Masa Depan Negara-Bangsa Palestina
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Masa Depan Negara-Bangsa Palestina

Kamis, 18 Sep 2025 16:15 WIB
Aji Cahyono
Alumni Master Bidang Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga dan Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
The large Palestinian flag (flag of Palestine) is waiving above the city.
Foto: Ilustrassi bendera Palestina (Getty Images/Artaxerxes Longhand)
Jakarta -

Perdebatan tentang masa depan Palestina, dengan situasi penuh bahaya dan peluang-meskipun lebih banyak bahaya saat ini. Akhir-akhir ini, peristiwa ketegangan kembali memanas setelah insiden yang tak terduga, serangan udara Israel di Doha, Qatar, yang menargetkan tokoh Hamas pada 9 September 2025.

Serangan tersebut memicu kecaman luas dunia Arab dan panggilan darurat di forum-forum internasional, termasuk majelis khusus Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa konflik tidak hanya menyasar di daratan Palestina, melainkan berimplikasi meluas ke kedaulatan diplomatik negara ketiga dan menggeser normalisasi antara Israel dan negara-negara Teluk.

Pada Sidang Umum PBB pada Jum'at, 12 September 2025, Majelis Umum mengakui Palestina sebagai negara-bangsa yang merdeka, melalui Deklarasi New York memuat pengesahan penyelesaian damai masalah Palestina dan solusi dua negara, serta menyerukan langkah-langkah konkret, terikat waktu, serta irreversible menuju kemerdekaan Palestina.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hasil konferensi internasional di Markas Besar PBB pada Juli 2025 dan dilanjutkan pada September 2025 dipimpin oleh Prancis dan Arab Saudi, resolusi itu disetujui mayoritas besar dengan sebanyak 142 anggota, 10 anggota menentang dan 12 anggota negara memilih abstain. Hal ini seharusnya menunjukkan sinyal jelas bahwa tekanan politik internasional untuk penyelesaian final mengikat.

Forum tersebut menunjukkan bahwa pentingnya pengakuan internasional memiliki dampak simbolik dan praktis. Secara simbolik, mengumpulkan mayoritas internasional dalam suatu teks politik mengokohkan narasi bahwa status quo tidak bisa berlanjut tanpa konsekuensi kemanusiaan dan politik. Secara praktis, pengakuan negara membuka akses ke instrumen hukum internasional, organisasi multilateral, dan kemungkinan status hukum lebih kuat untuk pemenuhan hak.

ADVERTISEMENT

Misalnya, akses ke pengadilan internasional atau perjanjian bilateral. Beberapa negara Eropa dan Atlantik, termasuk Inggris, Prancis, Kanada, Australia dan Belgia menyatakan niat untuk mengakui kemerdekaan Palestina pada KTT PBB mendatang, atau setidaknya mendukung adanya inisiatif yang mendorongnya. Pernyataan dan rencana pengakuan menjadi bagian dari momentum yang lebih luas.

Perang dan Krisis Kemanusiaan

Upaya penggalangan atas pengakuan internasional bukan menjadi "obat mujarab". Kenyataan di lapangan, terutama di Gaza dan Tepi Barat menunjukkan tantangan struktural yang sangat besar.

Konflik bersenjata, pendudukan dan perluasan pemukiman, fragmentasi politik internal Palestina (Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Hamas di Gaza) menyebabkan dampak kemanusiaan yang semakin parah dan membuat gagasan negara merdeka secara fungsional tetap sulit diwujudkan dalam waktu singkat.

Medan perang menjadi ajang intensitas serangan besar-besaran yang kembali memusatkan targetnya di Kota Gaza telah menimbulkan korban jiwa dan kerusakan masif. Krisis kemanusiaan dipicu sejak eskalasi besar pada 2023-2025 menyebabkan korban sipil dan kehancuran infrastruktur secara mendesak, jumlah korban dan penderitaan secara besar mempertegas urgensi solusi, namun juga menambah kompleksitas politik.

Ironisnya, sistem kesehatan dan layanan dasar menjadi sasaran gelombang serangan, perpindahan warga dan terganggunya pasokan bantuan.

Laporan lapangan dan liputan langsung dari sejumlah media lokal setempat maupun disiarkan skala internasional memperlihatkan gedung-gedung runtuh, korban sipil di tengah evakuasi massal, dan lonjakan kebutuhan kemanusiaan yang jauh melampaui kapasitas organisasi bantuan.

Kegagalan jangka pendek untuk mencapai gencatan senjata tahan lama bukan sekadar kecelakaan diplomatik, ia berkaitan langsung dengan runtuhnya kesepakatan sementara yang pernah tercapai pada awal 2025. Perjanjian gencatan dan pertukaran tahanan yang direkayasa oleh mediator regional dan internasional (Amerika Serikat, Mesir dan Qatar) sempat memberi jeda dan harapan, tetapi jeda itu runtuh ketika operasi militer kembali dibuka pada Maret 2025.

Dari sisi kemanusiaan dan pemulihan, prospeknya suram. Bantuan internasional beberapa kali dibuka dan ditutup karena masalah keamanan dan persyaratan politik. Bahkan ketika bantuan masuk, jumlah dan jenis bantuan seringkali tidak memadai untuk kebutuhan rekonstruksi skala besar yang diperlukan di Gaza.

Pihak-pihak penyedia bantuan seperti PBB, badan-badan kemanusiaan, donor negara, terus menekankan kebutuhan akses aman, mekanisme distribusi yang transparan, dan pendanaan berkelanjutan. Namun tanpa gencatan senjata yang dapat dipercaya, pembangunan kembali infrastruktur seperti rumah, listrik, air dan institusi pendidikan akan terhambat bertahun-tahun.

Situasi di Tepi Barat juga menjadi bagian penting dari masa depan Palestina. Penumpukan operasi militer, penangkapan massal, dan meningkatnya kekerasan pemukim terhadap warga Palestina memperlemah struktur sosial dan ekonomi masyarakat Palestina di luar Gaza.

Perpanjangan pola operasi semacam ini merusak peluang terwujudnya institusi otonom yang kredibel, mengikis legitimasi otoritas lokal, dan mendorong radikalisasi generasi baru, yang menjadi semua faktor merumitkan prospek solusi politik yang damai.

Realitas Politik Palestina

Secara politik internal, otoritas Palestina menghadapi tekanan besar untuk melakukan reformasi agar tetap relevan. Kritik terhadap manajemen, ketiadaan pemilu yang kredibel, dan ketergantungan finansial membuat otoritas Palestina rentan terhadap delegitimasi internal maupun eksploitasi eksternal.

Langkah struktural dalam reformasi diantaranya: transparansi keuangan, reformasi keamanan, dan peta jalan pemilu jelas untuk mensukseskan legitimasi tersebut. Tanpa perbaikan nyata, elit politik Palestina akan kesulitan menawarkan alternatif institusional selain jalan konfrontasi atau fragmentasi.

Di tingkat regional dan global, masa depan Palestina sangat tergantung pada tiga variabel: 1) keinginan dan konsistensi aktor-aktor besar (Amerika Serikat, Uni Eropa, dan PBB) untuk menekan pihak-pihak yang gagal memenuhi komitmen; 2) peran mediator regional (Mesir, Qatar) yang dapat menjembatani perbedaan keamanan dan politik; 3) kecenderungan negara-negara Arab, apakah memilih normalisasi penuh denan Israel atau konsesus kolektif menempatkan syarat nyata bagi kemajuan rakyat Palestina.

Insiden terakhir di Doha menunjukkan bahwa negara-negara Teluk masih bisa bergerak cepat dan kolektif ketika kepentingan keamanan dan repuasi regional tersentuh, namun reaksi itu juga menandakan risiko eskalasi lintas-batas.

Pihak yang mendukung kemerdekaan negara-bangsa Palestina menilai setelah puluhan tahun negosiasi yang mandek dijalankan dengan dinamika kekuatan di lapangan yang timpang, langkah diplomatik internasional menjadi cara memaksakan jalur politik dan tata hukum yang baru.

Tawaran ini bukan hanya soal legitimasi moral, melainkan sebuah strategi, apakah mengubah aturan main global dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan negosiasi akhir atau memecah peluang penyelesaian lewat jalur bilateral ?

Meskipun pengakuan dari komunitas internasional, seperti PBB mendapatkan penentangan yang kuat. Amerika Serikat dan Israel mempertegas posisinya untuk memperingatkan bahwa pengakuan secara sepihak atau terlalu cepat bisa menghambat proses perdamaian dan memberi ruang gerak bagi aktor-aktor non-negosiatif, dengan dalil kekhawatiran dipakai untuk menjustifikasi pendekatan berjangka yang mengedepankan negosiasi bilateral.

Masa Depan Palestina

Poin terpenting menyoal masa depan Palestina secara politik-kemanusiaan diantaranya: Pertama, kebutuhan akan gencatan yang diawasi internasional dengan mekanisme verifikasi dan konsekuensi jelas; Kedua, paket rekonstruksi yang terukur dan dijamin aksesnya, dengan pengawasan donor dan jaminan keselamatan bagi pekerja kemanusiaan, harus dipisahkan dari perundingan politik jangka panjang agar warga sipil dapat bertahan hidup.

Ketiga, dorongan bagi rekonsiliasi internal Palestina melalui pemilihan yang kredibel dan komitmen elit politik untuk reformasi akan menjadi modal dasar untuk berbicara dengan mitra internasional secara efektif; Keempat, wajibnya pengadilan atas pelanggaran HAM secara serius, dengan alasan memberi harapan akan akuntabilitas dan menyumbang pada mekanisme penyelesaian jangka panjang.

Penjelasannya, jika menggunakan skenario idealisme-optimis, komunitas internasional memasang syarat berlapis berupa pengakuan bertahap diiringi langkah konkret untuk perlindungan sipil, penerapan mekanisme stabilitasi internasional selamanya, dan komitmen pada roadmap penyelesaian konflik. Resolusi PBB terbaru memberikan pintu bagi gagasan misi stabilitasi internasional dan paket bantuan terkoordinasi, diiringi dengan implementasi yang membutuhkan kesiapan politik, termasuk dari negara-negara bersedia menanggung beban pengiriman pasukan atau misi sipil.

Jika menggunakan skenario realisme-pesimis, pengakuan simbolik tanpa kehadiran nyata di lapangan, tanpa kontrol teritorial berkelanjutan atau administrasi efektif berakhir status diplomatik tanpa kemampuan substansial memperbaiki kehidupan warga Palestina.

Hal tersebut memperdalam frustasi, mendukung radikalisasi ekstrem, atau bahkan memprovokasi tindakan represif lebih lanjut. Risiko lain dihadapkan perbedaan sikap negara-negara super power (Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Rusia, dan China) tentang langkah selanjutnya bisa menciptakan perdebatan geopolitik menunda solusi praktis.

Yang harus diingat bahwa semua upaya ini menabrak realitas politik yang kompleks. Pembentukan konsesus domestik Israel tentang keamanan, dinamika politik Amerika Serikat secara fluktuatif, dan persaingan regional yang kadang mengutamakan kepentingan nasional di atas solusi komprehensif.

Artinya masa depan Palestina sampai saat ini tetap bergantung pada kombinasi tekanan internasional yang konsisten, kepemimpinan Palestina yang kredibel, dan keputusan politik di Israel sendiri.

Yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan masa depan negara-bangsa Palestina, yakni Pertama, gencatan senjata tahan lama dan akses kemanusiaan terjamin. Tanpa itu, diskursus kenegaraan hanyalah kata diatas kertas; Kedua, pengakuan harus diikuti langkah-langkah nyata memperkuat kapasitas institusional Palestina, melalui dukungan teknis untuk tata pemerintahan, akses ke layanan publik, pengembalian pengungsi internal, dan pemulihan infrastruktur.

Ketiga, mekanisme internasional untuk perlindungan sipil (misalnya misi penstabilitas sementara yang netral dan berizin PBB) perlu dipertimbangkan serius sebagai jembatan transisi; Keempat, komunitas internasional harus mengkondisikan pengakuan dengan encana yang jelas untuk mengatasi isu-isu keamanan Israel, karena tanpa jaminan keamanan yang kredibel untuk kedua belah pihak, semua upaya akan rapuh.

Kesimpulan

Masa depan Palestina tidak ditentukan oleh satu momen heroik atau satu perjanjian darurat, melainkan oleh rangkaian keputusan politik, komitmen kemanusiaan, serta investasi struktural dan institusional berkelanjutan. Kemerdekaan Palestina bukan hanya soal pengakuan formal, melainkan membangun gagasan negara yang dapat hidup-menjamin hak dasar warganya, mengelola konflik internal, dan berpartisipasi secara penuh dalam komunitas internasional.

Artinya, pengakuan internasional bertanggung jawab menjadi alat mempercepat proses tersebut, tetapi tanpa kombinasi politik nyata, perlindungan sipil, dan rekonstruksi internal, ia akan tetap menjadi mimpi yang rapuh. Sehingga penderitaan warga sipil bakal berlanjut, dan peluang untuk solusi damai akan semakin mengecil. Jalan ke negara Palestina yang merdeka dan damai memang panjang, berbelik dan penuh risiko.

Momentum diplomatik terbaru memberi peluang yang harus dimanfaatkan dengan strategi berbasis hak asasi.

Jika komunitas internasional, tetangga regional dan pemimpin Palestina bersedia melakukan kompromi nyata, mengutamakan keselamatan warga sipil, akuntabilitas dan pembangunan, maka masih ada jalan untuk masa depan yang lebih stabil dan bermartabat bagi rakyat Palestina.


Aji Cahyono. Alumni Master Bidang Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga dan Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence.

Lihat juga Video: Dirjen WHO Update Jumlah Pasien Kritis yang Dievakuasi dari Gaza

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads