SBY, Lembu Peteng & Raja Jawa
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

Jakarta - Zaenal Ma'arif membuat berita. Kendati kabar yang dibuatnya tidak up to date, karena sebelumnya sudah ditiupkan Jenderal (Pur) R Hartono, tapi warta yang dibawa Wakil Ketua DPR ini gemanya cukup tinggi. Itu karena Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sang presiden, yang dituding telah menikah dan punya anak sebelum masuk Akademi Militer itu bereaksi. Melaporkan Zaenal yang akan lengser dari jabatannya itu ke polisi. Jika kabar yang dibawa Zaenal Ma'arif benar, dalam 'khasanah intrik dan pengembangan isu' dia bisa digolongkan Milan Kunderanya Indonesia. Berhasil membukai aib petinggi negeri. Hanya yang membedakan, jika Milan Kundera di Cheko tanpa pretensi jabatan dan konsisten 'menelanjangi' tiap pejabat yang asusila, tapi sebaliknya bagi Zaenal, ada kesan, 'penelanjangan' ini dilakukan karena ada udang di balik rempeyek.Dilihat dari jabatannya sebagai wakil rakyat, benar atau salah kabar yang dibawa Zaenal, langkah yang dilakukannya ini terbilang tidak elegan. Melakukan penyerangan pribadi untuk 'menjatuhkan' seseorang dengan cara seperti itu amat naif. Langkah ini menodai predikatnya sebagai politisi piawai. Tidak terlihat ada kecerdasan dan keindahan politik dalam statemennya. Jangan kaget banyak yang mencibir, 'gosip Wakil Ketua DPR' itu sekelas gosip para artis. Gosip murahan !Tapi mengapa gosip murahan macam itu dilemparkan Zaenal Ma'arif dan ditanggapi SBY? Itu rasanya tak bisa dilepaskan dari personifikasi pemimpin Jawa. Bagi masyarakat Jawa, seorang pemimpin itu perlu diteliti bobot (jabatan dan kekayaan), bibit (ayah dan ibunya) serta bebet (keturunannya). Selain, yang tak kalah penting, spiritualitasnya. Sebab, pemimpin yang sempurna itu harus humanis sekaligus mistis. 'Manusia setengah dewa'. Dalam legenda yang masih banyak dipercaya, para raja Singosari, Majapahit, Pajang, maupun Mataram, tidak bisa dilepaskan dari mistisisme itu. Kisah Ken Dedes yang dipercaya punya vagina bersinar sebagai gua garba raja Jawa, Dewi Nawangwulan, bidadari yang dikawini Joko Tarub, cikal-bakal raja Majapahit, Joko Tingkir penakluk buaya yang menjadi raja Pajang, serta sosok Nyai Roro Kidul, istri mistis Panembahan Senopati dalam mewujutkan Mataram, adalah rangkaian mitos yang tak bisa dilepaskan dari raja dan kerajaan besar yang pernah ada di tanah Jawa.Bahkan dalam banyak kisah, para raja yang tidak berkasta ksatria atau pendeta pun harus 'diksatriakan' melalui para pujangga istana. Para pujangga pembuat sastra puja itu berkewajiban menciptakan silsilah baru, agar sang raja yang paria atau sudra berubah menjadi berkeluarga ningrat. Malah tak jarang para raja itu dibuatkan rasi keturunan para dewa atau keturunan para nabi, tatkala agama Islam telah bersemi.Di perbukitan Menoreh, misalnya, ada sebuah bukit yang diberi nama Suralaya. Sebuah nama yang merujuk pada istana para dewa. Di sekitar bukit ini dilengkapi Sendang Kawidodaren untuk mandi para bidadari, Sendang Kadewatan untuk mandi para dewata, juga Sendang Kepanasan sebagai peniruan neraka. Itu perangkat raja Mataram dalam menjadi dewa', sekaligus 'surga dan neraka' bagi rakyatnya. Bahkan saking mistisnya, dalam banyak catatan sejarah atau legenda raja Jawa, sering tampil istilah Lembu Peteng. Itu dikaitkan dengan ketidakjelasan asal-usul sang raja. Dia bisa anak yang dilahirkan selir raja, anak lamkoar, anak hasil hubungan gelap raja dengan gadis desa yang pasrah ditiduri ketika raja turun ke bawah (turba), serta bisa pula anak rakyat jelata yang karena kecerdasan dan keberaniannya tampil sebagai pemimpin.Dan dalam tataran negeri ini setelah menjadi Republik Indonesia, mitos Lembu Peteng serta silsilah yang berasal dari berbagai legenda itu tidak sertamerta terputus. Untuk Lembu Peteng acap dikaitkan dengan Soeharto, penguasa Orde Baru. SBY dipertalikan dengan Bethoro Kathong dan Kiai Hasan Besari Ponorogo. Serta tak terbilang lagi pejabat negeri ini yang sedang 'mencari' bahkan 'membeli' silsilah para raja-raja serta Wali Songo.Terus apa hikmah di balik lontaran 'gosip' Zaenal Ma'arif yang berbuah dilaporkan presiden SBY ke polisi itu? Sebagai jurnalis, saya berpatokan pada etika jurnalistik. Gosip yang 'haram' itu 'halal' jika yang digosipkan 'senang'. Tapi jika 'tidak menyenangkan', maka selain dianggap fitnah dan mencemarkan nama baik yang bisa dipidanakan, juga memalukan karena 'bergosip'.Keterangan Penulis:Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com.
(/)