Serangkaian demonstrasi oleh berbagai unsur masyarakat di gedung DPR telah kita saksikan bersama. Korban jiwa dan luka di pihak masyarakat dan aparat, serta kerusakan fasilitas umum menandakan bahwa betapa besar pengorbanan aspirasi yang disuarakan. Seandainya saja, aspirasi itu diberi saluran oleh otoritas kebijakan baik DPR maupun pemerintah, situasinya tidak akan separah saat ini.
Tuntutan para pendemo sangat lah wajar. Mereka menunjukkan aspirasi terkait berbagai masalah dan kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. Akhir-akhir ini betapa dirasakan situasi ekonomi yang sulit, antara lain terkait pengangguran, pelemahan daya beli dan iklim investasi belum kondusif.
Pada momentum yang sama, secara kebetulan publik disuguhi perilaku elit dan pejabat publik yang kontradiktif dengan situasi ekonomi dan sosial masyarakat yang sedang prihatin. Betapa etika pejabat publik akhirnya dipertanyakan, seperti keputusan pembebasan koruptor, penyalahgunaan wewenang pejabat kementerian ketenagakerjaan, serta pemberian tunjangan perumahan yang fantastis untuk anggota DPR. Lebih memprihatinkan, suguhan anggota DPR berjoget ria saat Sidang Tahunan MPR (15 Agustus 2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jelasnya, elit politik menampilkan perilaku yang jauh dari etika. Ketika masyarakat berjuang keras memenuhi kehidupannya, para elit khususnya anggota DPR menunjukkan perilaku hidup yang arogan, tidak sensitif, dan mementingkan kebutuhannya sendiri. Ini mencerminkan kesenjangan ekonomi dan sosial. Masyarakat yang sudah mengalami kesulitan ekonomi, makin tidak respek terhadap perilaku flexing dan komentar tidak terpuji oleh anggota DPR.
Politik Beretika
Menurut Amundsen and de Andrade (2009), etika mencakup interaksi dan tanggungjawab pejabat publik terhadap masyarakat, sektor bisnis, pihak asing, atau organisasi publik itu sendiri. Hal ini mencakup kepemimpinan pejabat publik dalam lingkup sosial, ekonomi, politik dan hukum pemerintahan.
Etika memandu seorang pejabat publik dalam menjalankan aktivitasnya dalam rambu-rambu atau nilai moral untuk kepentingan layanan publik. Ada lima prinsip pejabat publik beretika, yakni terbuka, tanggungjawab, adil, efisiensi dan tidak ada kepentingan individu atau kelompok.
Pejabat publik yang beretika dipastikan akan menghasilkan keputusan (politik) yang beretika. Keputusan itu berorientasi untuk ekonomi secara umum, kesejahteraan rakyat, serta berdampak kepada keadilan. Pejabat publik yang beretika menghasilkan keputusan politik yang berorientasi kepada empati dan penghargaan kepada masyarakat, bukan untuk kepentingan elit saja.
Dalam sejarah penjajahan Belanda, pemerintahan kolonial pernah menerapkan politik etis (ethische politiek) (1901). Ini adalah politik belas kasihan penjajah kepada pribumi, dengan memfokuskan kepada aktivitas pendidikan, pertanian (irigasi) dan transmigrasi. Adalah Conrad Theodor van Deventer, anggota parlemen Belanda, sebagai pelopor politik etis dan menunjukkan kepeduliannya atas eksploitasi negaranya terhadap wilayah jajahan khususnya Indonesia. Van Deventer juga menyoroti kebutuhan warga pribumi untuk bekerja pada level manajemen yang lebih tinggi di pemerintahan.
Diakui atau tidak, politik etik inilah yang mampu mentransformasi kehidupan sosial ekonomi bangsa Indonesia. Anak-anak muda berkesempatan memperoleh pendidikan (termasuk sekolah ke Belanda), dan mengembangkan aspirasi dan nasionalisme. Mereka kemudian berperan dalam kebangkitan nasional (Budi Utomo, 1908), sumpah pemuda (1928) dan kemerdekaan (1945).
Empati dan Ekonomi Untuk Rakyat
Hampir satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo ini berjalan. Memang, masih terlalu prematur menilai kemajuan yang telah dicapai. Selama triwulan II tahun 2025, pertumbuhan ekonomi sebesar 5.12 persen. Angka ini dianggap lumayan, namun juga menjadi perdebatan karena tidak berkorelasi dengan aktivitas ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Ekonomi dikatakan tumbuh eksklusif hanya pada sektor-sektor yang tertentu saja dan mengalirkan manfaat ke kelompok ekonomi tertentu. Hal ini didukung dengan angka rasio Gini 0.375 (BPS Maret 2025) dimana kesenjangan ekonomi selama periode lima tahun terakhir sangat lambat bergerak turun.
Selama satu tahun ini, pemerintah nampak belum banyak menyentuh kepada sektor riil, meningkatkan investasi, atau menggerakkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Ada persepsi bahwa pemerintah lebih cenderung kepada seremonial kenegaraan, seperti menerima tamu negara, kunjungan ke luar negeri, rapat-rapat koordinasi, pelantikan pejabat, atau pemberian penghargaan untuk tokoh atau elit tertentu. Hal-hal seperti ini melengkapi potret ketidakpekaan pemerintah terhadap aspirasi masyarakat.
Kiranya, dalam jangka pendek ke depan pemerintah harus bergerak secara nyata. Pertama, membangun trust. Demonstrasi mencerminkan distrust masyarakat kepada elit dan sebaliknya. Karena itu, DPR dan pemerintah hendaknya sungguh-sungguh untuk mengkoreksi atau menghapus kebijakan yang memuat distrust dan kesenjangan yang menjadi sorotan masyarakat. Kebijakan itu antara lain menghapus beragam tunjangan yang diterima anggota DPR, mempercepat pengesahan RUU perampasan aset dan RUU ketenagakerjaan untuk melindungi buruh.
Saat ini betapa kesenjangan ekonomi sangat dirasakan oleh masyarakat. Pemerintah hendaknya terus berupaya memperkuat peran usaha kecil dan menengah. Akses modal kerja, subsidi pupuk untuk petani, dan program padat karya terus dilanjutkan. Ini ditujukan agar kelompok masyarakat terbawah secara signifikan menerima peningkatan manfaat pembangunan. Juga, pemerintah hendaknya mengkoreksi kebijakan dan mengalih-fokuskan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen non PNS, dokter/tenaga kesehatan serta prajurit di daerah.
Pada saat yang sama, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan tunjangan dan beragam fasilitas untuk pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif serta pimpinan BUMN yang 'fantastis' dan menimbulkan kesenjangan.
Kedua, kebijakan beretika. Pemerintah perlu menghadirkan keputusan atau kebijakan publik yang beretika. Janji-janji kampanye seperti program MBG, lumbung pangan, pendidikan dan kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi tumbuh 8 persen, sebenarnya sangat bernuansa etika, dan harus direalisasikan untuk menghasilkan empati publik.
Target pertumbuhan sebesar 8 persen harus dikerjakan secara serius. Tugas ini bukan main-main, karena membutuhkan pertumbuhan investasi minimal 16 persen per tahun, sementara saat ini investasi hanya tumbuh sekitar 8 persen. Target pertumbuhan ekonomi 8 persen akan membawa Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia, menghasilkan PDB per kapita sebesar 33 ribu dolar, diperkuat share sektor manufaktur 28 persen (dari kondisi 19 persen saat ini) pada tahun 2045 (Indonesia Emas) (data RPJPN 2025-2045).
Ketiga, membangun komunikasi. Seorang pemimpin atau pejabat publik bukan sekadar simbol komunikasi, tetapi komunikasi merupakan inti kepemimpinan yang beretika.
Pemimpin membangun komunikasi yang jelas untuk membentuk budaya, menyampaikan nilai-nilai, dan menginspirasi visi. Dalam konteks etika ini, ada kebutuhan, agar Presiden Prabowo lebih sering hadir dan berkomunikasi dengan berbagai pihak (bukan hanya elit) untuk menyampaikan pandangannya tentang pembangunan sosial dan ekonomi, mengatasi kesenjangan ekonomi, mendorong sektor manufaktur, serta mengatasi masalah pengangguran.
Presiden harus mendengar langsung kendala yang dihadapi para pengusaha, mengapa iklim investasi belum membaik. Presiden memerintahkan menteri secara fokus menangani masalah dan memastikan solusi ekonomi riil secara tuntas. Selama ini, iklim investasi dan usaha dianggap masih penuh ketidakpastian, karena prosedur yang rumit, lama dan tidak jelas. Pemerasan oleh oknum pemerintah, LSM atau pihak lain sering dikeluhkan pengusaha dan belum ada penyelesaian yang serius.
Juga, presiden perlu sering blusukan di berbagai pelosok daerah untuk memastikan program pembangunan yang sedang berjalan, berkomunikasi dan mendengar keluhan rakyat. Presiden juga perlu mendatangi pasar atau pusat aktivitas ekonomi kecil dan menengah untuk mentransmisikan penguatan ekonomi lokal. Kehadiran pemimpin bagi rakyat dan pengusaha kecil akan memberikan harapan dan jalan keluar bagi penyelesaian permasalahan.
Iwan Nugroho. Guru besar Universitas Widyagama Malang.
Tonton juga video "Anies Baswedan: Kesenjangan Bukan Takdir, Tapi Sistem Tak Dikoreksi" di sini:
(rdp/imk)