Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mewakili pemerintah dan Badan Gizi Nasional (BGN) menyampaikan permohonan maaf, atas masih terjadinya kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) di banyak daerah.
Dalam beberapa waktu terakhir, kasus keracunan MBG terjadi di sejumlah daerah. Mulai dari Garut, Jawa Barat, di mana 569 siswa mengalami gejala muntah, mual, dan diare usai menyantap menu MBG. Selain di Garut, 230 siswa juga mengalami gejala keracunan usai menyantap menu MBG di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.
Sementara itu, anggota DPR menyorot BGN yang yang terlalu mengejar kuantitas pembangunan dapur demi serapan anggaran, ketimbang memastikan standar mutu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keracunan MBG terjadi karena kurangnya kontrol kualitas dalam penyiapan makanan. Mengapa? Setiap hari SPPG harus menyediakan 3000 porsi MBG, jumlah yang sangat banyak. Dan dengan keragaman pengetahuan serta ketrampilan penjamah makanan di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia, maka keracunan makanan akhirnya terjadi di beberapa daerah.
Proses pemasakan yang tidak sempurna atau kurang matang memudahkan terjadinya keracunan. Selain itu aspek sanitasi/higiene serta penyediaan bahan baku mungkin menjadi entry point terjadinya masalah ketidakamanan MBG.
Pemerintah menyediakan dana Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp 335 triliun pada 2026. Anggaran difokuskan untuk intervensi gizi hingga digitalisasi operasional SPPG.
Anggaran besar juga karena penerima manfaatnya mencapai 82,9 juta orang. Dana untuk intervensi MBG kurang lebih Rp 1,2 triliun per hari atau sekitar kurang lebih Rp25 triliun per bulan. Mengejar target atau sasaran sebanyak itu di wilayah Indonesia dengan geografi yang beragam dan kemampuan SDM penyedia MBG yang bervariasi tentu bukan hal yang mudah.
MBG yang menggunakan blanket approach perlu diusulkan agar pendekatannya pro-poor sehingga hanya siswa miskin yang berhak mendapatkan MBG. Ini akan mengurangi jumlah sasaran dan menghemat anggaran. Dan juga, penyiapan serta penyediaan MBG lebih mudah dalam kontrol kualitas gizi dan keamanan pangannya.
Pertanyaan mendasar untuk melakukan program pro-poor adalah siapa yang disebut orang miskin? Kemiskinan di Indonesia ditandai oleh banyaknya rumah tangga yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan nasional. Meski secara resmi tidak dikategorikan miskin, mereka tetap rentan jatuh miskin.
Selain itu, ada pula kelompok yang tidak tergolong miskin secara pendapatan, tetapi miskin dalam hal akses terhadap layanan dasar, seperti air bersih dan perumahan layak.
Garis kemiskinan yang terlalu rendah berisiko menyesatkan. Banyak orang akan tercatat sebagai "tidak miskin" padahal kehidupannya jauh dari layak karena kebutuhan dasar tidak terpenuhi.
Data resmi BPS per Maret 2025 mencatat 23,85 juta penduduk miskin, tetapi penerima Program Keluarga Harapan (PKH) mencapai 10 juta rumah tangga atau sekitar 40 juta orang. Hal ini menimbulkan pertanyaan: berapakah sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia?
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025 menetapkan garis kemiskinan Indonesia sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.000 per orang per hari.
Namun, garis kemiskinan bukan sekadar persoalan teknis statistik. Angka ini menjadi dasar penting dalam berbagai keputusan kebijakan: menentukan siapa yang berhak menerima bantuan sosial, siapa yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), serta siapa yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Ketika definisi kemiskinan dibuat terlalu sempit, banyak masyarakat yang sebenarnya hidup dalam kesulitan ekonomi justru tidak tercakup dalam kategori miskin secara resmi. Akibatnya, mereka harus menanggung beban tanpa dukungan negara. Fenomena ini melahirkan apa yang disebut sebagai 'kemiskinan tak terlihat'. Bukan karena mereka tidak ada, melainkan karena luput dari kriteria resmi yang digunakan.
Kelompok yang kerap disebut 'nyaris miskin' atau 'miskin struktural' ini mencakup buruh harian lepas, pedagang kaki lima, hingga pekerja informal tanpa jaminan kerja, kesehatan, maupun tabungan. Mereka hanya berjarak beberapa ribu rupiah dari garis kemiskinan, tetapi sangat rentan terperosok lebih dalam ketika terjadi krisis. Jika garis kemiskinan ditetapkan terlalu rendah, kelompok ini akan terus terabaikan.
Bagaimana menetapkan siswa miskin yang layak dalam program pro-poor MBG? Selama ini di sektor pendidikan pemerintah telah meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk siswa-siswa miskin. Jumlah penerima KIP "hanya" 18,6 juta siswa, ini hanya seperempat dari total sasaran MBG yang mencapai 82,9 juta.
Kalau anak usia dini, ibu hamil, dan ibu menyusui juga dipilih yang berasal dari keluarga miskin, maka jumlahnya masih jauh lebih rendah dari sasaran MBG saat ini yang 82,9 juta orang. Dengan demikian akan dapat dilakukan penghematan yang signifikan dari anggaran MBG yang di tahun 2026 nanti mencapai Rp335 trilyun.
Marilah kita semua para ekonom, ahli gizi dan keamanan pangan, tenaga kesehatan, para ahli pendidikan, dan para pengamat sosial memberikan masukan yang konstruktif kepada pemerintah agar MBG ini dapat dilakukan secara lebih baik. Dengan menargetkan sasaran yang tepat, maka dampak MBG akan mempunyai daya ungkit yang bisa lebih diandalkan dan semoga keracunan MBG dapat semakin dihindari.
Ali Khomsan. Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Simak juga Video BGN Ungkap Biang Kerok Keracunan Massal MBG