Kolom

Akhir Kisah Cerita Seorang Pendengung

Ardi Winangun - detikNews
Jumat, 19 Sep 2025 11:00 WIB
Foto: Ilustrasi medsos (Edi Wahyono)
Jakarta -

Suatu visual yang mengerikan saat melihat video viral bagaimana seorang pendengung, buzzer, Charlie Kirk, tertembak dari jarak 183 meter. Tembakan yang mematikan tersebut mengakhiri aktivitas yang penuh kontroversial dari pria yang menjadi bagian dari Tim Kampanye Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat. Ia merupakan loyalis Trump dan selalu membela kebijakannya termasuk masalah Israel.

Bagaimana tidak kontroversial, sebab Kirk dengan modal komunikasi yang lugas dan ditopang dengan media sosial, ia kerap melontarkan pernyataan yang provokatif terutama terkait isu ras, merendahkan dan mendiskriminasi komunitas kulit hitam, imigran, dan kelompok minoritas. Ia juga disebut ikut menyebarkan berita palsu dan teori konspirasi.

Meski masyarakat Amerika tidak ingin kematian Kirk dengan cara demikian namun mereka mengatakan rekam jejaknya telah melukai banyak kelompok masyarakat. Kirk bisa eksis melakukan aktivitas sebagai pendengung, selain memang di Amerika ada kebebasan berbicara, juga dikarenakan adanya kedekatan dirinya dengan Trump sebagai Presiden.

Meski negara yang disebut Paman Sam itu menjunjung tinggi hukum namun di masa Trump melanggar aturan atau 'cawe-cawe' dalam prosesnya kerap terjadi sehingga meski apa yang dilontarkan Kirk jelas-jelas melanggar hukum, seperti melakukan kebohongan, ia masih bebas berkeliaran melontarkan pandangannya hingga tembakan dari seseorang menghentikan untuk selamanya.

Aktivitas yang dilakukan oleh Kirk sebagai seorang pendengung ternyata dibutuhkan oleh lingkaran-lingkaran kekuasaan di manapun tempatnya termasuk di negara yang demokrasinya disebut paling maju. Apa yang dilontarkan seorang pendengung dirasa mampu mempengaruhi opini dan pandangan masyarakat. Sesuatu yang belok bisa menjadi lurus dan sesuatu yang lurus bisa menjadi belok bila dihembuskan terus menerus oleh seorang pendengung.

Jasa besar dari seorang pendengung yang bisa menggiring suara masyarakat itu membuat lingkaran-lingkaran politik akan memberikan padanya imbalan yang setimpal, ada yang mendapat uang bulanan bahkan di suatu negara ia bisa menjadi komisaris badan usaha negara bahkan menjadi wakil menteri bahkan menteri.

Ragam pendidikan pendengung beragam, ada yang lulusan SMA seperti Kirk, ada pula yang akademisi bahkan bergelar doctor hingga professor. Menjadi pendengung tidak hanya mengubah hidupnya menjadi bagian jaring-jaring kekuasaan namun juga membuat hidupnya biasa menjadi mapan. Meski demikian noda dan coreng hitam pada mukanya tetap melekat padanya.

Kebencian orang akan terus melekat hingga bila sesuatu padanya terjadi, kemalangan padanya bukan diratapi malah disyukuri. Pernah ada pendengung di suatu negara yang dikeroyok oleh orang-orang saat berada di tengah aksi massa, babak belur yang dialami bukan membuat masyarakat prihatin namun malah membuat banyak orang merasa lega atas apa yang terjadi padanya. Apa yang menimpa disebut sebagai karma balasan atas omongan yang mereka selama ini lontarkan di media sosial.

Berangkat dari peristiwa kematian Kirk, ujung kebencian orang pada pendengung, hal demikian harus dijadikan pelajaran bahwa melontarkan kebohongan dan merendahkan serta mendiskriminasikan pada kelompok tertentu serta mati-matian membela kekuasaan meski salah, harus dihindarkan.

Sesuatu hal yang tidak berdasarkan fakta, pastinya suatu fitnah yang menjungkirbalikan reputasi seseorang atau kelompok. Demikian pula selalu mengatakan kekuasaan benar, itu adalah sikap gelap mata dan otoriter. Lingkaran-lingkaran kekuasaan perlu menghindari merekrut orang seperti Kirk.

Sebenarnya tidak hebat-hebat banget seorang pendengung, kelebihannya hanya ia berulang kali, sehari bisa puluhan kali melontarkan ungkapan-ungkapan yang sifatnya provokatif dan membela orang-orang tertentu yang memiliki pengaruh, misalnya Presiden.

Kemampuannya yang dimiliki hanya demikian maka ketika direkrut menjadi bagian dari kekuasaan untuk menjalankan roda kekuasaan dan ekonomi, ternyata mereka jauh dari apa yang mereka kerap lontarkan. Melontarkan antikorupsi tapi malah korupsi, melontarkan toleransi malah intoleransi, mendukung demokrasi namun malah ikut pemerintahan yang otoriter.

Kebebasan berbicara memang hak asasi manusia namun melakukan apa yang seperti Kirk dan pendengung lainnya hanya menabung masalah yang nantinya bisa menjadi bom waktu bagi masyarakat maupun pihak yang merekrutnya. Untuk itu di sini pentingnya berbicara di media sosial yang lebih sehat dan berdasarkan data yang ada.

Di negeri ini sudah banyak cerita soal pendengung yang kehadirannya tidak membawa demokrasi menjadi sehat. Kelompok ini hanya menguntungkan orang yang didukung. Mereka hadir bukan menjernihkan masalah namun menambah masalah dengan membuat kegaduhan-kegaduhan baru.

Ardi Winangun. Direktur Indonesia Political Review (IPR) dan Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi Politik Universitas Paramadina.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork