Kata royalti terdengar megah. Ia mengingatkan kita pada sesuatu yang agung, bahkan berkilau, sebuah hadiah atas karya intelektual yang dijaga undang-undang. Namun di Indonesia, praktik pembagian royalti musik justru kerap menimbulkan rasa getir ketimbang kebanggaan.
Alih-alih memberikan penghormatan yang layak bagi pencipta lagu, sistem yang ada sering terasa tidak transparan, tidak adil, bahkan membingungkan bagi pengguna maupun pencipta. Ternyata ironi itu nyata. Royalti yang sejatinya dimaksudkan untuk mulia, justru tampak mencekik.
Dari Romantisme ke Regulasi
Sistem Royalti musik di Indonesia mulai berjalan serius pasca Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014. Hadirnya Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) diharapkan menjadi jalan keluar dai praktik lama yang serba liar ini. Secara teori, langkah ini sangat menjanjikan. Data dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mencatat bahwa potensi royalti musik di Indonesia bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2022 misalnya, tercatat lebih dari 200 miliar Rupiah dana royalti berhasil dikumpulkan dari berbagai sektor, mulai dari televisi, radio, hotel, restoran, hingga kafe kecil di sudut kota. Angka ini terdengar fantastis, namun jika ditilik lebih dalam, jumlah yang diterima oleh pencipta lagu per orang sering kali tidak sebanding. Angka royalti yang muncul di notifikasi seakan-akan berbicara, "Royalti ini hanya cukup untuk beli segelas kopi di kafe yang diwajibkan membayar royalti tersebut."
Pernyataan semacam ini menggambarkan jurang besar antara dana yang terkumpul dengan distribusi yang diterima oleh pencipta. Di sisi lain, publik kerap mempertanyakan ke mana larinya uang royalti yang sudah dipungut dengan ketat dari para pelaku usaha. Transparansi menjadi masalah klasik, dan sampai hari ini, jawabannya belum benar-benar meyakinkan.
Tafsir Komersial yang Membingungkan
Lupakan sejenak terkait regulasi dan sistem distribusi atas royalti, karena jika dipikirkan secara mendalam, persoalan lebih filosofis sudah muncul. Undang-Undang Hak Cipta menegaskan bahwa setiap penggunaan musik di ruang publik yang bersifat komersial wajib membayar royalti. Tetapi, masalah royalti musik bukan hanya perkara angka saja. Lebih dalam, ia terkait dengan bagaimana kita memahami kata "komersial".
Tafsir yang keliru atau terlalu luas atas kata ini dapat melahirkan kebijakan yang tak proporsional, yang pada akhirnya tidak menguntungkan siapa pun, baik dari sisi pencipta, pelaku usaha, maupun masyarakat luas. Dalam praktiknya, tafsir "komersial" ini meluas sedemikian rupa sehingga kafe, salon, bahkan warung kecil dengan speaker aktif pun diwajibkan membayar. Namun mari kita refleksikan sejenak, pertanyaannya: apakah memutar musik di sebuah kafe sama artinya dengan memperjualbelikan musik itu sendiri?
Kafe menjual kopi, bukan musik. Salon menjual jasa potong rambut, bukan lagu yang diputar di latar. Musik memang memberi suasana, tetapi ia bukanlah produk utama yang ditransaksikan antara penjual dan pembeli.
Dalam tradisi hermeneutika hukum, istilah dalam undang-undang tidak pernah benar-benar netral. Maknanya lahir dari konteks sosial, budaya, dan ekonomi di mana ia ditafsirkan. Hans-Georg Gadamer, filsuf Jerman, pernah mengingatkan bahwa "pemahaman selalu merupakan fusi cakrawala antara teks dan konteks."
Artinya, penafsiran hukum tak bisa hanya terpaku pada teks, tetapi juga harus membaca fungsi sosial dari istilah itu. Sebuah kata "Komersial" dalam regulasi hak cipta kita tampaknya dimaknai formalistik, yaitu selama musik diputar di ruang usaha, otomatis dianggap aktivitas ekonomi. Padahal secara substansial, tidak semua pemanfaatan musik menghadirkan transaksi ekonomi atas musik itu sendiri.
Analogi sederhana yaitu jika seseorang menyalakan speaker di sebuah taman kota, lalu orang banyak menikmati musik itu, apakah itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang "komersial"? Tentu tidak. Tetapi jika speaker yang sama dinyalakan di dalam kafe, tafsir hukum langsung berubah, itu dianggap "komersial" dan dikenakan royalti.
Padahal hakikatnya sama, musik diputar di ruang publik, dinikmati orang banyak, dan tidak ada satu pun orang yang membayar tiket masuk untuk menikmati musik itu. Pembedaan semacam ini jelas problematis. Komersial akhirnya ditafsirkan bukan dari substansi penggunaan musik, melainkan dari status tempat, apakah tempat tersebut berbadan usaha atau tidak. Padahal esensi komersial seharusnya merujuk pada sejauh mana musik itu menjadi objek transaksi ekonomi.
Dampak dan Perspektif Ganda
Kekeliruan tafsir ini pada akhirnya membawa dampak ganda. Bagi pencipta lagu, sistem ini seakan menjanjikan pemasukan, tetapi realitasnya sangat minim karena distribusi yang timpang. Sementara bagi pelaku usaha kecil, kewajiban membayar royalti justru dapat dianggap sebagai beban tambahan. Akhirnya banyak kafe, salon, mal atau ruang publik memilih untuk tidak memutar musik sama sekali demi menghindari pungutan.
Akibatnya, ruang apresiasi musik bukannya melebar, melainkan justru semakin sempit. Musik yang seharusnya hidup di ruang publik tereduksi menjadi objek administratif.
Lebih jauh, publik pun menjadi resisten. Banyak orang menilai musisi menjadi "serakah" karena dianggap meminta bayaran atas musik yang "hanya diputar". Persepsi ini tentu tidak sepenuhnya adil, sebab pada dasarnya musisi memang berhak atas ciptaannya. Namun resistensi muncul karena kerangka hukum gagal membedakan antara pemanfaatan musik sebagai produk utama dengan pemanfaatan musik sekadar sebagai penunjang suasana.
Di titik ini, yang dipertaruhkan bukan hanya soal uang, melainkan juga soal relasi antara musisi dan masyarakat. Jika sistem royalti justru menimbulkan rasa tidak simpatik, tujuan mulia untuk melindungi karya cipta bisa tereduksi menjadi sekadar pungutan administratif yang kehilangan legitimasi moral.
Tafsir Baru yang Lebih Adil, Transparan dan Proporsional
Pertanyaannya, apakah sistem royalti musik kita saat ini benar-benar melindungi pencipta, atau justru menimbulkan beban baru yang tak proporsional? Apakah benar kafe yang menjual kopi mendapat keuntungan langsung dari musik, sehingga wajib membayar royalti dalam kadar yang sama dengan televisi nasional yang menyiarkan konser?
Mungkin sudah saatnya kita meninjau ulang tafsir kata "komersial" dalam regulasi hak cipta. Kata komersial seharusnya dimaknai secara substansial, apakah musik itu memang menjadi komoditas yang diperjualbelikan, atau hanya sekadar sarana penunjang? Tanpa pembeda ini, regulasi akan terus menimbulkan kebingungan dan resistensi. Beberapa negara lain mencoba solusi alternatif.
Di Kanada, misalnya, tarif royalti dibedakan antara musik yang menjadi subjek utama (seperti konser) dengan musik latar (seperti di kafe atau mall). Di Jepang, lembaga pengelola hak cipta menyediakan mekanisme izin kolektif dengan biaya sangat rendah untuk usaha skala kecil, sehingga musik tetap bisa diputar tanpa menimbulkan beban berlebihan. Indonesia seharusnya bisa belajar dari praktik semacam ini.
Royalti musik adalah instrumen penting untuk memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya. Namun jika praktiknya timpang, tidak transparan, dan didasarkan pada tafsir hukum yang problematis, ia hanya akan menimbulkan ironi. Kata royalti yang megah akan kehilangan makna, berubah menjadi sekadar pungutan administratif yang tidak royal. Kita membutuhkan sistem yang lebih adil, transparan, dan proporsional.
Pencipta harus tetap terlindungi, pelaku usaha kecil tidak terbebani, dan publik tidak dibuat sinis. Kuncinya terletak pada keberanian untuk meninjau ulang pengertian "komersial" dalam konteks musik. Selama hal ini belum disentuh, royalti musik akan tetap menjadi paradoks, sebuah hak yang dimaksudkan mulia, tetapi terasa tidak bermartabat. Dan di situlah kita harus jujur, bahwa royalti kita memang belum benar-benar royal.
Galih Cahyo. Dosen Seni Musik Institut Kesenian Jakarta.
Tonton juga video "Ari Lasso Makin Vokal soal LMKN dan WAMI" di sini:
(rdp/imk)