AI di Sekolah Dasar: Harapan Baru atau Ilusi Modernitas?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

AI di Sekolah Dasar: Harapan Baru atau Ilusi Modernitas?

Jumat, 12 Sep 2025 09:30 WIB
Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Kolumnis , Penulis dan Peneliti Kebijakan Publik dan Pendidikan Pada Yayasan Leibniz Biner Nusantara
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi AI ChatGPT
Foto: Getty Images/iStockphoto/vittaya25
Jakarta -

Rencana pemerintah Indonesia untuk memasukkan coding sebagai bagian dari mata pelajaran di sekolah dasar dan menengah mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan. Ada yang melihatnya sebagai langkah visioner, pintu masuk menuju literasi digital abad ke-21. Tapi tidak sedikit yang mengernyitkan dahi: bukankah murid-murid kita masih kesulitan membaca lancar atau berhitung dasar, kok malah diminta belajar bahasa mesin? Perdebatan ini kian ramai ketika teknologi kecerdasan buatan (AI) mulai merambah ruang kelas. Jika coding adalah fondasi, maka AI adalah atap futuristik yang tiba-tiba sudah bertengger di atas kepala kita sebelum kita benar-benar selesai membangun dinding rumah pendidikan itu sendiri.

Bayangkan seorang anak kelas tiga SD di Jakarta. Setiap kali guru memberikan PR menulis karangan tentang "Cita-Citaku," ia diam-diam membuka aplikasi kecerdasan buatan di ponsel orang tuanya. Dalam hitungan detik, muncul teks rapi: "Saya bercita-cita menjadi dokter karena ingin menolong orang lain." Selesai. Anak itu senyum puas, orang tuanya bangga, tapi guru mungkin mulai garuk kepala: apakah ini kemajuan atau justru awal dari kemalasan massal?

Kehadiran kecerdasan buatan (AI) di ruang kelas, termasuk di sekolah dasar, adalah fenomena global yang tidak bisa lagi dihindari. Indonesia, dengan 24 juta lebih murid sekolah dasar menurut data Kemendikbud 2022, berada di persimpangan jalan: apakah AI akan menjadi jembatan menuju pendidikan abad ke-21, atau justru lubang jebakan yang membuat kita semakin tertinggal?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa penelitian menunjukkan potensi positif AI. McKinsey (2020) memperkirakan AI dapat membantu guru menghemat 20–30% waktu administratif, sehingga mereka lebih fokus mengajar. Alangkah menyenangkan seorang guru yang tidak lagi pusing memeriksa ratusan lembar ulangan, karena sistem otomatis bisa mengoreksi dengan cepat. AI juga bisa memberi rekomendasi pembelajaran personal, seperti tutor digital yang tahu kelemahan tiap anak apakah dia lemah di perkalian atau membaca cepat.

Namun, sisi gelapnya sama kuat. Riset OECD (2023) menekankan bahwa ketergantungan dini pada AI berisiko mengurangi kemampuan berpikir kritis dan kreativitas anak. Jika sejak SD anak sudah terbiasa "disuapi" jawaban instan, apa yang akan terjadi ketika mereka dewasa? Alih-alih menjadi generasi problem solver, bisa jadi kita membesarkan generasi "copy-paste" yang pandai menekan tombol, tapi gagap menghadapi masalah nyata.

ADVERTISEMENT

Negara-negara tetangga sudah bergerak cepat. Singapura, misalnya, tidak melarang ChatGPT di sekolah. Sebaliknya, mereka menyusun panduan resmi tentang etika dan cara penggunaannya. Murid SD di sana diajari sejak dini bahwa ChatGPT hanyalah alat bantu, bukan otak pengganti. Mereka belajar bagaimana memverifikasi informasi, membedakan opini dari fakta, sekaligus memahami batasan mesin pintar. Di Finlandia, pendekatan berbeda diambil: AI diposisikan sebagai "co-teacher," membantu guru menyediakan variasi materi tanpa menggantikan peran manusia.

Konteks Indonesia masih jauh dari sana. Kita sibuk berdebat di media sosial: apakah AI haram atau halal, apakah akan merusak otak anak, apakah nanti guru jadi tidak berguna. Ironisnya, perdebatan itu jarang menyentuh inti persoalan: bagaimana mendesain kurikulum, regulasi, dan pelatihan guru agar teknologi ini bisa digunakan secara sehat.

Pertanyaan paling mendesak: siapkah guru kita? Survei Kemendikbud (2022) menunjukkan lebih dari 40% guru di Indonesia masih merasa kurang percaya diri menggunakan teknologi digital dasar. Jika tablet dan laptop saja masih bikin pusing, bagaimana dengan AI yang jauh lebih kompleks? Tanpa pelatihan intensif, bisa jadi AI hanya menambah beban guru, bukan meringankan.

Selain itu, persoalan kesenjangan juga mengintai. Data BPS (2022) menunjukkan hanya sekitar 62 persen rumah tangga di Indonesia yang punya akses internet. Bayangkan ketidakadilan baru: anak di kota besar akrab dengan AI sejak SD, sementara anak di pelosok masih kesulitan sinyal. Alih-alih mendemokratisasi pendidikan, AI bisa memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Pada akhirnya, persoalan AI di sekolah dasar bukan sekadar teknologi, tapi juga filosofi pendidikan. Apakah kita ingin anak-anak tumbuh sebagai manusia yang tahu cara berpikir, atau cukup puas sebagai operator mesin pintar? Jawabannya tentu bukan hitam putih. AI bisa jadi sekutu, tapi hanya jika kita pandai menempatkannya.

Mungkin sudah saatnya pemerintah, sekolah, guru, dan orang tua berhenti bertanya "boleh atau tidak boleh," lalu mulai berpikir "bagaimana sebaiknya." Karena seperti kata pepatah lama yang kini terdengar makin relevan: teknologi hanyalah alat; yang menentukan masa depan adalah tangan manusia yang menggunakannya.

Simak juga Video Mendikdasmen: Kurikulum Koding AI Sudah Diterapkan di Banyak Sekolah

(imk/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads