Dulu Indonesia dikenal dengan keindahan alamnya, namun karena tidak becus mengurusnya industri pariwisata belum menjadi salah satu sumber utama pendapatan APBN. Sudah banyak Menteri Pariwisata yang bergelar berderet dan keren tetapi gagal menjual keindahan alam Indonesia atau belum ada yang sanggup membuat pariwisata Indonesia mendunia, kecuali Bali. Tentunya ada masalah besar dalam pengelolaan industri pariwisata kita hingga hari ini, sehingga tidak kunjung "moncer" seperti negara lain meskipun kita mempunyai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, Candi Borobudur dan belasan heritage rekomendasi UNESCO lainnya yang harusnya moncer dijual.
Kita masih ingat pada periode pertama Kabinet Jokowi (Kabinet Indonesia Bersatu) telah dicanangkan 10 destinasi unggulan (Bali, Yogyakarta, Labuan, Danau Toba, Borobudur, Mandalika Lombok, Raja Ampat, Wakatobi, Bromo, dan Kepulauan Seribu). Menteri Pariwisata kala itu, Arif Yahya, mencanangkan 20 juta wisatawan asing akan masuk Indonesia di 2019, tetapi nyatanya tidak sampai 15 juta (sudah termasuk pelintas batas dan data penggunaan telepon selular yang bukan wisatawan). Sementara di saat yang sama, Vietnam sudah menembus 20 juta wisatawan mancanegara. Dimana salahnya kebijakan pariwisata Indonesia?
Memasarkan pariwisata, dengan slogan Visit Indonesia, juga zonk, misalnya kebijakan pembebasan visa kunjungan 30 hari, program promosi besar besaran di Time Square New York serta iklan di Bus Kota London dan sebagainya tetapi angka 20 juta tak kunjung sampai. Sementara berapa milyar Rupiah uang APBN digunakan untuk promosi yang tampak keren dan wah tetapi tidak ada hasil, dibandingklan dengan Vietnam yang hanya pakai promosi di majalah pariwisata dan di beberapa negara tertentu (US dan Perancis sebagai mantan penjajah, Jepang dan Korea Selatan sebagai investor asing terbesar, ASEAN, dan Australia) tetapi 20 juta Wisman datang meskipun obyeknya tidak sebagus Indonesia tetapi manajemen pariwisatanya tepat dan benar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memasarkan pariwisata tidak hanya mempersiapkan daerah tujuan wisata tetapi juga harus mempersiapkan masyarakatnya supaya mempunyai budaya melayani. Untuk itu pemerintah tidak hanya melakukan studi kelayakan teknis dan marketing saja untuk penetapan lokasi wisata Internasional tetapi juga melakukan studi antropologi sosial untuk bisa memahami tingkah laku masyarakat sekita lalu mempersiapkannya dan melakukan mitigasi jika terjadi persoalan sosial. Menurut saya ini dasar kesalahan kita dalam menetapkan strategi kebijakan pariwisata selama ini. Sehingga tidak ada link and match antara program dengan kesiapan masyarakat.
Kondisi industri pariwisata Indonesia
Hari ini industri pariwisata Indonesia mati suri serta belum tampak ada langkah strategi Kementerian Pariwisata. Anggaran dan program tidak jelas sehingga pemanfaatannya juga tidak dirasakan secara ekonomi oleh publik. Di era Jokowi setelah 10 destinasi pariwisata utama gagal, lalu pemerintah menggulirkan 5 daerah pariwisata unggulan, yaitu Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika Labuan Bajo dan Likupang, inipun gagal. Sudah berapa banyak dana yang dikucurkan untuk menjual Danau Toba, Labuan Bajo dan sebagainya, namun Wisman tetap enggan datang secara berbondong bondong ke 5 destinasi wisata unggulan tersebut. Menurut Data Indonesia, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia sepanjang tahun 2024 hanya mencapai 13,90 juta kunjungan dengan anggaran sektor Pariwisata di APBN 2024 sebesar Rp 3,29 triliun.
Lalu bagaimana disisi penunjang industri Pariwisata? Pesawat Garuda di penerbangan Internasional ke tujuan 5 destinasi utama sepi. Meskipun tersedia banyak paket promo tiket penerbangan, hotel dan sebagainya tetap tidak meningkatkan waktu kunjungan dan belanja Wisman. Bali yang masih diandalkan sebagai tujuan utama Wisman juga sudah mulai dijauhi Wisman karena macet, banjir dan dipenuhi oleh Wisma "kere" yang tidak tinggal di hotel dan makan di restoran tetapi tinggal atau sewa rumah penduduk yang tidak bayar pajak. Sehingga Gubernur Bali bulan lalu pernah mengeluh ke saya soal ini.
Saya baru kembali dari Amerika Selatan naik Ethiopian Air dengan rute Jakartta - Bangkok - Addis Ababa - Sao Paulo. Penumpang dari Jakarta hanya 20% dari kapasitas pesawat (B 787-900), tetapi begitu transit di Bangkok, pesawat langsung full dengan tujuan Sao Paulo Brazil. Begitu pula ketika penerbangan kembali ke Jakarta, dari Sao Paulo full turus dari Ethiopia dan negara Amerika Latin lainnya, sampai di Bangkok 80% turun dan sisanya orang Indonesia yang umumnya Jemaah Umroh. Ini bukti Indonesia belum jadi sasaran Wisman dari Amerika Latin dan Afrika. Dengan Vietnam, Malaysia, Singapore, apalagi Thailand kita lewat. Wisman yang mampir ke Indonesia bukan kelas Wisman kaya yang akan lama tinggal dan menghamburkan uangnya di Indonesia. Yang kaya sudah turun di Bangkok.
Untuk meningkatkan jumlah Wisman, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Perhubungan membuka bandara internasional yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 37 Tahun 2025 yang menetapkan 36 bandara umum sebagai bandara internasional, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor38 Tahun 2025. KM ini membatalkan Keputusan Menteri nomor 31 tahun 2024 tentang Pencabutan 17 Bandara Internasional. Adakah pengaruhnya dengan peningkatan kunjungan Wisman ke Indonesia ? Saya khawatir tidak. Kebijakan yang sudah terbukti tidak efektif kok diulangi.
Bandara Internasional cukup 5 saja sebagai port of entry atau pintu masuk ke Indonesia, supaya kontrol Custom-Imigration-Quarantinr (CIQ) maksimum dan tidak membebani daerah dengan berbagai ongkos sebagai Bandara Internasional sementara volume pendaratan maskapai Internasional minim. Di US ada puluhan bandara Internasiomal tetapi hanya 8 yang jadi port of entry. Selain itu kalau Bandara Internasional banyak Maskapai Domestik kita akan mati karena pasarnya diambil oleh maskapai asing yang terbang dari atau via Singapore, Kuala Lumpur dan Bangkok ke beberapa Bandara besar di Indonesia.
Langkah yang harus diambil pemerintah
Kekayaan alam Indonesia sebentar lagi bisa punah demi kebutuhan perut dan kerakusan ketika hutan dirusak demi tambang, sehingga menyebabkan banyak daerah wisata alam punah dan meningkatnya bencana alam yang membuat Wisman tidak tertarik ke Indonesia. Begitu pula ketika investor pariwisata mau masuk ke Indonesia, saat pengurusan izin saja sudah di palak dan ketika sudah beroperasi juga terus dipalak serta dikelola secara koruptif. Jadi saran saya agar Pariwisata Indonesia menarik Wisman, antara lain :
Pertama kebijakan bebas visa kunjungan 30 hari harus targeted dan resiprokal. Kedua batasi keberadaan bandara Internasional sebagai Port of Entry maksimum 5 (untuk wilayah Barat - Tengah - Timur Indonesia), supaya maskapai domestik hidup dengan kunjungan Wisman tidak dikuasai maskapai asing yang langsung masuk via Port of Entry. Hampir semua bandara Internasional yang ada hanya disinggahi maskapai dari Singapore dan/atau Malaysia dan penumpangnya kebanyakan orang Indonesia bukan Wisman. Jadi buat apa jadi Bandara Internasional? Gengsi yang tak menghasilkan pendapatan.
Ketiga untuk menentukan rute Internasional maskapai Indonesia harus melakukan studi marketing dan antropologi di negara sasaran. Misalnya masyarakat Eropa punya kebiasaan hari dan waktu terbang untuk berlibur (masing masing negara berbeda), untuk itu harus ada studi marketing dan antropologinya supaya, sehingga Garuda dapat menetapkan slot hari dan waktu terbang bagi Wisman negara tersebut. Setelah. Itu baru studi ekonomi dan finansial supaya tidak boncos. Dulu GA pernah dan selalu lakukan itu oleh kamntor cabang di Eropa, begitu pula negara lain.
Keempat pastikan Kementerian Pariwisata mempunyai data antropologi masyarakat tujuan wisata. Misalnya, mengapa wisata unggulan D. Toba gagal ? Karena semua penduduk di 7 Kabupaten sekitar Toba adalah turunan Raja yang tidak mau kerja keras seperti jongos. Makanya harus ada langkah mitigasinya yang pas. Begitu pula di Labuan Bajo, dimana kondisi cuaca sangat mempengharuhi keselamatan pelayaran. Jadi operator pariwisata harus paham itu supaya kecelakaan kapal wisata yang selama ini tinggi di Labuan Bajo bisa diatasi. Kalau keselamatan transportasi laut di Labuan Bajo tidak aman, apa yang mau dijual ke wisman?
Kelima, sekarang semua informasi dan strategi pariwisata sudah dapat kita baca di google atau AI, sehingga tidak perlu lagi ada studi banding atau promosi mahal di anggarkan di APBN. Tiru cara Vietam bagaimana mereka melakukan promosi yang efisien.
Keenam, industri pariwisata jangan menjadi industri palak memalak, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat akar rumput masyarakat. Supaya Wisman nyaman datang ke Indonesia.
Ketujuh koordinasikan pengembangan Pariwisata terkoneksi secara baik antar K/L yang terkait, seperti Kementerian Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Menko Pembangunan Infrastruktur dan Wilayah, dan sebagainya. Dengan demikian, semoga Indonesia bisa mengembangkan industri Pariwisata dengan baik dan diperhitungkan dunia, jangan hanya Bali yang sudah tua dan renta terus yang dijual.
Agus Pambagio
Pemerhati dan Peneliti Kebijakan Publik
Simak juga Video: Menteri Pariwisata Pastikan Bali Tetap Terbuka Bagi Wisatawan