Restorasi Polri: Harapan itu Masih Ada
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Restorasi Polri: Harapan itu Masih Ada

Senin, 22 Sep 2025 10:21 WIB
M Nasir Djamil
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Nasir Djamil
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Salah satu imbas dari demonstrasi besar akhir Agustus lalu adalah suara-suara yang menginginkan reformasi polisi. Hal itu tidak lepas dari peristiwa kematian Affan "martir demokrasi" Kurniawan, pengemudi ojek online, yang ditabrak dan dilindas kendaraan taktis Rimueng Satuan Brimob Polda Metro Jakarta.

Kabar mutakhir, pihak Istana Kepresidenan tengah mengundang sejumlah tokoh untuk bergabung dalam Komite Reformasi Polri yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya, Yusril Ihza, Menko Kumham, Imigrasi dan Pemasyarakatan mengungkapkan bahwa tugas, wewenang, jedudukan, dan ruang lingkup Polri akan dikaji ulang. Keinginan untuk reformasi Polri tampak makin serius saat Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan jenderal penuh kepada mantan Wakapolri Komjen Pol (P) Ahmad Dhofiri dan mengangkatnya menjadi penasihat khusus Presiden untuk keamanan, ketertiban masyarakat dan reformasi kepolisian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai penegak hukum, apa yang dilakukan anggota polisi tentu belum ideal sebagaimana yang diinginkan oleh peraturan perundangan yang berlaku, yakni kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Masalah itu biasanya terjadi saat mereka melakukan upaya-upaya paksa dalam penegakan hukum. Baik saat penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, hingga penyadapan.

Fenomena salah tangkap dan adanya penyiksaan saat penangkapan sudah menjadi rahasia umum. Terutama dalam kasus narkoba dan terorisme. Tidak itu saja, ada diantara mereka (baca: oknum) yang justru menjadi bagian dari kejahatan, baik itu kejahatan konvensional, transnasional, dan kejahatan lingkungan. Yang terlibat pun beragam. Mulai dari pangkat kopral hingga ada yang jenderal. Belum lagi laporan dari Komnas HAM, bahwa anggota Polri kerap melanggar HAM saat melakukan penegakan hukum dan menangani unjuk rasa serta menjadi ancaman bagi kebebasan sipil.

ADVERTISEMENT

Lalu bagaimana reaksi pimpinan Polri melihat fakta di atas? Tindakan tegas berupa pemecatan dan proses hukum pidana berlaku untuk mereka yang berbuat kejahatan dan membeking kejahatan telah

dilakukan. Tidak terhitung jumlahnya yang sudah menjalani hukuman dan pemecatan. Mulai dari brigadir, perwira menengah hingga perwira tinggi. Apakah tindakan-tindakan tegas itu berdampak terhadap upaya membangun kepercayaan masyarakat. Harapannya tentu seperti itu. Tapi memang tidak mudah mengelola ratusan ribu anggota Polri yang tersebar dari Sabang hingga Merauke itu. Kadang seperti kata pepatah, "panas setahun hilang oleh hujan sehari".

Survei GoodStats 2025 yang bertajuk "Penilaian Pengalaman Masyarakat terhadap Pelayanan Polisi Tahun 2025", dapat dijadikan salah satu rujukan. GoodStats adalah media yang berfokus menyajikan informasi berbasis data dan angka serta bagian dari naungan Good News From Indonesia (GNFI). Dalam

survei itu dipaparkan bahwa 75 persen responden pernah berurusan dengan polisi/kepolisian. Sebanyak 66 persen mengaku memiliki pengalaman buruk dengan polisi dan 40,9 % diantaranya ragu bahwa polisi itu bersih, profesional dan mengayomi. Sedangkan yang tidak percaya sebesar 33%. Adapun yang percaya (33%) dan sangat percaya (1,4%) bahwa masih ada polisi yang bersih, profesional dan mengayomi.

Restorasi

Ada banyak jargon yang bisa dan kerap disampaikan dalam kaitannya dengan perubahan. Misalnya restorasi dan reformasi serta transformasi. Ketiga istilah serupa tapi tak sama. Tapi ketiganya sering digunakan dalam konteks politik,

sosial dan keamanan. Kesamaan istilah-istilah ada pada kondisi yang ingin diubah dan ditingkatkan sehingga adanya perubahan sistem dan meningkatkan kualitas, efisiensi, keadilan dalam struktur atau sistem yang ada. Reformasi biasanya mengubah bentuk rezim dari otoritarian ke demokrasi. Adapun transformasi, jamak diketahui sebagai upaya mengubah ke arah yang lebih baik. Istilah Promoter (profesional, modern, dan terpercaya) dan Presisi (prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan) adalah bentuk transformasi Polri guna memenuhi harapan masyarakat dalam upaya melindungi, mengayomi, melayani serta penegakan hukum.

Dalam kaitannya dengan seruan reformasi Polri, maka saya lebih condong memilih pendekatan restorasi yang bertujuan untuk memperbaiki, mengembalikan, memulihkan, dan mencerahkan. Inti dari restorasi, menurut saya, adalah memulihkan keadaan yang "sakit" di tubuh Polri menjadi "sehat" kembali. Kita tentu masih ingat bahwa reformasi 1998 diikuti dengan reformasi kepolisian Indonesia. Pemisahan Polri dari ABRI merupakan buahnya. Reformasi kepolisian telah membawa perubahan signifikan dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat disebabkan kepolisian telah menjadi organisasi sipil (Non-Combatant). Polri setelah "cerai hidup" dengan militer, telah menjadi bagian dari "civili society". Ada kelakar waktu itu, saat menginduk dengan ABRI, polisi diposisikan sebagai "anak tiri".

Proses pemisahan itu sebagai tuntutan reformasi 1998 yang secara normatif konstitusi dimulai pada masa Presiden BJ Habibie. Lalu diikuti dengan langkah cepat Polri yang menyiapkan terobosan Reformasi Birokrasi Polri setelah pemisahan diri dari ABRI. Bahkan saat itu, Polri telah berhasil menyusun dan meluncurkan "Buku Biru" tentang reformasi menuju Polri yang profesional. Korps Bhayangkara itu memformat kembali aspek struktural yang meliputi institusi, organisasi, susunan dan kedudukan. Lalu aspek instrumental berupa filosofi pentingnya posisi Polri menjadi sipil, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan, fungsi dan ilmu pengetahuan serta beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Terakhir aspek kultural berupa manajemen sumber daya, manajemen operasional, dan sistem pengawasan oleh masyarakat. Jadi, yang perlu dievaluasi dan di"restore" itu adalah

ketiga aspek di atas dan "grand strategy" Polri hingga tahun 2045 mendatang. Kita semua harus ikut terlibat untuk memastikan bahwa reformasi Polri yang telah bergulir sejak 1998 berjalan sesuai harapan.

Di bawah Presiden

Puncak reformasi Polri adalah ketika Abdurrahman Wahid, Presiden keempat RI yang menempatkan "organisasi berbaju coklat" itu di bawah Presiden. Kebijakan itu kemudian diformalkan oleh Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI. Posisi tanpa "hijab" dengan Presiden itu dimaksud memberi insentif bagi Polri untuk menentukan dan mengubah arah kebijakan kepolisian secara "mandiri" dan "humanis" sesuai

dengan tugas dan fungsi kepolisian sebagai. Implikasinya Polri memiliki kewenangan yang luas dan membuat mereka menjadi salah satu pilar keberlangsungan NKRI.

Tugas dan fungsi Polri yang bekerja di bawah cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif sekaligus membuat Polri harus cerdas seperti kata pepatah "meniti di air buih". Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan atau bekerja menjalankan fungsi pelayanan umum, maka Polri yang diwakili oleh Kapolri akan "manut" kepada Presiden selaku kepala pemerintahan. Dalam upaya melakukan penegakan hukum dan upaya paksa, Polri tentu berada di bawah cabang kekuasaan yudikatif. Presiden sebagai kepala negara juga menjalankan sedikit dari cabang kekuasaan yudikatif, misalnya dalam hal memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

Posisi Polri di bawah Presiden adalah konsekuensi dari Kepolisian Terpusat (centralized system of policing). Sistem kepolisian ini merupakan pilihan terbaik terhadap sistem kepolisian yang tepat bagi Polri dalam dinamika demokrasi partisipatoris di Indonesia yang belum matang dan karakter kebangsaan yang multi etnis, multikultural, multi religius, dan daerah kepulauan. Mendudukkan Polri di bawah Presiden membuat seluruh tindakan Polri akan terkontrol, meskipun bisa saja Presiden "tergoda" melakukan "abuse of power" dengan cara menarik Polri ke ranah politik praktis. Tapi kan ada lembaga pengawas lainnya, mulai dari legislatif, perguruan tinggi, aktivis lembaga swadaya masyarakat hingga pemilik kedaulatan (baca: rakyat).

Tentu saja -idealnya- posisi Polri di bawah Presiden itu harus diikuti oleh kepemimpinan Polri yang kuat dan jauh dari "euwuh pakeweuh". Independensi Polri dilakukan melalui melaksanakan secara konsisten dan optimal amanat undang-undang dan peraturan lainnya. Dengan demikian Polri yang arogan dapat dihindari meskipun memiliki kewenangan yang luas. Tentu saja untuk memastikan reformasi Polri yang telah berlangsung saat ini, dibutuhkan peran pengawas, baik internal dan eksternal.

Reposisi pengawas

Dalam negara hukum dan demokrasi, kekuasaan itu harus dibatasi dan diawasi. Dengan kata lain, kewenangan yang besar dan luas harus diimbangi dengan hadirnya lembaga pengawasan yang sepadan. Pengawasan, bagi Peter Drucker, seorang ahli manajemen, bukan sekedar kontrol bawahan, melainkan serangkaian aktivitas pengelolaan yang memastikan tujuan organisasi mencapai kinerja yang diharapkan secara efektif dan menggunakan sistem pengukuran dan perbaikan yang proaktif.

Dalam internal kepolisian ada Divisi Propam. Namun posisinya masih "menunggu bola". Ia mulai bekerja jika ada pengaduan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota polisi. Posisinya yang di dalam membuat kalangan luar ragu dan menyebutnya seperti "jeruk makan jeruk". Begitupun, beberapa keputusan "kejam" yang diputuskan Propam selama ini, berusaha untuk menolak anggapan itu.

Publik juga berharap kepada pengawas eksternal bernama Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) sebagaimana diatur dalam Bab VI Pasal 37,38, dan 39 UU Nomor 2 tahun 2002. Kompolnas diharapkan menjadi "watch dog" bagi kepolisian. Tapi harapan itu seperti "pungguk merindukan bulan". Kalau mau jujur, jika Kompolnas kita "berdaya" dan "bertaring", Presiden tidak perlu membentuk tim "ad hock" soal reformasi Polri. Karena Kompolnas sesuai dengan kedudukannya di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, maka mereka siap dua puluh empat jam membantu Presiden untuk mengevaluasi arah dan kebijakan Polri yang telah ditetapkan.

Jika Presiden Prabowo Subianto ingin memastikan arah, tujuan, cita-cita Polri yang profesional dan mandiri, maka pengaturan Kompolnas diharapkan agar alas hukumnya menjadi undang-undang. Selama ini organisasi yang beranggotakan 6 (enam) orang itu dibentuk dengan Keputusan Presiden meskipun kendali dan anggarannya ada di tangan Menko Politik dan Keamanan (dulu Menko Polhukam). Pepatah yang mengatakan,"duduk sama rendah, berdiri sama tinggi", dalam konteks pengawasan tentu sangat dibutuhkan. Lembaga pengawas yudisial seperti Komisi Yudisial yang berdiri di atas undang-undang saja masih "setengah lumpuh" mengawasi keluhuran dan martabat hakim, apalagi sekelas Kompolnas.

Karena itu reposisi Kompolnas menjadi semacam kewajiban sesuai kaidah "tidak sempurna kewajiban tanpa dia, maka dia menjadi wajib". Sudah waktunya Presiden mendorong satu undang-undang yang memuat sekaligus pengawasan terhadap polisi, jaksa dan hakim. Dalam undang-undang itu, disamping tupoksinya terukur dan teratur, anggaran yang mandiri, maka asal usul, dan syarat keanggotaan serta kewenangannya juga harus sepadan dengan organisasi yang diawasi. Selama ini ada semacam "inferiority complex" yang menimpa anggota Kompolnas saat menindaklanjuti saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian.

Meritokrasi dan remunerasi

Laiknya organisasi, institusi Polri juga tidak lepas dari kesepakatan untuk bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Komponen itu dibutuhkan agar sumber daya manusia Polri mampu menggerakkan roda organisasi. Jumlah anggota Polri saat ini berkisar lebih dari 400 ribu personil yang tersebar di seluruh markas, baik di pusat maupun daerah. Setiap personil Polri tentu berharap mereka punya akses yang sama untuk menduduki jabatan tertentu. Karena itu upaya memajukan dan menghargai individu berdasarkan kemampuan, bakat, upaya mereka itulah yang disebut meritrokasi. Jadi, seorang anggota Polri menduduki jabatan, apalagi yang strategis bukan karena faktor kelas, kekayaan, asal-usul atau demografi mereka.

Tim Transformasi Reformasi Kepolisian yang dibentuk di internal Polri oleh Kapolri Jenderal Sigit diharapkan mengevaluasi, menilai, dan memulihkan sistem karir agar berada pada posisi ideal. Dalam konteks meritrokasi, maka perlu dilakukan sejumlah langkah untuk mengevaluasi yang diikuti upaya memperbaiki, memulihkan, dan mengembalikan sistem karir yang baik dan benar. Pertama, soal perencanaan kebutuhan anggota Polri dan aparatur sipil negara berdasarkan analisa jabatan dan analisa beban kerja. Kedua, lakukan secara terbuka dan kompetitif upaya pemenuhan pegawai. Ketiga, pengembangan karir berbasis manajemen talenta, bukan "like or dislike".

Keempat, promosi dan mutasi dilakukan secara objektif dan transparan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja dengan memanfaatkan "talent pol". Kelima, manajemen kerja. Apakah penetapan target, evaluasi berkala, analisa kesenjangan kinerja dan strategi mengatasi gap kinerja serta penilaian kinerja telah digunakan dalam keputusan karir? Keenam, perlindungan dan pelayanan. Sebelum melindungi dan melayani masyarakat, maka negara harus terlebih dahulu melindungi dan melayani kebutuhan anggota Polri. Ada kredo bahwa polisi ada untuk 'memerangi kejahatan'. Ketujuh, apakah sistem informasi yang mendukung terwujudnya manajemen SDM Polri yang berbasis merit berlangsung baik dan tanpa hambatan? Kedelapan, penggajian, penghargaan, dan disiplin. Ketiga hal ini sangat penting.

Soal gaji, harus kita akui, polisi di Indonesia masih jauh dari harapan. Padahal godaan mereka tidak sedikit. Negara harus mengintervensi soal gaji anggota Polri dan meningkatkan kesejahteraan yang mencakup aspek kesehatan, perumahan, pendidikan dan kesejahteraan keluarga mereka. Minimnya gaji, pengawasan dan pembinaan mental membuat anggota Polri berpotensi "mengadaikan" etika dan kewenangannya dengan uang. Apalagi ditambah gaya hidup hedon yang merebak dalam kehidupan sosial kita. Negara banyak menuntut kepada Polri tapi kurang peka dengan kebutuhan yang mereka butuhkan. Masih menurut GoodStats, dari total responden, 66,2 % mengaku pernah memiliki pengalaman negatif dengan polisi. Dari pengalaman tersebut, 55,1 % menyebut pungutan liar sebagai bentuk paling umum yang mereka alami.

Meritrokasi yang disusul dengan memenuhi remunerasi tentu akan mampu menjawab dan mementahkan pikiran-pikiran radikal yang menggambarkan kepolisian sebagai alat penekan bertindak dalam kepentingan-kepentingan negara, daripada rakyat, dan melayani para elite, daripada masyarakat umum serta pembela pemilik modal. Pemerintah perlu mengevaluasi definisi dalam ketentuan umum tentang anggota kepolisian negara dalam UU Nomor 2 tahun 2002. Dalam pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa anggota polisi adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mungkin karena pegawai negeri,maka ukuran gajinya pun mengikuti pegawai negeri lainnya. Padahal tugas, fungsi dan tanggungjawab mereka besar dan luas.

Harapan itu ada Kritikan-kritikan tajam kepada institusi Polri harus disikapi dengan hati dan pikiran terbuka. Upaya restorasi harus dibarengi dengan niat yang tulus dan keinginan kuat untuk memperbaiki, mengembalikan, dan memulihkan agar prinsip-prinsip kepolisian profesional dapat dihadirkan. Antara lain, polisi harus bertindak sesuai fungsinya dan tidak seharusnya memanfaatkan fungsinya tersebut untuk kepentingan lain dalam kondisi apapun. Polri tetap teguh dalam tugas dan patuh terhadap hukum, menjaga imparsialitas dan menghindari godaan untuk terombang-ambing oleh opini publik.

Last but not least, ada harapan besar yang disampaikan responden GoodStats kepada kepolisian. Ada 80,5 persen yang ingin polisi lebih bersih dari pungli dan suap menyuap, lalu 70,1 persen responden ingin polisi lebih adil, profesional, dan tidak pandang bulu. Mereka yang ingin polisi itu lebih humanis dan dekat dengan masyarakat ada di angka 39,1 persen. Inilah tiga harapan besar publik terhadap masa depan institusi kepolisian. Untuk meraihnya, diperlukan kepemimpinan yang menjadi panutan dan restorasi dengan cara pembenahan yang diikuti perubahan kultur guna menumbuhkan budaya hukum yang lebih responsif, mempersiapkan berbagai tantangan ke depan dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat. Slogan "Polri untuk masyarakat" yang kerap kita temukan dalam bentuk spanduk yang digantung di pagar kantor-kantor polisi semoga menjadi kenyataan tanpa syarat.

M Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR RI

(azh/azh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads