Membaca dan Tantangan Literasi di Indonesia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membaca dan Tantangan Literasi di Indonesia

Jumat, 12 Sep 2025 13:30 WIB
M. Aris Munandar
Penulis dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Telah menulis di beberapa jurnal scopus, menghasilkan lebih dari 15 buku. Aktif menulis opini dan menjadi Dosen kurang lebih 3 tahun. Penulis juga aktif di organisasi profesi Asosiasi Penngajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki).
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi kumpulan buku
Foto: Freepik/freepik
Jakarta -

Membaca bukan hanya perkara mengenali huruf atau memahami berita di media massa. Lebih dari itu, membaca adalah cara kita memandang dunia dan memahami makna yang tersembunyi di balik ciptaan Tuhan. Umat Islam tentu ingat bahwa wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah perintah Iqra' dalam Surat Al-'Alaq ayat 1–5. Menurut H. Puji Raharjo Soekarno, Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung, makna Iqra' jauh melampaui aktivitas membaca teks. Ia mencakup membaca alam semesta, diri sendiri, serta tanda-tanda kebesaran Allah. Dengan begitu, membaca menjadi sarana memperdalam iman melalui kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta. Maka wajar bila dikatakan membaca sejatinya menyentuh hakikat penciptaan, bukan sekadar menelusuri tulisan.

Pada 8 September 2025 dunia memperingati Hari Literasi Internasional. Sejak 1967, UNESCO menetapkan tanggal ini sebagai pengingat pentingnya literasi untuk membangun masyarakat yang berpengetahuan, damai, dan berkelanjutan. Literasi dipahami bukan hanya sebagai kemampuan membaca, melainkan juga proses pengembangan diri. Bagi sebuah bangsa, literasi merupakan kebutuhan pokok karena berhubungan langsung dengan pembangunan.

Potret Literasi di Indonesia

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Data global memperlihatkan capaian literasi Indonesia cukup tinggi. The Global Economy mencatat tingkat literasi Indonesia tahun 2020 mencapai 96%, di atas rata-rata dunia yaitu 86,55%. Angka serupa juga ditunjukkan World Population Review dengan rincian laki-laki 97,4% dan perempuan 94,6%. Perpusnas RI bahkan melaporkan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) tahun 2024 mencapai skor 73,52, melampaui target nasional.

Namun, capaian ini kontras dengan hasil survei internasional lain. Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan skor membaca siswa Indonesia di angka 371, jauh di bawah rata-rata OECD. Laporan UNESCO juga menyebutkan minat baca aktif masyarakat Indonesia hanya 0,001% atau satu dari seribu orang. Data ini menunjukkan bahwa meski kemampuan dasar membaca cukup tinggi, namun kebiasaan membaca berkualitas masih rendah. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, terutama bagi generasi muda yang akan menentukan masa depan bangsa.

ADVERTISEMENT

Fakta tersebut seharusnya menjadi bahan renungan kita bersama. Di masa lalu, keterbatasan justru melahirkan tokoh-tokoh dengan karya besar. Kini, di era teknologi dan informasi berlimpah justru tidak semua dimanfaatkan untuk memperkuat literasi. J.K. Rowling pernah mengatakan bahwa membaca buku bagus bisa menghadirkan keajaiban. Sayangnya, masyarakat kini kerap terjebak pada bacaan dangkal. Fenomena brain rot yaitu penurunan kemampuan berpikir akibat konsumsi konten remeh di media sosial kian meluas. Konten sensasional tanpa nilai edukasi, seperti prank atau video pendek viral, membuat masyarakat abai terhadap bacaan bermutu. Jika tidak ada kesadaran sejak dini untuk memilah informasi, kualitas literasi bangsa bisa menurun drastis.

Integrasi Literasi dan Sosial

Selain krisis bacaan, masyarakat modern juga menghadapi masalah kurangnya interaksi sosial. Media sosial membuat orang lebih sibuk dengan dunia maya ketimbang dunia nyata. Kebiasaan ini mengurangi kemampuan bersosialisasi, bahkan menurunkan minat membaca buku. Informasi yang beredar pun sering kali tidak valid atau provokatif sehingga memengaruhi pola pikir. Akibatnya, produktivitas menurun dan masyarakat makin alergi terhadap bacaan serius dan berkualitas.

Untuk itu, dibutuhkan inovasi literasi yang melibatkan semua pihak seperti pemerintah, tokoh masyarakat, hingga pegiat literasi. Gerakan literasi yang ada sudah cukup positif, namun perlu diperluas terutama dengan menyasar anak-anak. Anak adalah fondasi dan jika sejak kecil mereka akrab dengan bacaan berkualitas, daya literasi bangsa akan lebih kokoh. Selain itu, kepekaan sosial juga bisa terjaga.

Negara berkewajiban menjamin akses literasi yang baik. Hal ini sejalan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan hak setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Perlindungan ini harus diwujudkan agar masyarakat tidak terjebak dalam informasi yang dangkal dan tidak bermutu.

Literasi sejatinya bukan sekadar membaca tulisan di atas kertas, tetapi juga mencakup kepedulian sosial dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan. Melalui literasi, tercipta empati, dialog, dan masyarakat yang produktif. Bagi Indonesia, literasi merupakan fondasi untuk bersaing di tingkat global. Karena itu, diperlukan langkah nyata seperti program "satu buku per bulan" di sekolah, digitalisasi buku daerah, dan kampanye literasi komunitas yang merata hingga ke pelosok.

Harapannya, masyarakat Indonesia semakin terbiasa membaca karya bermutu, bukan sekadar konten medis sosial yang instan. Dengan begitu, literasi benar-benar menjadi jalan menuju bangsa yang berdaya saing dan berperadaban.

M. Aris Munandar. Penulis dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Simak juga Video: Alasan Mendikdasmen Asesmen Literasi-Numerasi SMP dan SMA Saat MPLS

(imk/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads