Ekonomi selalu bergerak dalam siklus dimana ada fase pertumbuhan atau ekspansi, mencapai puncak, kemudian melemah dalam kontraksi atau resesi, lalu bangkit kembali melalui pemulihan. Siklus ini tak bisa dihindari, tetapi bisa dikelola agar fase ekspansi bertahan lebih lama dan resesi terjadi lebih singkat.
Sejak akhir tahun lalu, banyak narasi yang pesimis menyebut bahwa ekonomi Indonesia akan menghadapi tantangan besar pada 2025. Data yang muncul memang memberi alasan untuk khawatir. Penerimaan pajak turun, Purchasing Managers Index manufaktur dalam beberapa kesempatan terkontraksi, dan terjadi penjualan dari investor asing terhadap saham-saham di Indonesia. Kredit perbankan pun melambat, tumbuh hanya sekitar 7,7 persen pada pertengahan tahun dari harapan pertumbuhan double digit.
Ditambah lagi dengan likuiditas di sistem keuangan tampak mengetat yang ditunjukkan Loan to Deposit Ratio beberapa bank buku 4 meningkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, roda ekonomi tak pernah benar-benar terhenti. Justru di saat tekanan ini, arah kebijakan mulai bergeser. Situasi mulai berubah secara cepat dalam beberapa waktu terakhir. Kunci dari perubahan arah ini adalah koordinasi yang semakin erat antara kebijakan fiskal dan moneter.
Pemerintah tidak lagi menahan diri, melainkan mengadopsi sikap ekspansif. Dana sebesar 200 triliun rupiah yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia digeser ke bank-bank milik negara agar bisa segera disalurkan menjadi kredit.
Stimulus tambahan juga digelontorkan, termasuk bantuan sosial, dukungan untuk UMKM, program padat karya, serta insentif pariwisata, dengan nilai mencapai lebih dari enam belas triliun rupiah.
Sementara itu, Bank Indonesia mengambil langkah yang tak kalah berani. Berlawanan dengan ekspektasi banyak ekonom yang memprediksi suku bunga acuan akan dipertahankan, bank sentral justru memangkasnya ke level 4,75 persen. Keputusan ini membawa kejutan positif, karena menurunkan biaya pinjaman, memperbesar ruang konsumsi, dan memberi dorongan bagi pasar modal.
Sinergi fiskal dan moneter ini menjadi titik tolak lahirnya babak baru. Pasar modal segera merespons dengan pergerakan positif bahkan IHSG mencapai rekor tertinggi di 8025,18. Adanya harapan bila The Fed di Amerika Serikat ikut memangkas suku bunga, maka IHSG berpotensi memecahkan rekor tertinggi yang baru dicapai. Ini merupakan sinyal awal bahwa langkah-langkah ekspansif ini bisa menjadi katalis yang memperpanjang fase pertumbuhan.
Namun tentu saja, jalan menuju ekonomi yang benar-benar ekspansif tidak akan selalu mulus. Tantangan masih membayangi, mulai dari ketidakpastian global, tekanan akibat rendahnya inflasi yang mencerminkan lemahnya permintaan, hingga penurunan aktivitas ekonomi domestik. Karena itu, transparansi kebijakan serta konsistensi dalam pelaksanaannya menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan.
Meski begitu, tanda-tanda awal sudah cukup jelas. Indonesia kini berada di persimpangan yang menentukan, dan pilihan kebijakan yang lebih berani memberi alasan untuk optimis. Pasar modal terus bergerak positif, rupiah terjaga, belanja pemerintah meningkat, stimulus digelontorkan dan dorongan untuk pertumbuhan terus dilakukan.
Semua ini terjadi karena fiskal dan moneter tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, melainkan bersatu dalam tujuan yang sama.
Selamat datang Ekonomi Ekspansif. Inilah era baru di bawah pemerintahan Presiden Prabowo ketika kebijakan fiskal dan moneter bertemu dalam satu irama, mendorong roda perekonomian agar bergerak lebih kencang, memperpanjang masa ekspansi, dan memberi harapan bahwa pertumbuhan kali ini bisa dirasakan lebih merata oleh seluruh rakyat Indonesia.
David Sutyanto. Ketua Umum Perkumpulan Analis Efek Indonesia.
(rdp/tor)