Pendanaan Politik oleh Negara & Transparansi: Bangun Sistem Antikorupsi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pendanaan Politik oleh Negara & Transparansi: Bangun Sistem Antikorupsi

Senin, 08 Sep 2025 12:23 WIB
Eriq Ihsan Moeloek
Eriq Ihsan Moeloek
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Eriq Ihsan Moeloek
Foto: Dok Pribadi
Jakarta -

Beberapa waktu terakhir, keresahan publik kembali terlihat di jalanan. Gelombang itu mencerminkan jurang antara harapan dan kenyataan politik yang kita rasakan bersama.

Di balik berbagai isu yang muncul, ada satu benang merah yang terus menghantui perjalanan bangsa ini, yaitu korupsi. Korupsi di Indonesia bukan hanya perkara individu, melainkan konsekuensi dari sistem yang membuka banyak celah penyalahgunaan.

Biaya politik yang tinggi dan lemahnya transparansi menciptakan arus yang mendorong praktik tidak akuntabel untuk terus berlangsung. Akibatnya terbentuk mata rantai yang sulit diputus: masyarakat lelah mendengar kasus korupsi berulang, sementara oknum pejabat yang seharusnya menjaga integritas terkadang ikut terjebak dalam pola yang lahir dari sistem penuh celah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah tambal-sulam tidak lagi cukup jika lingkaran ini sungguh ingin diakhiri. Kita butuh pendekatan yang preventif, sistemik, dan berani menyentuh akar masalahnya.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melempar sebuah gagasan dan pemikiran ke ruang diskusi. Dari pengalaman pribadi mengamati politik dari dekat, berorganisasi, berinteraksi dengan generasi muda, dan membandingkan praktik di negara lain, saya melihat ada dua hal kunci yang patut direnungkan bersama.

ADVERTISEMENT

Membiayai Partai Politik dengan Dana Negara

Demokrasi itu mahal. Tidak ada partai politik yang bisa bertahan tanpa biaya besar untuk kaderisasi, kampanye, saksi pemilu, logistik, sampai membayar staf dan operasional harian.

Namun di Indonesia, bantuan negara untuk partai hanya Rp1.000 per suara sah. Mari kita ambil contoh sederhana.

Sebagai pemenang Pemilu 2019, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menerima sekitar Rp 27 miliar setiap tahun dalam periode 2019 hingga 2024 dari pendanaan negara. Padahal, hanya untuk membayar saksi di seluruh TPS, kebutuhan riil bisa mencapai sekitar Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun.

Dari situ terlihat kesenjangan besar antara kebutuhan nyata dan dana yang tersedia. Jika partai sebesar pemenang Pemilu saja menghadapi keterbatasan pendanaan setajam ini, maka partai-partai lain tentu akan juga merasakan tekanan yang sangat berat.

Masalah semacam ini tidak hanya dialami satu partai, melainkan menjadi tantangan struktural bagi seluruh partai di Indonesia.

Usulan untuk memperkuat pendanaan negara bagi partai politik di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Beberapa pihak, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah mendorong ide ini.

Angka yang diajukan harus realistis, sehingga di satu sisi tidak memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan di sisi lain cukup untuk mengurangi tekanan yang kerap membuka ruang penyimpangan.

Sebagai gambaran, alokasi 0,1% dari APBN setara dengan sekitar Rp 3,6 triliun per tahun. Jumlah ini sudah cukup signifikan untuk membantu partai menjalankan fungsi dasarnya.

Dana tersebut dapat didistribusikan proporsional sesuai jumlah suara, sehingga partai besar maupun lebih kecil mendapat porsi yang adil.

Di samping dana dari APBN, partai tetap boleh menerima donasi pribadi atau sumbangan dari sektor swasta. Namun porsinya harus lebih kecil dibanding dana negara, serta dibatasi dan diawasi secara transparan.

Dengan demikian, orientasi utama partai tetap mengarah pada kepentingan publik secara keseluruhan, dengan APBN sebagai sumber utama yang merepresentasikan kontribusi seluruh rakyat.

Apakah ini berarti biaya yang dibebankan kepada negara akan bertambah? Ya, pasti terlihat demikian di atas kertas.

Namun dalam praktiknya, langkah ini justru akan menghemat dana publik dalam jumlah besar, karena mengurangi potensi kebocoran anggaran akibat praktik korupsi yang timbul dari sistem pendanaan politik yang rapuh.

Dengan pendanaan negara yang lebih memadai, kebutuhan politik dapat ditopang secara transparan sehingga tekanan untuk mencari jalur di luar mekanisme resmi berkurang. Hal ini pada akhirnya memperkuat integritas demokrasi.

Tentunya, pemberian dana negara harus diiringi dengan pengawasan ketat. Partai politik wajib diaudit eksternal setiap tahun, layaknya perusahaan publik.

Karena menggunakan dana yang berasal dari pembayar pajak, mereka harus bertanggung jawab seolah-olah kepada "pemegang saham" yang memberi mandat. Laporan keuangan harus terbuka untuk masyarakat, dan jika ada penyalahgunaan, sanksinya bisa berupa pemotongan bantuan hingga larangan ikut pemilu.

Dengan kombinasi dana memadai dan akuntabilitas ketat, partai dapat sepenuhnya menjalankan peran yang seharusnya mereka emban sebagai institusi demokrasi yang profesional dan terhormat. Banyak negara telah membuktikan efektivitas model ini.

Di Jerman, semua partai politik wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang diaudit secara independen, yang kemudian dipublikasikan oleh Presiden Bundestag (Parlemen Republik Federal Jerman). Sistem ini memastikan partai transparan sekaligus memperkuat keterhubungannya dengan aspirasi masyarakat.

Di Swedia, Riksdag (Parlemen Swedia) menekankan partai politik adalah elemen fundamental demokrasi. Oleh karena itu, pendanaan dari negara menjadi sumber utama bagi partai di tingkat nasional.

Pada tahun 2025, sekitar US$ 56 juta dialokasikan untuk partai politik. Pendanaan ini memungkinkan partai beroperasi secara jangka panjang tanpa harus bergantung pada berbagai penyumbang.

Meksiko memberikan contoh lain, di mana mayoritas pendanaan partai berasal dari anggaran negara. Donasi swasta masih diperbolehkan, tetapi sangat dibatasi.

Satu individu hanya boleh menyumbang maksimal sekitar US$ 2,5 juta per tahun. Dengan model ini, dana publik memastikan keberlangsungan utama partai, sementara sumbangan swasta hadir sebagai tambahan yang diatur secara jelas dan transparan.

Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) lebih bergantung pada donasi swasta, sehingga kelompok kepentingan dan lobi memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam politik. OpenSecrets mencatat antara 2010 dan 2023, Asosiasi Pemilik Senjata AS (NRA) telah menyalurkan lebih dari US$ 140 juta untuk kandidat pro-senjata, menunjukkan bagaimana satu kelompok dapat membentuk agenda politik secara konsisten.

Pada Pemilu AS di tahun 2024, fenomena ini semakin terlihat ketika Elon Musk menyumbangkan US$ 288 juta, yang menjadikannya figur berpengaruh besar di lingkaran Partai Republik. Tidak mengherankan jika biaya Pemilu 2024 mencapai US$ 15,9 miliar, dengan US$ 10,2 miliar untuk pemilu legislatif dan US$ 5,5 miliar untuk pemilu presiden.

Demokrasi tentunya berjalan, tetapi ketergantungan pada donor besar dapat membatasi politik untuk sepenuhnya berorientasi pada kepentingan publik lebih luas.

Dari berbagai contoh ini, terlihat pola yang jelas. Dengan pendanaan negara yang memadai, partai dapat berfungsi dengan lebih merdeka dan konsisten, sementara publik juga diuntungkan karena akar masalah biaya politik yang kerap melahirkan korupsi dapat ditangani sejak awal.

Tantangan bagi Indonesia adalah menemukan titik keseimbangan yang sesuai dengan konteks kita, agar partai bisa berfungsi secara sehat dan demokrasi semakin kuat.

Menutup Celah lewat Transparansi

Indonesia butuh pendekatan yang lebih preventif dalam menghadapi korupsi, bukan sekadar reaksi setelah masalah muncul. Fokus utama harus diarahkan pada bagaimana menutup peluang penyalahgunaan sejak awal, alih-alih hanya bergerak ketika kasus sudah meledak di permukaan.

Selama ini, perhatian publik lebih banyak diarahkan pada penindakan: menangkap, mengadili, hingga wacana penyitaan aset begitu kasus mencuat.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset belakangan didorong sebagai solusi peluru perak. Dorongan publik ini patut diapresiasi karena mencerminkan tekad melawan korupsi.

Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, langkah semacam ini berisiko melahirkan celah baru. Dalam praktiknya, penyitaan aset bisa disalahgunakan oleh oknum menjadi alat tekanan politik, sehingga menyimpang dari tujuan awal.

Arsitektur pencegahan menawarkan pendekatan yang lebih holistik. Kunci untuk memastikan hal ini adalah transparansi.

Transparansi yang dimaksud bukan sebatas laporan kekayaan formal, melainkan keterbukaan yang bisa diverifikasi: apakah aset, gaya hidup, dan pajak berjalan konsisten satu sama lain. Langkah ini bersifat realistis dan telah menjadi praktik umum di berbagai negara dengan tingkat korupsi rendah.

Digitalisasi birokrasi menjadi instrumen penting untuk memperkuat transparansi. Banyak potensi penyimpangan lahir dari interaksi langsung yang membuka ruang negosiasi informal.

Melalui sistem e-budgeting, e-procurement, dan perizinan berbasis digital yang terintegrasi, celah itu dapat ditutup sekaligus mempercepat pelayanan publik. Dengan begitu, setiap proses meninggalkan jejak yang jelas dan lebih sulit dimanipulasi.

Prinsip ini dapat diperkuat dengan transparansi real-time. Anggaran, kontrak pengadaan, hingga laporan keuangan pemerintah harus mudah diakses masyarakat luas.

Di Swedia, offentlighetsprincipen dijamin dalam konstitusi. Prinsip ini menegaskan hak publik untuk mengakses dokumen resmi pemerintah, sehingga pengawasan bisa dilakukan tanpa hambatan.

Keunggulan Swedia terletak pada aturan keterbukaan yang dijalankan secara konsisten, aturan tersebut yang dapat membentuk budaya pengawasan publik dalam praktik sehari-hari. Negara dengan tingkat korupsi rendah menunjukkan pola serupa.

Transparansi dilembagakan melalui hukum dan karena aturan tersebut dijalankan secara konsisten, ia hadir dalam praktik sehari-hari sekaligus diawasi publik secara aktif. Aturan yang benar-benar dijalankan adalah yang kemudian membentuk rutinitas, dan rutinitas tersebut yang mengukuhkan norma integritas dalam tata kelola negara.

Pelajaran bagi Indonesia sederhana: aturan transparansi yang kuat akan menumbuhkan budaya integritas. Tanpa sistem, integritas hanya bergantung pada individu, yang seringkali rapuh di bawah tekanan.

Penindakan keras memang penting, tetapi ia hanya menyasar akibat, bukan sebab. Untuk memutus lingkaran korupsi, celah harus ditutup sejak awal. Sistem yang tepat membentuk insentif sehat, insentif melahirkan perilaku, dan perilaku berulang menciptakan budaya. Dengan cara itu, demokrasi tumbuh bersih dan berakar kuat.

Mewujudkan Perubahan Sistemik Bersama

Korupsi tidak akan selesai jika penindakan selalu ditempatkan di depan. Menangkap dan menghukum memang penting, tetapi itu hanya menyasar akibat.

Akar masalah ada pada sistem, dan di situlah pendekatan pencegahan harus menjadi titik awal. Pendanaan politik yang sehat dan transparansi yang konsisten adalah dua fondasi utama untuk menutup celah sejak hulu.

Langkah ini memang tidak instan, tetapi justru membuka jalan untuk menyelesaikan persoalan dari hulunya. Dengan pembiayaan politik oleh negara yang dirancang adil serta transparansi yang dijalankan secara konsisten, banyak sumber masalah korupsi bisa diputus sebelum sempat berkembang.

Masih ada aspek teknis yang perlu dirumuskan bersama, mulai dari cara pembagian dana negara kepada partai politik agar adil sekaligus efektif, hingga memastikan keterbukaan benar-benar menjadi praktik sehari-hari. Jawaban atas persoalan ini tidak bisa lahir dari satu pihak saja.

Perlu ada ruang dialog yang melibatkan publik, akademisi, pembuat kebijakan, dan partai politik itu sendiri. Dengan cara itu, kita tidak hanya membicarakan masalah, tetapi juga mencari solusi yang bisa dijalankan bersama.

Jika sistem mampu diarahkan ke jalur yang tepat, perilaku akan mengikuti, dan dari perilaku yang konsisten itulah budaya antikorupsi bisa tumbuh. Menuju Indonesia impian kita, dengan demokrasi yang bersih dan bebas korupsi.

Eriq Ihsan Moeloek, Profesional muda di sektor keuangan dan pembangunan, wirausahawan, salah satu pendiri Indonesia Health Development Center (IHDC), lulusan ekonomi Universitas Indonesia

Tonton juga Video: Prabowo Panggil Bos Danantara, Tekankan Transparansi-Akuntabilitas

(ega/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads