jika satu warung mampu menopang tiga lembaga. Bagaimana jika ada sepuluh UMKM serupa bergerak dalam satu kecamatan, dampaknya akan berlipat. Rytkรถnen et al. (2023) juga menunjukkan pola serupa di Finlandia: usaha kuliner di pulau kecil bertahan bukan hanya karena modal, melainkan karena terikat erat pada komunitas dan solidaritas.
Dari pinggiran, kerap lahir aktivitas sosial yang kerap luput dari pusat. Mangku (2019) mengingatkan bahwa perbatasan adalah teras depan bangsa, bukan halaman belakang. Dari sana identitas diuji, dan dari sana masa depan Indonesia ditakar.
Jalan Alternatif Keberlanjutan MBG dan SR
Civic Foodpreneur bisa dipertimbangkan sebagai strategi menjaga agar gagasan MBG dan Sekolah Rakyat tidak mati muda karena beban fiskal membengkak. Skemanya jelas: negara menyalurkan dana APBN secara produktif ke pelaku UMKM kuliner berbasis sosiopreneur lewat mekanisme kompetitif, sebagaimana yang dilakukan Pertamina Foundation dan perusahan swasta.
Hal ini dapat menopang keberlanjutan MBG dan SR di masa depan. Melalui seleksi berbasis merit system, modal bergulir, pelatihan, hingga pendampingan secara intensif. Dengan pola ini, UMKM kuliner akan tumbuh sehat, membuka lapangan kerja, mengisi perut anak-anak dengan gizi, sekaligus menopang pendidikan di sekitar mereka dengan semangat tanggung jawab sosial.
Jika ini terwujud, MBG dan Sekolah Rakyat tak lagi bergantung pada APBN dengan risiko finansial pada postur anggaran negara, tapi ditopang oleh sinergi sosial yang diberdayakan negara. Seperti tekad Presiden Prabowo: Tak boleh ada rakyat yang lapar dan tak boleh ada anak kehilangan hak pendidikan.
Wahyudi. Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Simak juga Video 'BGN Ungkap Alasan Verifikator SPPG Pindah-pindah Lokasi':
(rdp/imk)