Dalam terminologi media sosial, algoritma kerap diartikan sebagai serangkaian rumus matematika yang mengatur konten apa yang muncul di beranda pengguna berdasarkan data perilaku mereka. Sementara dalam konteks kebijakan publik, algoritma dapat dimaknai sebagai pola langkah sistematis dalam merumuskan, menjalankan, dan memperbaiki kebijakan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam pengamatan saya, selama hampir satu tahun memimpin Indonesia, Presiden Prabowo Subianto telah memperlihatkan secara jelas algoritma kebijakannya. Satu benang merah yang bisa ditarik dalam berbagai kebijakan saat ini-misalnya program makan bergizi gratis (MBG), insentif bagi guru, terobosan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda, serta program transformasi kesehatan nasional berupa Cek Kesehatan Gratis (CKG)-adalah konsolidasi pembangunan yang lebih menekankan aspek sumber daya manusia (SDM) sebagai titik tumpunya.
Hal ini menarik dicermati lantaran di berbagai belahan dunia sudah mafhum adagium bahwa tidak ada negara maju tanpa menempatkan pembangunan SDM sebagai prioritas utama. Negara-negara yang kini berada di puncak peradaban modern adalah mereka yang sangat sadar bahwa manusia merupakan aset strategis untuk menopang pembangunan dan kemajuan bangsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan Populis MBG
Salah satu kebijakan populis Presiden Prabowo yang hingga hari ini terus menyedot perhatian publik adalah program makan bergizi gratis (MBG). Selain program baru dalam sejarah Indonesia, MBG masuk kategori program yang prestisius nan spektakuler lantaran tidak hanya memakan anggaran yang fantastis (Rp 71 triliun untuk tahun 2025 dan Rp 336 triliun untuk 2026), namun juga menjangkau puluhan juga siswa Indonesia (82,9 juta jiwa target penerima manfaat untuk tahun 2026).
Kendati menuai sejumlah kritik dan catatan-seperti isu keracunan, isu produk ultra-olahan, ataupun soal kapasitas fiskal-namun secara substansi dan relevansi, sebenarnya MBG punya dasar yang kuat dalam konteks pembangunan Indonesia.
Misalnya, salah satu alasan mengapa program MBG diperlukan ialah untuk mengatasi persoalan stunting yang sangat mengkhawatirkan. Data terbaru Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan prevalensi stunting nasional masih 19,8% pada tahun 2024. Dampak stunting ini sangat serius: penurunan IQ, produktivitas ekonomi rendah, dan ancaman terhadap bonus demografi.
Selain itu, Bank Dunia juga menyebutkan bahwa Human Capital Index (HCI) Indonesia 2020 hanya 0,54, yang artinya anak Indonesia hanya akan mencapai 54% potensi produktivitas penuh jika dewasa nanti. Bandingkan dengan negara Singapura (0,88), Finlandia (0,87), Korea Selatan (0,84), dan Jepang (0,80) yang jauh lebih tinggi. Sehingga tanpa intervensi gizi berskala nasional (seperti program MBG), alih-alih jadi negara maju, Indonesia juga akan sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap).
Karena itu, sebagaimana teori pembangunan manusia yang digagas Theodore Schultz dan Gary Becker bahwa pendidikan dan kesehatan adalah investasi terbesar bagi pembangunan. Anak yang mendapat gizi cukup akan tumbuh lebih cerdas, produktif, dan kompetitif. Sebaliknya, kekurangan gizi kronis (stunting) terbukti menurunkan IQ, melemahkan produktivitas kerja, dan memperbesar risiko kemiskinan struktural. Artinya, MBG bukan sekadar program populis yang menarik dan bombastis, tetapi strategi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045.
Sebenarnya, sudah banyak negara yang membuktikan bahwa program pangan bergizi gratis adalah fondasi pembangunan jangka panjang. Misalnya, Finlandia, Tiongkok, Amerika Serikat, India, bahkan Brasil. Sebagai salah satu contoh, Finlandia misalnya yang sejak 1940-an sudah menjalankan free school meals untuk semua anak sekolah. Kini, lebih dari 80 tahun kemudian, Finlandia bukan hanya berhasil menghapus kelaparan anak, tetapi juga menempati peringkat teratas dalam indeks pendidikan dunia.
MBG dan Janji Politik
Alasan lain mengapa MBG merupakan program strategis lantaran ini merupakan janji politik Presiden Prabowo. Masih segar dalam ingatan kita bahwa setiap kandidat capres pada Pilpres 2024 menawarkan janji politik masing-masing sebagai pembeda untuk menarik simpati pemilih. Misalnya, Ganjar Pranowo menjanjikan internet gratis, Anies Baswedan menawarkan transportasi murah terintegrasi ala Jakarta, sedangkan Prabowo mengangkat isu fundamental berupa makanan bergizi untuk anak-anak Indonesia. Exit poll dari berbagai lembaga survei saat itu menunjukkan bahwa janji makan bergizi gratis menjadi salah satu faktor utama kemenangan Prabowo.
Artinya, MBG ini bukan sekadar kebijakan teknokratik, melainkan lahir dari janji politik yang diucapkan di tengah kontestasi Pilpres 2024. Rakyat mengingatnya, rakyat memilihnya, dan kini rakyat menagihnya. Karena itu, tak alasan bagi Presiden Prabowo untuk tidak menjalankan program MBG ini dengan sebaik-baiknya.
Sebagai program raksasa yang menelan biaya tinggi dan menjangkau puluhan juta orang, maka pemerintah tidak boleh alergi terhadap berbagai masukan, kritik, catatan, dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan program MBG yang sudah berjalan sekitar sembilan bulan ini. Hal ini krusial supaya kebijakan yang sejalan dengan algoritma masyarakat ini benar-benar bisa berjalan dengan baik, dan bisa menjadi pondasi penting menuju Indonesia Emas 2045. Semoga!
Ali Rif'an. Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia.