Danantara, Strategic Flexibility dan Risk Culture
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Danantara, Strategic Flexibility dan Risk Culture

Rabu, 17 Sep 2025 10:38 WIB
Rahmat Hidayat Pulungan
Wasekjen PBNU Bidang Ekonomi.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
H Rahmat Hidayat Pulungan (dok.istimewa)
Foto: Rahmat Hidayat Pulungan (Dok. Istimewa)
Jakarta -

Presiden Prabowo resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 24 Februari 2025 dengan total aset sekitar 16.000 triliun rupiah. Sejak awal peluncurannya, Danantara, melalui Holding Investasi, telah mengumumkan rencana investasi sebesar 300 triliun yang akan dialokasikan untuk 20 proyek nasional terkait industrialisasi, hilirisasi dan energi baru terbarukan.

Menimbang besarnya total aset Danantara dan rencana investasi yang dialokasikan untuk proyek-proyek strategis nasional, penting bagi Danantara dan BUMN di bawahnya untuk mengadopsi pendekatan manajemen yang gesit namun tetap efektif dan efisien.

Keberhasilan pelaksanaan investasi dan pencapaian tujuan pembangunan yang diemban, terutama dalam konteks disrupsi ekonomi global, sangat ditentukan oleh strategic flexibility dan risk culture yang kuat sebagai kapabilitas yang perlu dimiliki Danantara sebagai organisasi.

Jejak Pengelolaan BUMN, Dari Aset Kolonial hingga Kementerian Khusus

BUMN adalah cerminan perjalanan bangsa. Dari nasionalisasi perusahaan Belanda pasca-kemerdekaan (UU No. 86 Tahun 1958), dengan pengelolaan tersebar di berbagai kementerian dan fokus pada pengamanan aset serta layanan publik, hingga menjadi agen Trilogi Pembangunan yang fokus pada infrastruktur, industrialisasi dan swasembada sektoral pada era Orde Baru.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di kedua masa ini, keputusan investasi didominasi arahan politik, bukan kalkulasi bisnis, sehingga menyebabkan inefisiensi dan rendahnya akuntabilitas.

Gelombang reformasi 1998 dengan tuntutan transparansi dan profesionalisme, memaksa BUMN menjadi entitas bisnis yang efisien dan menguntungkan melalui pembentukan Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN (sekarang Kementerian BUMN) pada 1998, yang mengkonsolidasikan pengelolaan BUMN. Meskipun banyak pembenahan dilakukan, model ini masih terlalu birokratis dan rentan intervensi politik, yang menghambat kecepatan pengambilan keputusan.

Keseimbangan Cita-Cita Pembangunan dan Kalkulasi Bisnis

Sebagai agen pembangunan, BUMN seringkali menggarap proyek strategis yang tidak menarik bagi swasta murni karena pengembalian modal yang panjang atau berisiko tinggi (misalnya, Jalan Tol Trans-Sumatera oleh PT Hutama Karya, pengembangan pelabuhan di pulau terluar oleh PT Pelindo, pengembangan bandara oleh PT Angkasa Pura, pembangunan Kereta Cepat oleh PT Kereta Api Indonesia). Keuntungan sosial-ekonomi bagi negara jauh melampaui keuntungan finansial perusahaan itu sendiri dalam kasus-kasus ini.

Meskipun mengemban misi pembangunan, BUMN harus tetap sehat secara finansial. Fokus berlebihan pada pembangunan tanpa profitabilitas akan membebani APBN sementara fokus berlebihan pada keuntungan tanpa pelayanan publik mendelegitimasi keberadaan BUMN. Oleh karena itu, metrik kinerja BUMN harus komprehensif, mencakup laba-rugi dan dampak sosial-ekonomi.

ADVERTISEMENT

Agility Melalui Strategic Flexibility

Melihat keterbatasan model lama, gagasan Danantara muncul sebagai entitas korporasi profesional yang mengarahkan, membentuk, mengawasi, dan mengoptimalkan fungsi Holding Operasional dan Holding Investasi untuk mencapai efisiensi BUMN (UU No. 1 Tahun 2025). Dengan hadirnya Danantara, pemerintah tidak lagi langsung mengelola BUMN, melainkan memberikan mandat berupa target dividen, mandat pembangunan, dan KPI strategis.

Perubahan ini menghadirkan strategic flexibility. Danantara dapat secara fleksibel merumuskan dan merubah arah serta rencana bisnis strategis BUMN guna memenuhi mandat target dari pemerintah berdasarkan kebutuhan dan kondisi pasar. BUMN dapat bergerak gesit untuk masuk atau keluar dari bisnis serta membentuk aliansi strategis global yang diperlukan. Pakar dan peneliti mengidentifikasi strategic flexibility sebagai prediktor keunggulan kompetitif (Eisenhardt & Martin, 2000), inovasi (Awais dkk., 2023) dan keberlanjutan bisnis (Vu & Nwachukwu, 2020).

Risk Culture sebagai Fondasi Utama

Strategic flexibility adalah pedang bermata dua; tanpa kendali tepat, akan mendatangkan kerugian. Di sinilah risk culture menjadi krusial. Adagium culture eats strategy for breakfast mengajarkan bahwa strategi paling brilian pun akan gagal tanpa cara berpikir dan perilaku sebagai budaya yang sesuai. Risk culture adalah kapabilitas organisasi untuk mengenali dan mengelola risiko terukur (calculated risk) demi tujuan strategis.

Ini tentang menciptakan lingkungan di mana setiap individu bertanggung jawab mengidentifikasi, menganalisis, mendiskusikan, dan memitigasi risiko secara terbuka, tanpa takut disalahkan saat risiko yang telah diperhitungkan tidak berjalan sesuai harapan. Tanpa budaya ini, fleksibilitas strategis hanya akan menjadi bumerang, membawa kepada investasi spekulatif yang mengakibatkan kerugian negara.

Risk Culture: Studi Kasus Proyek Investasi PLTP

Pentingnya risk culture dapat disimulasikan pada investasi Danantara di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang melibatkan PGE (Pertamina) dan PLN. Tanpa budaya risiko yang baik, setiap shareholder akan fokus bekerja secara sempit berdasarkan tanggung jawab yang diasumsikan (assumed responsibility). PGE hanya fokus pada aspek teknis/geologis yang dianggap menjadi tanggung jawab mereka.

PLN hanya terpikir membangun transmisi saat ada kepastian pembangkit akan beroperasi untuk menghindari membangun "transmisi hantu". Potensi panas bumi terbaik seringkali berada di kawasan pegunungan yang merupakan hutan lindung, sensitif secara ekologis dan dihuni oleh masyarakat adat. Risiko sosial dan ekologikal terkait lokasi diabaikan dan dianggap akan selesai dengan mudah melalui Pemerintah Daerah dan terbitnya AMDAL. Ketiadaan budaya risiko membawa kepada kelambanan bahkan kegagalan proyek dengan multi konsekuensi (cost overruns, opportunity cost, increased risk exposure, loss of strategic alignment).

Dengan budaya risiko yang baik, risiko dikelola dengan pendekatan Enterprise Risk Management terintegrasi sejak awal. Tim gabungan dibentuk dengan mandat dan akuntabilitas jelas terkait risiko-risiko kunci yang diidentifikasi, dianalisis, dan dimitigasi bersama. Proyek menjadi efektif dan efisien sehingga produk akhir yang dihadirkan kepada masyarakat sebagai konsumen menjadi kompetitif.


Babak Baru BUMN, Babak Penuh Harapan

Perjalanan BUMN memasuki babak baru dengan model pengelolaan Danantara. Model lama tidak lagi memadai untuk tuntutan kegesitan dan adaptabilitas. Danantara adalah solusi menjanjikan untuk melepaskan BUMN dari birokrasi dan memberikannya fleksibilitas strategis untuk bersaing secara global.

Namun fleksibilitas strategis Danantara hanya bermakna jika dilandaskan kepada budaya risiko yang kokoh, yang mencegah kecerobohan dan pengelolaan risiko secara cerdas untuk meraih peluang baru.

Keberhasilan Danantara dinilai dari keberhasilan BUMN bertransformasi menjadi lebih gesit dan inovatif melalui fleksibilitas strategis serta akuntabel, efektif dan efisien melalui budaya risiko. Pada akhirnya, melalui investasi yang direncanakan Danantara, BUMN dapat bersaing dengan swasta menghadirkan produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat luas (air, pangan, sandang, papan) secara kompetitif. BUMN hadir mengontrol pasar dengan cara mempengaruhi harga. Saat hal ini tercapai, kita akan menyaksikan babak baru BUMN dan kemajuan ekonomi Indonesia.


Rahmat Hidayat Pulungan. Wasekjen PBNU Bidang Ekonomi.

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads