Menjaga Akal Sehat di Tengah Live Kerusuhan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menjaga Akal Sehat di Tengah Live Kerusuhan

Kamis, 04 Sep 2025 19:52 WIB
Farah Puteri Nahlia
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Farah Puteri Nahlia
Foto: Anggota DPR Farah Puteri Nahlia (Dok.Istimewa)
Jakarta -

Sebuah fasilitas umum yang terbakar, lalu adegannya disiarkan live melalui media sosial. Ribuan orang menonton, ribuan komentar membanjiri layar, dan dalam hitungan menit narasi pun terbentuk: ada yang merasa marah, ada yang merasa bangga, ada pula yang hanya ikut-ikutan menyebarkan. Pertanyaannya, apakah tayangan semacam itu sekadar informasi, atau justru provokasi?

Riset menunjukkan bahwa misinformasi dan disinformasi bukan hanya soal benar atau salah. Studi tahun 2024 menegaskan bahwa bahaya utama terletak pada pergeseran fakta menjadi opini, yang kemudian diperlakukan seakan-akan sebagai kebenaran mutlak. Akibatnya, publik kehilangan kemampuan untuk membuat penilaian rasional.

Brookings Institution menambahkan, disinformasi yang sistemik mampu menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi. Warga menjadi skeptis, bukan hanya pada media, tetapi juga pada institusi politik yang mestinya menjadi penopang stabilitas sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah ini diperparah oleh sifat psikologis manusia. Konten bernuansa negatif seperti kekerasan, kebakaran, kerusuhan, akan lebih mudah diingat ketimbang narasi positif. Negativity bias membuat tayangan destruktif cepat menempel di ingatan, bahkan lebih kuat daripada klarifikasi resmi yang muncul belakangan.

Fitur live streaming di media sosial awalnya didesain untuk memperkuat partisipasi dan transparansi. Namun dalam konteks kerusuhan, ia bisa menjadi "senjata emosional" yang memperbesar ketakutan atau kemarahan publik.

ADVERTISEMENT

UNICEF membedakan antara misinformasi (kesalahan informasi yang disebarkan tanpa sengaja) dan disinformasi (informasi salah yang sengaja diciptakan untuk menyesatkan). Masalahnya, dalam praktik digital sehari-hari, keduanya sulit dibedakan. Tayangan live yang awalnya dimaksudkan sebagai dokumentasi bisa berubah menjadi disinformasi ketika diberi narasi provokatif, diperbanyak oleh algoritma, dan dikonsumsi tanpa verifikasi.

Pemerintah tentu memiliki peran, tetapi bukan satu-satunya aktor. Menghadapi tantangan ruang digital memerlukan kerja sama multi-pihak: media, platform teknologi, akademisi, dan masyarakat sipil. Beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan, pertama literasi tidak cukup hanya di ruang kelas atau seminar formal. Ia harus menyentuh komunitas seperti kelompok ibu rumah tangga, pengemudi ojol, pelajar desa. Semakin dekat literasi dengan kehidupan nyata, semakin besar daya tahannya terhadap manipulasi.

Pemerintah sesungguhnya, bersama masyarakat sipil dan akademisi seperti Siberkreasi, Mafindo, ICT Watch, Klinik Digital dan lain-lain, semenjak pandemi terus giat melakukan hal tersebut. Berikutnya ialah Platform harus memiliki mekanisme moderasi yang jelas, adil, dan bisa diaudit.

Dengan begitu, publik merasa ada keadilan dalam penyaringan konten, bukan sensor sepihak. Ketiga, disinformasi tumbuh subur ketika masyarakat kehilangan sumber berita yang kredibel. Media lokal perlu diperkuat, baik melalui insentif, pelatihan, maupun kemitraan, agar bisa menjadi benteng informasi di tingkat komunitas. Keempat, saat insiden besar disiarkan live, media dan pemerintah perlu cepat memberikan klarifikasi awal. Misalnya, dengan narasi "tayangan ini masih dalam proses verifikasi, mohon tunggu informasi resmi." Respons sederhana, tapi cepat, bisa mengurangi eskalasi.

"Ruang digital harus menjadi sarana dialog dan pemahaman, bukan arena ketakutan dan provokasi. Disinformasi, terutama yang disampaikan dalam format live dan emosional, bukan cuma mempengaruhi publik, tetapi juga bisa memperkuat kepercayaan selektif terhadap keyakinan tertentu. Kita semua memiliki tanggung jawab bersama untuk membentengi masyarakat dari manipulasi melalui literasi digital, transparansi moderasi, dan dialog terbuka. Ini adalah kerja kolaborasi semua pihak, demi ketahanan dan kedamaian ruang digital kita."

Anggota DPR Fraksi PAN Farah Puteri Nahlia

Simak juga Video: Menkomdigi Terkait Aliran Dana di Live Demo

(maa/gbr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads