Baru-baru ini, Kementerian Koperasi dan Badan Gizi Nasional mengumumkan rekrutmen yang cukup besar di seluruh Indonesia untuk dua program unggulan pemerintah saat ini, Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih, yang masing-masing membutuhkan 8.000 dan 500.000 pekerja.
Untuk Koperasi Merah Putih sendiri yang dibutuhkan adalah posisi business analysts dengan pengalaman memiliki bisnis sendiri untuk merancang rencana bisnis koperasi desa. Berdasarkan edaran, honor per bulan yang ditawarkan Rp 7.250.000. Sementara untuk MBG, dicari pekerja untuk empat team yaitu masak, kebersihan, packing, dan persiapan. Gajinya sekitar Rp 2.000.000 per bulan per relawan yayasan mitra MBG.
Namun demikian, baru-baru ini juga Aliansi Ekonom Indonesia mengajukan 7 Desakan Darurat Ekonomi kepada pemerintah. Beberapa dari tuntutan itu patut diapresiasi, seperti dorongan untuk memperbaiki tata kelola, memperkuat institusi, dan mengurangi ketimpangan. Namun, adapula sejumlah desakan yang justru berpotensi melemahkan penciptaan lapangan kerja-isu paling mendesak yang sedang kita hadapi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di satu sisi, kita butuh disiplin fiskal dan kebijakan berbasis bukti. Namun di sisi lain, seluruh dunia, termasuk Indonesia, sedang mencari solusi atas semakin besarnya kaum prekariat, atau precarious proletariat.
Kaum ini disebut Guy Standing (2011) sebagai the new dangerous class, kelompok masyarakat yang kondisi kerjanya yang tidak pasti, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian pendapatan, dan terjebak dalam pekerjaan sementara dan informal. Kebutuhan mereka harus segera ditangani dalam jangka pendek dan secara sistematis untuk jangka panjang.
Dunia yang Berubah Cepat
Kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja. Dunia tengah mengalami restrukturisasi ekonomi secara besar-besaran. Kemajuan teknologi-robotics, automasi, hingga kecerdasan buatan (AI)-mengubah cara kita bekerja. Menurut World Economic Forum, hingga tahun 2030 sekitar 92 juta pekerjaan akan hilang akibat otomatisasi, terutama pekerjaan rutin seperti kasir, teller, petugas entri data, loket, dan administrasi dasar.
Pada saat yang sama, diperkirakan akan ada 170 juta pekerjaan baru dengan jenis keterampilan berbeda, antara lain analitik data, teknologi digital, energi terbarukan, dan layanan kesehatan. Namun sistem pendidikan menengah di Indonesia masih tertinggal dalam menyiapkan tenaga kerja dengan keterampilan yang dibutuhkan masa depan.
Dampaknya, mereka yang lulusan SMA dan SMK, kelompok yang jumlahnya sangat besar, kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Pekerjaan Tidak Lagi Seumur Hidup
Perubahan teknologi dan dinamika geopolitik yang cepat membuat dunia usaha ragu untuk berinvestasi jangka panjang. Kita hidup di era VUCA-Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity. Pekerjaan yang dulu bisa menjamin masa depan seumur hidup, kini hanya bertahan sebentar. Produk yang laku keras 10 tahun lalu kini sudah hilang dari pasar.
Ketidakpastian ini melahirkan skema pekerja kontrak jangka pendek dan gig workers.
Secara global, Bank Dunia dalam Working Without Borders (2023) memperkirakan ada sekitar 435 juta pekerja gig dalam ekonomi daring. Di Indonesia sendiri, survei yang dilakukan Royono dkk (2025) dalam Digital Economy Research Impact Initiative memperkirakan 2,3 juta orang bekerja dalam ekosistem gig-sekitar 1,7% angkatan kerja-terutama di sektor transportasi dan jasa berbasis platform.
Dibandingkan negara tetangga, proporsi gig economy Indonesia masih lebih kecil dari Filipina atau India, tetapi tetap signifikan dan terus meningkat.
Survei ILO 2023 mencatat lebih dari 1,4 miliar orang di dunia adalah kaum prekariat. Sementara di Asia Tenggara lebih dari 60% angkatan kerja masuk kategori rentan.
Kaum Prekariat dan Upaya Menciptakan Lapangan Kerja Baru
Pada periode Presiden Jokowi, pemerintah berupaya melindungi kelompok rentan ini melalui program bantuan sosial. Kini, arah kebijakan bergeser: memperkuat penciptaan lapangan kerja langsung ketimbang membagi uang dan sembako.
Beberapa program besar yang sedang dan akan berjalan antara lain:
- β 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih, menyerap sekitar 400 ribu pekerja baru.
- Replanting perkebunan rakyat 870 ribu hektare, membuka 1,6 juta lapangan kerja dalam 2 tahun.
- Kampung Nelayan Merah Putih, dengan target 100 hingga 4 ribu desa, dapat membuka 7 ribu hingga 200 ribu pekerjaan.
- β Revitalisasi Tambak Pantura 20 ribu hektare, menyerap lebih dari 132 ribu tenaga kerja.
- Modernisasi 1.000 kapal nelayan, menciptakan hampir 600 ribu pekerjaan baru.
- 32 ribu dapur MBG, masing-masing menyerap 50 tenaga kerja, total 1,6 juta orang.
- KUR Perumahan, membantu UMKM mengakses dana sebesar Rp130 triliun untuk membangun atau merenovasi rumah, berpotensi menyerap 4-5 juta tenaga kerja konstruksi.
Ditambah efek backward linkage ke industri semen, baja, keramik, furnitur, logistik, maka total pekerjaan yang tercipta bisa mencapai 8-9 juta orang.
Jika seluruh program di atas dijalankan, maka secara agregat akan menciptakan lebih dari 10 juta pekerjaan baru langsung, belum termasuk multiplier effect atau efek berganda.
Program perumahan dan MBG menjadi penting karena kaum prekariat paling banyak tinggal di wilayah suburban, atau pinggiran kota. Mereka berada di Kabupaten Bogor, Tangerang, atau Bekasi, bukan di Jakarta. Kalau di wilayah metropolitan Surabaya, di Sidoarjo dan Gresik-nya. Di wilayah Metropolitan Bandung, di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat-nya. Wilayah-wilayah ini dulu desa pertanian, tapi kini berubah menjadi perkampungan padat, hampir tanpa perencanaan, dengan lapangan kerja terbatas.
Banyak dari mereka lulusan SMK, SMA, politeknik, bahkan sarjana, tapi menganggur atau bekerja di sektor informal seperti ojol, taxi online, cleaning service, dan keamanan. Mereka berpendidikan, kritis, namun tertekan oleh himpitan ekonomi. Mereka kecewa dan mudah disulut.
Kontradiksi dari Tuntutan Aliansi Ekonom Indonesia
Sebagian tuntutan Aliansi Ekonom menginginkan agar program-program seperti MBG atau Koperasi Desa Merah Putih dikurangi dengan alasan populisme dan misalokasi anggaran. Di sinilah letak kontradiksinya.
Dari sudut fiskal, wajar ada kekhawatiran beban anggaran terlalu besar. Kami juga sepakat akan perlunya memperkuat tata kelola, mengurangi ketimpangan, dan deregulasi yang bijak untuk UMKM.
Dari sudut sosial, menghapus program-program ini justru akan memperparah keresahan kaum prekariat karena kehilangan peluang kerja padat karya di daerah tempat tinggalnya.
Bila diimplementasikan dengan baik, program-program ini justru akan menjadi penggerak ekonomi lokal yang lebih berkelanjutan: koperasi desa, nelayan, dapur MBG, hingga rumah subsidi. Semua ini bukan hanya populis, tetapi riil menciptakan ekonomi produktif dan pekerjaan jangka panjang.
Sintesis: Gerakan Indonesia Bekerja
Kita bisa belajar dari kedua sisi. Dari Aliansi Ekonom, kita perlu menguatkan tata kelola, bukti, dan efisiensi fiskal agar program tidak boros atau salah sasaran. Dari kenyataan di lapangan, kita tidak bisa menunda penciptaan lapangan kerja, terutama di kawasan suburban.
Karena itu, jalan tengahnya adalah memperbaiki desain dan pelaksanaan program-program pemerintah di atas, bukan menghentikannya. Dengan begitu, kita bisa menjawab keresahan kaum prekariat sekaligus menjaga kesehatan fiskal.
Program-program unggulan pemerintah merefleksikan komitmen nasional untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya di lokasi yang tepat-perdesaan dan perkotaan-sekaligus memastikan programnya akuntabel, efisien, dan berkelanjutan.
Hanya dengan cara itu kita bisa mengubah keresahan menjadi energi produktif, dan menjadikan transformasi ekonomi Indonesia lebih inklusif serta berkeadilan.
Mulya Amri, Direktur Eksekutif Kadin Indonesia
Simak juga Video: Menaker Sebut Koperasi Merah Putih Mampu Ciptakan Lapangan Kerja