Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa adalah Menteri Keuangan kedua sejak era reformasi yang memiliki latar belakang pendidikan teknik atau insinyur. Menteri Keuangan pertama pada era reformasi (1998 – 1999), Bambang Subianto , adalah insinyur Teknik Kimia. Sementara itu, Purbaya merupakan insinyur Teknik Elektro. Keduanya sama-sama insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang akhirnya 'banting setir' menjadi ekonom.
Sejak era reformasi, praktis hanya Presiden RI ke-3 B.J. Habibie, dan Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto, yang memilih mengangkat Menteri Keuangan berlatar belakang insinyur. Presiden-presiden lainnya lebih banyak menunjuk Menteri Keuangan yang memiliki latar belakang pendidikan strata sarjana di bidang ekonomi atau ilmu sosial lainnya.
Bambang Subianto menjabat Menteri Keuangan pada Kabinet Reformasi Pembangunan yang memulai masa kerjanya pada 23 Mei 1998 dalam kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk. Sebagai gambaran, pada Mei 1998 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok pada titik terendahnya, hingga mencapai level Rp 16.800.
Menteri Keuangan Bambang Subianto terbukti berhasil mengawal ekonomi kita melewati krisis saat itu. Nilai tukar rupiah tercatat menguat pada level Rp 7.385 per dolar AS di akhir penugasan Kabinet Reformasi Pembangunan pada 20 Oktober 1999. Rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp 6.550 per dolar AS pada 28 Juni 1999, level terkuat rupiah sepanjang era reformasi hingga saat ini.
Penunjukan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada Senin (8/9) lalu tentu mengingatkan kita pada penunjukan Menteri Keuangan Bambang Subianto pada 27 tahun yang lalu. Keduanya sama – sama Insinyur. Keduanya sama – sama ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam kondisi ekonomi yang tidak baik – baik saja. Keduanya juga sama – sama ditunjuk sebagai Menteri Keuangan tidak lama setelah aksi demonstrasi besar yang masif di beberapa kota di Indonesia.
Akan menjadi sebuah 'dejavu' yang sempurna apabila kelak Menteri Purbaya juga berhasil membawa kita melewati masa ekonomi yang sulit ini.
Hanya beberapa jam setelah dilantik, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung mencuri perhatian publik. Beberapa pernyataannya yang terkesan 'koboi' menjadi perbincangan hangat di berbagai platform digital hari itu. Masyarakat memang masih berada dalam situasi yang sensitif, setelah seminggu sebelumnya dibayangi oleh aksi demonstrasi besar yang secara kolektif menguras energi dan emosi.
Di balik pernyataan – pernyataan Menkeu Purbaya yang 'koboi' pada hari pertamanya, sejatinya juga tersimpan sebuah gaya komunikasi yang orisinil, polos dan apa adanya. Dari gaya komunikasinya itu, Menkeu Purbaya seharusnya adalah orang yang 'merdeka' dalam menyampaikan pemikiran dan gagasan yang ada dibenaknya, apa adanya dan tanpa dibuat – buat. Tanpa kepentingan politik apalagi kepentingan populis.
Cara dan gaya bicara tanpa basa-basi tersebut mengingatkan saya pada suasana komunikasi yang akrab dan spontan khas mahasiswa Teknik di ITB belasan tahun lalu—kampus tempat Menkeu Purbaya juga menempuh pendidikan sarjananya puluhan tahun lalu.
Hal itu tercermin langsung pada Rabu (10/9) yang lalu saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR – RI. Menkeu Purbaya mengakui bahwa demonstrasi yang besar pada akhir Agustus lalu adalah akibat dari tekanan ekonomi yang berkepanjangan karena kesalahan kebijakan fiskal dan moneter yang sebetulnya ada pada kendali pemerintah sendiri.
Menkeu Purbaya berpandangan bahwa tekanan ekonomi yang terjadi adalah akibat likuiditas perekonomian yang dibuat ketat oleh pemerintah dan Bank Indonesia tanpa disertai dengan kebijakan belanja yang tepat waktu.
Menteri Keuangan Purbaya juga mengemukakan hal yang sangat logis, yaitu pentingnya peran sektor swasta dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi. Tanpa kontribusi besar dari sektor swasta, ekonomi akan berjalan pincang.
Kontribusi sektor swasta yang sedang tertekan akibat likuiditas yang seret harus segera dicarikan solusinya. Pemerintah harus mendorong sektor swasta untuk terus berjalan dan tumbuh melalui berbagai kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung ekosistem usaha.
Tidak sampai seminggu sejak dilantik, Menteri Keuangan Purbaya langsung melakukan gebrakan pertamanya : menyalurkan 200 triliun duit negara di Bank Indonesia kepada lima bank Himbara.
Langkah ini ditujukan untuk memberikan guyuran likuiditas sehingga sektor riil dapat kembali bergerak. Tentu dana tersebut harus betul – betul kemudian disalurkan lewat penyaluran kredit dan pembiayaan oleh kelima bank Himbara tersebut untuk menggerakkan roda perekonomian.
Anda tentu bisa memahami pemikiran Menteri Purbaya : mendorong kenaikan jumlah uang beredar (money supply) dan juga kecepatan perputaran uang (velocity of money). Sesuai rumus dasar persamaan kuantitas uang, Jika jumlah uang beredar dan kecepatan perputaran uang naik, maka akan terjadi potensi kenaikan di 2 aspek ini : harga serta output barang dan jasa.
Tentu yang kita harapkan adalah kenaikan yang signifikan pada jumlah output barang dan jasa. Kenaikan yang signifikan pada jumlah output barang dan jasa berarti kenaikan yang signifikan pada GDP kita, yang berarti ekonomi kita juga bertumbuh secara signifikan.
Sedangkan kenaikan pada harga akan menyebabkan inflasi yang tentu akan kembali memberikan tekanan pada pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Lalu pertanyaan selanjutnya : bagaimana menjaga agar kenaikan yang signifikan terjadi pada jumlah output barang dan jasa bukan pada harga?
Jawabannya sederhana : penyaluran dana stimulus pemerintah oleh perbankan tersebut harus benar – benar diawasi dan difokuskan pada pembiayaan modal kerja yang bersifat produktif.
Penyaluran dana pada kredit konsumtif justru berpotensi mendorong kenaikan pada harga yang memicu inflasi. Selain itu, agar stimulus yang dilakukan pemerintah efektif, perlu juga dilakukan pengawasan agar dana tersebut tidak digunakan perbankan untuk membeli surat berharga atau instrumen lain yang tidak sesuai dengan tujuan awal pemerintah.
Anda dan saya tentu sepakat, seringkali hasil implementasi kebijakan yang tidak optimal adalah akibat dari masalah yang justru timbul pada fase pelaksanaannya. Banyak kebijakan yang benar dan logis pada tujuan dan perencanaannya, namun menjadi tidak optimal hasilnya justru karena proses eksekusi yang tidak sesuai dengan rencana awalnya. Pada soal kebijakan ini, kelima bank Himbara memiliki proporsi tanggung jawab yang paling besar dalam proses eksekusinya.
Menteri Keuangan Purbaya dalam pernyataannya pada Kamis (11/9) juga menyatakan komitmennya untuk menaikkan anggaran TKD (transfer ke daerah) pada RAPBN 2026. Sebelumnya pada RAPBN 2026, anggaran TKD dipatok hanya sebesar sekitar Rp 650 triliun, turun dari outlook APBN 2025 yang sekitar sebesar Rp 864 triliun.
Anda sudah paham : bahwa dengan nilai TKD pada APBN 2025 saja, sudah banyak pemerintah daerah yang kelimpungan mencari pendapatan tambahan, sampai – sampai menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang kemudian memicu demonstrasi di berbagai daerah.
Kebijakan fiskal memang seperti pedang bermata dua. Kebijakan fiskal yang tepat akan dengan efektif mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan suatu negara. Sebaliknya, kebijakan fiskal yang kurang tepat dapat berpotensi menimbulkan kontraksi ekonomi yang berdampak secara luas kepada keadaan sosial mayarakat. Maka dalam perumusannya, kebijakan fiskal harus benar – benar memikirkan kepentingan rakyat secara luas.
Dalam seminggu pertama menjalankan tugasnya, perlu diakui Menteri Keuangan Purbaya memang telah memberikan 'warna' baru. Langkah cepat Menkeu Purbaya dalam upayanya untuk mendorong roda dan pertumbuhan ekonomi perlu diapresiasi. Gayanya yang lugas, cepat dan apa adanya memunculkan harapan baru di tengah tantangan kondisi ekonomi kita yang penuh dengan ketidakpastian.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak mudah ini, Menteri Keuangan memang harus terus bekerja secara profesional dan berani mengambil risiko, tanpa dipengaruhi kepentingan politik apalagi kepentingan populis.
Walaupun anda sudah tahu: tidak ada stabilitas ekonomi tanpa stabilitas politik dan tidak ada stabilitas politik tanpa stabilitas ekonomi.
Mari kita terus optimis. Karena optimis tentu lebih baik dari pada sekedar pesimis.
A Renard Widarto. Pengusaha, Insinyur dan Doktor Ilmu Ekonomi.
Saksikan Live DetikSore :
Simak juga Video Purbaya Usai Sertijab Menkeu: Amanah Ini Tidak Ringan
(imk/imk)