Memaknai Kehadiran Prabowo di Sidang Umum PBB Setelah 10 Tahun RI Absen
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Memaknai Kehadiran Prabowo di Sidang Umum PBB Setelah 10 Tahun RI Absen

Selasa, 23 Sep 2025 08:01 WIB
Tantan Taufiq Lubis
Wakil Rektor Universitas Jakarta, Ketua Umum DPP KNPI, Founder OIC Youth dan Asian African Youth Government, Presiden World NYC Federation.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Tantan Taufiq Lubis (dok istimewa)
Foto: Tantan Taufiq Lubis (dok istimewa)
Jakarta -

Dari Soekarno hingga Prabowo, setiap kehadiran Pemimpin mencerminkan Zeitgeist (semangat zaman) eranya, sekaligus visi sang pemimpin terhadap peran Indonesia di dunia.

Hari ini, 23 September 2025 Presiden Prabowo akan Menyampaikan Pidato Dalam Sesi Debat Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, ini bukan sekadar acara protokoler tahunan Bagi seorang pemimpin dunia, Ia membawa makna strategis dan simbolis yang sangat dalam, baik untuk posisi Indonesia di panggung global, juga khususnya bagi Presiden Indonesia yang baru saja menjabat seperti Prabowo Subianto, forum ini merupakan panggung diplomasi multilateral yang paling strategis dan bergengsi.

Kehadiran seorang presiden di Sidang Umum PBB memiliki makna yang jauh melampaui sekadar menyampaikan pidato, ia adalah sebuah pernyataan politik, sebuah momentum untuk membentuk narasi, meneguhkan gerakan diplomasi dan sebuah kesempatan langka untuk memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan seluruh dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tampil di hadapan 193 negara sebagai kepala negara yang diakui secara internasional akan memperkuat legitimasi dan wibawanya di mata rakyat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa dunia menerima dan menghormati hasil proses demokrasi Indonesia dan kepemimpinannya. Inilah yang kemudian kita namakan sebagai Gerakan sistematis Mengonsolidasikan Legitimasi dan Otoritas Domestik.

Di tengah dunia yang penuh gejolak (perang, ketegangan geopolitik, resesi), kehadiran pemimpin dari negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang relatif stabil dan ekonominya mulai tumbuh adalah pesan yang kuat. Indonesia hadir bukan sebagai sumber masalah, tetapi sebagai bagian dari solusi dan penjaga stabilitas.

ADVERTISEMENT

Prabowo datang bukan hanya sebagai pemimpin Indonesia, tetapi juga sebagai representasi dari suara negara-negara berkembang atau Global South Countries,
ASEAN, dan dunia Muslim yang moderat. Pidatonya akan menjadi instrument untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) yang dapat menjembatani kepentingan berbagai blok negara.

Tentunya ini akan Mengerek Status Indonesia sebagai Middle Power dan Global Swing State. Bagi Presiden Prabowo, Sidang Umum PBB 2025 akan menjadi debut globalnya yang paling resmi, meski sebelumnya telah menghadiri forum APEC di Peru, G20 dan BRICS di Brazil serta ASEAN Summit di Malaysia.

Lima tahun ke belakang, dunia internasional mengenalnya sebagai Menteri Pertahanan dengan pendirian yang tegas. Kini, Prabowo tampil sebagai Kepala Negara dari negara demokrasi terbesar ketiga dan kekuatan ekonomi utama G20. Pidato pertamanya di mimbar PBB adalah kesempatan untuk mentransformasi persepsi internasional dari figur militer menjadi seorang negarawan global yang visioner.

Kehadirannya memberikan legitimasi dan pengakuan de facto dari komunitas internasional terhadap kepemimpinannya, memperkuat posisinya baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Mimbar Sidang Umum PBB adalah medium terbaik untuk mendemonstrasikan komitmen Indonesia pada politik luar negeri "bebas dan aktif" bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam
tindakan.

Di tengah polarisasi global akibat isu Palestina, perang Rusia-Ukraina, ketegangan AS-China, dan krisis lainnya, dunia menanti posisi dan peran nyata Indonesia. Presiden Prabowo dapat menggunakan kesempatan ini untuk menegaskan bahwa Indonesia tidak akan masuk dalam blokmana pun, tetapi akan aktif menjadi jembatan perdamaian dan penengah konflik.

Dengan menyampaikan pesan perdamaian, keadilan, dan kerja sama dari podium yang sama yang pernah
digunakan oleh Bung Karno puluhan tahun lalu, Prabowo dapat menghubungkan diri dengan tradisi besar diplomasi Indonesia sekaligus menawarkan sudut pandang Indonesia untuk menyelesaikan masalah global.

Sidang Umum PBB adalah "pasar dunia" bagi kepentingan nasional. Bagi Indonesia, setidaknya ada tiga kepentingan utama yang bisa diperjuangkan yaitu :

β€’ Kepentingan Politik : Dukungan untuk Palestina adalah prinsip dasar diplomasi Indonesia. Pidato di Sidang Umum PBB adalah momentum untuk tidak hanya mengulang komitmen tetapi untuk menggalang dukungan internasional yang lebih konkret, mungkin dengan
menawarkan inisiatif perdamaian baru atau mengecam ketidakadilan yang terus berlangsung. Ini juga peluang untuk memperkuat kepemimpinan Indonesia di ASEAN dan memperjuangkan isu-isu kawasan seperti di Laut China Selatan.

β€’ Kepentingan Ekonomi: Forum ini adalah ajang soft diplomacy ekonomi yang sangat efektif. Pertemuan bilateral dengan para pemimpin negara dan CEO perusahaan global di sela-sela sidang dapat digunakan untuk mempromosikan investasi, terutama dalam proyek strategis nasional seperti hilirisasi industri, pembangunan infrastruktur dan transisi energi. Prabowo dapat mempresentasikan Indonesia sebagai destinasi yang stabil dan menjanjikan di tengah gejolak ekonomi global.

β€’ Kepentingan Strategis: Isu-isu seperti perubahan iklim, krisis pangan, dan tata kelola keuangan global adalah concern seluruh bangsa. Dengan menyuarakan solusi dan komitmen Indonesia, Prabowo dapat memosisikan Indonesia bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif membentuk arsitektur global yang lebih adil.

Ini sejalan dengan visinya untuk membawa Indonesia menjadi negara yang disegani. Nilai praktis terbesar dari kehadiran Presiden Prabowo ke General Assembly of United Nation di New York terletak pada pertemuan-pertemuan di sela-sela sidang. Dalam beberapa hari, seorang presiden dapat bertemu dengan Ratusan pemimpin dunia yang hampir mustahil dijumpai dalam waktu singkat di tempat lain.

Network building ini sangat berharga untuk membangun hubungan pribadi (personal chemistry) yang seringkali menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah diplomatik atau kesepakatan dagang di masa depan. Bagi Prabowo, ini adalah kesempatan emas untuk tidak hanya sekedar memperkenalkan diri, namun lebih dari itu Adalah untuk membangun kepercayaan, dan menciptakan aliansi-aliansi strategis baru untuk Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional.

Bagi Presiden Prabowo, kehadiran di Sidang Umum PBB adalah sebuah keharusan strategis. Ini lebih dari sekadar kewajiban protokoler, ini adalah investasi politik dan ekonomi untuk masa jabatannya. Pidato di podium hijau PBB adalah pengumuman resmi kepada dunia bahwa Indonesia di bawah kepemimpinannya siap untuk memainkan peran yang lebih besar dan lebih vokal dalam percaturan global.

Keberhasilan memanfaatkan momen ini bukan diukur dari sambutan atas pidatonya, tetapi dari seberapa efektif ia dapat menerjemahkan kehadiran simbolis itu menjadi
legitimasi politik, kemitraan strategis, dan keuntungan yang nyata bagi rakyat Indonesia. Kegagalan untuk tampil dengan kuat di panggung ini bukanlah sebuah opsi, karena dunia akan melihat dan menarik kesimpulannya sendiri tentang tempat Indonesia di bawah kepemimpinan yang baru.

Konteks Historis Kehadiran Presiden Soekarno hingga Prabowo di Sidang Umum PBB

Kehadiran presiden Indonesia yang baru terpilih di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukanlah sekadar kunjungan kerja biasa. Tradisi ini telah berevolusi menjadi ritual diplomatik yang sarat makna, sebuah pernyataan resmi pertama di panggung global yang menandakan arah politik luar negeri seorang pemimpin baru.

Dari Soekarno hingga Prabowo, setiap kehadiran mencerminkan semangat zaman eranya sekaligus visi sang pemimpin terhadap peran Indonesia di dunia. Kehadiran Presiden Indonesia di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) selalu menjadi momen strategis untuk memproyeksikan suara, kedaulatan, dan kepentingan nasional Indonesia di panggung global.

Setiap era kepemimpinan membawa motivasi dan isu yang berbeda, mencerminkan dinamika politik domestik dan geopolitik global pada masanya. Dalam Sejarahnya Presiden Pertama Indonesia Bung Karno hadir di PBB bukan sebagai peserta biasa, melainkan sebagai pembentuk narasi global. Pidato legendarisnya "To Build The World A New" pada 30 September 1960 adalah masterpiece diplomasi.

Dalam suasana Perang Dingin, ia tidak hadir untuk mencari legitimasi, tetapi justru memberikan legitimasi kepada PBB dengan menyuarakan suara negara-negara baru merdeka (New Emerging Forces/NEFOS). Kehadirannya adalah perlawanan terhadap status quo (Old Established Forces/OLDEFOS) dan deklarasi bahwa
Indonesia adalah kekuatan moral dan politik yang harus diperhitungkan. Bagi Soekarno, Majelis PBB adalah panggung untuk revolusi.

Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Soeharto menggunakan podium Sidang Umum PBB untuk memproyeksikan image Indonesia sebagai negara yang stabil, damai, dan sedang membangun, peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Setelah gejolak tahun 1965, kehadiran Soeharto bertujuan meyakinkan dunia bahwa Indonesia aman bagi investasi dan menjadi partner yang bertanggung jawab dalam komunitas internasional. Pidato-pidatonya seringkali berfokus pada pembangunan ekonomi, kerja sama Selatan-Selatan, dan stabilitas kawasan, terutama setelah invasi ke Timor Timur pada 1975 yang membuatnya harus berdiplomasi untuk membela kebijakannya di forum global.

Zaman Soeharto Adalah Era Stabilisator dan Pembangunan Ekonomi. Sementara di Era Pasca-Reformasi 1998, kehadiran presiden Indonesia di Sidang Umum PBB memiliki makna rekonsiliasi dan reintegrasi.

Saat Presiden B.J. Habibie Memimpin, beliau hadir untuk meyakinkan dunia tentang transisi demokrasi Indonesia pasca-Soeharto. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membawa semangat pluralism, Co-eksisten dan perdamaian, mencerminkan identitas baru Indonesia.

Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri hadir dalam atmosfer pasca tragedy 9/11 dan menyatakan perang Indonesia terhadap radikalisme dan terorisme, sekaligus menegaskan bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan beriringan.Masa ini adalah era dimana Indonesia berusaha membersihkan nama dan kembali dipercaya sebagai anggota masyarakat internasional yang demokratis.

Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadikan kehadirannya di Sidang Umum PBB sebagai panggung untuk mempromosikan peran Indonesia sebagai "jembatan" dan "juru damai" global. Dengan percaya diri, ia menyuarakan isu-isu seperti dialog antaragama, demokrasi, dan perdamaian.

Di bawah kepemimpinannya, Indonesia tidak lagi sekadar mengikuti percakapan global, tetapi aktif membentuknya. Kehadiran SBY adalah puncak dari diplomasi soft power Indonesia, yang berhasil mendapatkan pengakuan internasional dan bahkan sempat digadang-gadang untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Dan Presiden Joko Widodo membawa gaya yang berbeda. Pidato pertamanya di PBB yang berjudul "Dari Desa ke PBB", mencerminkan fokusnya yang konkret dan pragmatis. Podium PBB dimanfaatkan untuk diplomasi ekonomi. Ia lebih banyak membahas kerja sama pembangunan, investasi, infrastruktur, dan isu-isu praktis seperti perubahan iklim dan kelapa sawit.

Kehadiran selanjutnya Via Online Presiden Jokowi menggunakan Majelis PBB sebagai panggung untuk meyakinkan investor global dan mempromosikan kepentingan nasional yang sangat teknis pasca Wabah Covid19. Gaya ini menunjukkan evolusi prioritas Indonesia dari politik ideologis ke ekonomi-pragmatis, dan semua dilakukan melalui komunikasi Daring

Kini, Presiden Prabowo Subianto akan mengikuti tradisi kehadiran di Sidang Umum PBB ini dalam konteks dunia yang sangat berbeda, Dalam situasi perang di Eropa, ketegangan AS-China, krisis iklim, dan ketidakpastian ekonomi global. Prabowo dapat dikatakan berada Di Persimpangan Sejarah, Tentu kehadirannya akan dibaca publik melalui dua lensa:

1. Kontinuitas: Apakah ia akan meneruskan tradisi politik luar negeri "bebas-aktif" dan komitmen pada multilateralisme seperti para pendahulunya.
2. Perubahan: Sebagai mantan jenderal dengan visi yang sering disebut lebih nasionalis dan tegas, apakah ia akan membawa gaya dan substansi baru yang lebih ofensif dalam memperjuangkan kepentingan nasional. Dunia akan memperhatikan, Akankah ia mengikuti jejak Soekarno dengan retorika yang vokal dan berani? Atau mengadopsi pendekatan SBY sebagai juru damai? Ataukah melanjutkan gaya pragmatis Jokowi dengan fokus pada ekonomi.

Yang Pasti Tradisi kehadiran presiden Indonesia di Sidang Umum PBB adalah cermin dari evolusi bangsa. Dari revolusioner (Soekarno), ke stabilisator (Soeharto), ke reformis (Habibie - Gusdur - Megawati), ke juru damai global (SBY), hingga ekonomi pragmatis (Jokowi). Setiap pidato perdana adalah halaman pertama dari babak
baru diplomasi Indonesia.

Bagi Prabowo, tradisi ini adalah beban sekaligus kesempatan. Beban karena ia akan dibandingkan
dengan para pendahulunya. Kesempatan karena ia dapat mendefinisikan ulang peran Indonesia di panggung dunia yang sedang kacau, dan menyatakan kepada dunia: "Inilah Indonesia yang saya pimpin, dan inilah kontribusi kami untuk tatanan global." Kehadirannya bukan hanya tentang Prabowo, melainkan tentang penempatan Indonesia di persimpangan sejarah dunia abadke-21.

Perspektif Politik Domestik: Legitimasi, Transisi, dan Rekonsiliasi

Kehadiran Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum PBB 23 September 2025 adalah sebuah momen strategis multidimensi yang terjadi di persimpangan jalan yang genting, baik bagi Indonesia maupun dunia. Untuk memahaminya, kita harus meninjaunya melalui dua lensa yang beririsan, yaitu dinamika politik dalam negeri dan badai geopolitik global.

Bagi Prabowo secara pribadi, kehadiran ini adalah puncak dari transformasi politiknya. Dari figur oposisi yang sering kali kontroversial dan terasing dari kekuasaan, kini ia berdiri sebagai Kepala Negara yang diakui dunia. Ini adalah bagian krusial dari proses legitimasi sekunder. Legitimasi primer ia dapatkan melalui kotak suara. Kini, ia membutuhkan pengakuan dari komunitas internasional untuk memperkuat posisinya di dalam negeri, terutama di mata para pengkritik yang
masih meragukan kredibilitasnya.

Momen ini juga menjadi ujian pertama kepemimpinan diplomatiknya. Selama ini, publik lebih familiar dengan narasi Prabowo yang tegas, nasionalis, dan cenderung populis. Di Majelis Sidang Umum PBB, ia harus menunjukkan wajah yang berbeda, seorang negarawan yang kalem, visioner, dan mampu bicara dalam bahasa diplomasi yang tinggi. Kesuksesannya di panggung ini akan digunakan untuk membungkus seluruh agenda pemerintahannya yang beberapa di antaranya mungkin berat secara politis dengan mantel "dukungan internasional" dan "kepentingan nasional yang diakui dunia".

Terakhir, ini adalah kesempatan untuk rekonsiliasi simbolis. Dengan menyampaikan pesan perdamaian dan kerja sama di Majelis Siang Umum PBB, ia dapat membangun citra sebagai pemimpin seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya koalisi pendukungnya, dan menjauhkan diri dari bayang-bayang masa lalu

Perspektif Global: Berlayar di Tengah Badai Geopolitik

Prabowo tidak akan berbicara ke dalam ruang hampa. Dunia yang ia sambut pada tahun 2025 adalah dunia yang lebih terfragmentasi, sangat dinamis yang cenderung tidak aman, dan tidak pasti daripada era presiden-presiden sebelumnya. Dunia terbelah oleh Perang Rusia-Ukraina dan ketegangan AS-China yang makin menjadi. Pilihan bagi negara menengah seperti Indonesia semakin sulit.

Pidato Prabowo akan menjadi kompas pertama arah politik luar negerinya. Akankah ia mengambil sikap lebih vokal terhadap salah satu pihak, atau justru memperkuat posisi "bebas-aktif" dengan menjadi juru bicara bagi negara-negara non-blok yang tidak ingin terperangkap dalam persaingan kekuatan adidaya. Dunia akan mencermati setiap kata-katanya untuk mencari petunjuk dan di analisis. Ketegangan di Laut China Selatan, khususnya, adalah isu where rhetoric will matter greatly.

Polarisasi Global tentunya akan menjadi tantangan tersendiri bagi Kepemimpinan Diplomasi Prabowo PBB sendiri sedang mengalami krisis legitimasi. Dewan Keamanan yang lumpuh menghadapi perang di Ukraina dan Gaza adalah buktinya. Prabowo harus menyuarakan dukungan untuk multilateralisme, tetapi juga harus berani menyerukan reformasi PBB. Ini adalah jalan yang sempit, bagaimana mengkritik tanpa merusak, dan bagaimana mendorong perubahan tanpa dilihat
sebagai pihak yang merongrong kewenangan institusi global. Ini akan menjadi Ujian Komitmen pada Prinsip Multilateralisme Dukungan Indonesia untuk Palestina adalah litmus test bagi integritas politik luar negeri Indonesia. Di tengah tragedi kemanusiaan genosida, kebuntuan perundingan dan penderitaan yang makin dalam di Gaza, dunia mengharapkan lebih dari sekadar pernyataan support biasa.

Mereka akan melihat apakah Prabowo dengan latar belakang militernya dan hubungan dekat dengan negara-negara Arab dapat menawarkan sesuatu yang baru, mungkin sebuah inisiatif diplomatik atau seruan yang lebih konkret untuk pengakuan kedaulatan Palestina. Kegagalan untuk bersikap kuat pada isu ini akan dilihat sebagai pengkhianatan terhadap sejarah panjang diplomasi Indonesia.

Prabowo akan berbicara setelah para pemimpin dunia lainnya. Ia harus memastikan pidatonya tidak tenggelam dalam retorika yang sudah usang. Fokus pada isu-isu "win-win" seperti transisi energi, ketahanan pangan, dan pembiayaan SDGs bisa menjadi strategi yang cerdas. Ini memungkinkan Indonesia memproyeksikan kepemimpinan tanpa harus terlibat langsung dalam konflik geopolitik yang berdarah-darah.

Mempromosikan Hilirisasi Industri sebagai proyek sustainability global adalah contoh bagaimana kepentingan nasional dan kontribusi global dapat disatukan.

Kehadiran Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB adalah kesempatan emas yang berlapis ranjau. Secara domestik, ini adalah momen untuk membangun legasi, menunjukkan kapasitas, dan mengkonsolidasikan kekuasaan. Sukses di New York akan bergema di Jakarta, memperkuat posisinya untuk memimpin sebuah bangsa yang kompleks.

Secara global, ini adalah ujian pertama dan terpenting bagi Prabowo untuk membuktikan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinannya bukan hanya menjadi penonton, melainkan pemain aktif yang mampu menavigasi panggung internasional yang berbahaya dengan prinsip yang jelas dan strategi yang cerdik.

Dunia tidak membutuhkan pidato lain yang penuh dengan klise. Dunia membutuhkan suara yang jelas, berani, dan visioner dari kekuatan demokrasi terbesar ketiga dunia bernama Indonesia. Apakah Prabowo akan menjadi suara itu? Jawabannya akan menentukan tidak hanya bagaimana dunia melihat Indonesia untuk lima tahun ke depan, tetapi juga bagaimana Indonesia menempatkan dirinya dalam sejarah yang sedang ia tulis. Kedatangan Prabowo di Sidang Umum PBB adalah momen penentu yang sukses secara simbolis.

Pidato yang tegas dan agenda bilateral yang padat berhasil mengirimkan sinyal bahwa Indonesia hadir dengan percaya diri di panggung global. Namun, retorika di PBB harus diikuti dengan aksi dan konsistensi. Pidato yang vokal tentang Palestina harus diterjemahkan menjadi inisiatif diplomatik yang nyata. Seruan untuk reformasi PBB harus dibarengi dengan lobi yang gigih.

Prabowo memiliki modal awal yang kuat, legitimasi elektoral yang solid, pengalaman di bidang pertahanan, dan gaya kepemimpinan yang decisif. Jika ia mampu menerjemahkan retorika globalnya menjadi kebijakan luar negeri yang konsisten, koheren, dan didukung oleh kekuatan ekonomi dan strategis dalam negeri, maka Indonesia benar-benar siap untuk memainkan peran yang lebih besar dan lebih signifikan dalam percaturan geopolitik abad ke-21.

Diplomasi tingkat tinggi (summit diplomacy) sering kali disalahtafsirkan sebagai sekadar seremonial mewah. Padahal, dalam konteks geopolitik modern yang digerakkan oleh media dan persepsi, ia adalah salah satu alat diplomasi yang paling kuat dan bernuansa. Kehadiran seorang pemimpin di forum global seperti Sidang Umum PBB bukanlah tujuan akhir; ia adalah sebuahproses kompleks symbolic politics di mana citra dibangun, legitimasi diperjuangkan, dan narasi bangsa dipahat di atas panggung dunia.

Tantangannya adalah menjembatani visi global yang ambisius dengan realitas kapasitas dan sumber daya domestik. Kesuksesan akhirnya akan diukur bukan dari sambutan atas pidatonya di New York, tetapi dari kemampuannya membawa kepulangan hasil nyata dari setiap pertemuan bilateral dan mewujudkannya untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Bagi Prabowo, memahami fungsi ganda PBB ini adalah kunci. Kehadirannya di New York bukan tentang "pamer" atau memenuhi undangan. Itu adalah strategi pertukaran mata uang legitimasi dan soft power. Indonesia datang dengan modal dukungan terhadap multilateralisme, rekam jejak sebagai anggota yang kontributif, dan posisi sebagai kekuatan demokrasi mayoritas Muslim terbesar.

Sebagai imbalannya, Indonesia berharap untuk "mencairkan" modal ini menjadi legitimasi bagi kepemimpinan Prabowo, dukungan untuk posisinya dalam isu-isu strategis, dan pengakuan atas peran barunya dalam tatanan global. Diplomasi multilateral melalui PBB, meskipun sering dicaci karena birokrasinya yang lamban dan keputusannya yang sering tidak memuaskan, tetap merupakan game terbaik yang kita miliki untuk mengelola kompleksitas dunia yang semakin terpolarisasi.

Bagi Indonesia, ia adalah amplifier yang memperkuat suara nasional menjadi suara global. Bagi Prabowo, ia adalah panggung untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya peserta, tetapi juga pengarah arsitek masa depan tatanan dunia yang lebih inklusif dan adil. Tantangannya adalah tidak hanya memanfaatkan panggung ini untuk berbicara, tetapi juga membangun koalisi yang diperlukan untuk mewujudkan kata-kata itu menjadi tindakan nyata.

Diplomasi summit adalah teater tempat symbolic politics dimainkan dengan taruhan yang sangat tinggi. Setiap gerakan dari isi pidato, pilihan kata, hingga dengan siapa ia berfoto dikurasi dengan hati-hati untuk mengirim pesan tertentu. Namun, symbolic politics dalam diplomasi summit juga menyimpan bahaya besar. Risiko
terbesarnya adalah kesenjangan antara citra dan realita (image-reality gap).

Jika retorika visioner tentang perdamaian, kolaborasi dan keadilan di Sidang Umum PBB tidak diiringi dengan tindakan nyata dan konsisten, maka citra yang dibangun dengan mahal itu akan dengan cepat runtuh dan dilihat sebagai kemunafikan. Diplomasi summit bisa menjadi bumerang jika hanya dipandang sebagai photo opportunity belaka tanpa hasil substantive yang jelas bagi rakyat.

Lihat Video 'Prabowo di Sidang PBB: Kita Harus Mengakui Palestina Sekarang!':

(zap/zap)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads