Gaya Hidup Perlu Diatur dalam Kode Etik Parlemen
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Gaya Hidup Perlu Diatur dalam Kode Etik Parlemen

Sabtu, 06 Sep 2025 13:15 WIB
Satrio Alif Febriyanto
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI sekaligus Managing Editor Jurnal Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum UI.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Gedung DPR (Andhika/detikcom)
Foto: Ilustrasi Gedung DPR (Andhika/detikcom)
Jakarta -

Tingkah laku anggota parlemen dalam merespons diskursus tunjangan pendapatannya tidak hanya menunjukkan kurang sensitifnya mereka terhadap kondisi sosial-ekonomi rakyat semata, melainkan memperlihatkan juga rendahnya etika perilaku sebagai penyelenggara negara.

Beratnya kondisi sosial-ekonomi rakyat dipicu tidak terkendalinya harga bahan pokok yang diperparah dengan kenaikan pajak bumi dan bangunan di berbagai daerah sejak awal Agustus 2025 memicu kemarahan rakyat atas pengelolaan anggaran yang banyak dihabiskan untuk memberikan tunjangan bagi pejabat negara, termasuk anggota parlemen di tengah menumpuknya masalah rakyat.

Situasi tersebut diperburuk dengan adegan joget-joget ketika sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 15 Agustus 2025 yang dinilai tidak pantas di tengah beratnya situasi rakyat hari ini yang berujung kritik tajam yang berujung pada berkembanganya wacana pembubaran parlemen di publik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kritik tajam rakyat mengenai tunjangan yang diperoleh anggota parlemen saat kondisi sosial-ekonomi mencekik justru ditanggapi secara nir empati.

Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya parodi sound horeg yang dilakukan oleh Eko Patrio, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) untuk menanggapi kritik atau celoteh Nafa Urbach, anggota DPR Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) tentang kondisi macet yang dialaminya dalam perjalanan ke gedung DPR untuk menjustifikasi pemberian tunjangan.

ADVERTISEMENT

Respons tersebut diperparah dengan ungkapan tolol yang dikeluarkan oleh Ahmad Sahroni, anggota DPR Fraksi Partai Nasdem terhadap pihak yang mewacanakan pembubaran parlemen.

Reaksi nir empati para anggota DPR memantik perasaan amarah rakyat yang berujung pada terjadinya demonstrasi besar-besaran seminggu ke belakang.

Berbeda dari kebanyakan demonstrasi yang terorganisir oleh elemen mahasiswa dan buruh semata, demonstrasi kali ini melibatkan elemen masyarakat sipil lain yang bergabung secara organik seperti pengemudi daring, ibu rumah tangga, hingga siswa sekolah menengah.

Keterlibatan berbagai elemen masyarakat menunjukkan bahwa permasalahan tunjangan anggota parlemen telah menjadi masalah bersama yang dirasakan seluruh kalangan.

Amarah rakyat semakin memuncak ketika demonstrasi dengan peristiwa tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi daring karena terlindas kendaraan taktis kepolisian saat mengamankan demonstrasi. Perasaan rakyat semakin tersayat tatkala mengetahui Affan hadir dalam kegiatan tersebut bukan sebagai pendemo, melainkan tengah mengambil pesanan makanan untuk menjalankan pekerjaannya.

Kematian Affan memicu gelombang demonstrasi semakin meluas yang berujung pada tindakan anarkis dengan perusakan fasilitas umum seperti halte transportasi publik. Tak sampai di situ saja, anarkisme berujung pada penjarahan yang menyasar rumah beberapa beberapa anggota parlemen tersebut.

Merawat Demokrasi Lewat Legitimasi Rakyat

Terlepas dari berbagai praduga yang menyelimuti peristiwa penjarahan tersebut, kejadian ini menggambarkan kepercayaan masyarakat terhadap para anggota parlemen sudah mencapai titik nadir. Runtuhnya kepercayaan terjadi karena keangkuhan para anggota parlemen dengan berbagai tindakan nyelenehnya yang mencederai perasaan masyarakat, padahal anggota parlemen sebagai penyambung aspirasi masyarakat seyogyanya bersikap arif dan bijaksana dalam menampung aspirasi pemilihnya.

Sebagai seorang wakil rakyat, anggota parlemen memiliki legitimasi tinggi karena pengisian jabatannya dilakukan langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum. Suara rakyat menjadi legitimasi yang menjadi modal anggota parlemen dalam membuat kebijakan karena keterpilihannya menggambarkan kecocokan masyarakat atas platform kampanye yang diusungnya.

Meskipun legitimasinya bersandar pada suara rakyat, seringkali ditemukan anggota parlemen abai terhadap aspirasi rakyat pasca terpilih karena rakyat hanya dapat memberikan hukuman dengan tidak memilihnya lagi pada pemilihan umum berikutnya (Nemtoi dan Nesteriuc, 2019). Pengabaian ini membuat ketidakpuasan rakyat yang menilai suaranya hanya diperlukan dalam kontestasi semata di mana dan membuatnya apatis terhadap dinamika politik yang terjadi karena menganggap tidak ada gunanya menggunakan hak pilihnya.

Sikap apatis tersebut perlahan membangun ketidakpercayaan atas demokrasi yang berujung pada penggunaan tindakan melampaui demokrasi dalam merespons masalah seperti tindakan penjarahan yang dilakukan.

Penjarahan terjadi bukan hanya karena merasa aspirasinya tidak terwakili oleh anggota parlemen semata, melainkan kulminasi atas amarah rakyat terhadap tindakan nir etik anggota parlemen yang dinilai sudah tak dapat diselesaikan dengan mekanisme yang berlaku dalam sistem demokrasi semata.

Jimly Asshiddiqie dalam Peradilan Etik dan Etika Konstitusi menegaskan bahwa kepercayaan masyarakat atas institusi demokrasi merupakan kunci utama yang menjamin keberlangsungan demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Kepercayaan masyarakat tidak hanya dibangun melalui kemapanan struktur kelembagaan maupun regulasi untuk memenuhi pelaksanaan demokrasi secara prosedural semata.

Melainkan, sikap tindak pejabat publik yang mengisi jabatan-jabatan dalam struktur kelembagaan turut membangun kepercayaan publik atas demokrasi. Kondisi ini membuat kepatutan pejabat publik untuk bersikap sesuai dengan etika penyelenggara negara merupakan kunci utama dalam menjaga citra demokrasi.

Ketidakpatuhan pejabat publik terhadap etika penyelenggara negara tidak hanya berdampak pada tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap struktur kelembagaan maupun prosedur kehidupan bernegara yang ada semata, melainkan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi secara keseluruhan.

Sejarah mencatat perkembangan fasisme di Jerman dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat luas terhadap demokrasi di Republik Weimar yang berujung pada terpilihnya Partai Nazi dalam pemilihan umum 1933 yang membuat Adolf Hitler terpilih sebagai Kanselir Jerman dan berujung pada militerisasi yang memenatik perang dunia kedua.

Situasi yang terjadi di Jerman tersebut nyatanya juga pernah terjadi di Indonesia ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Presiden Soekarno untuk mengatasi gejolak sosial-politik karena penggunaan sistem pemerintahan parlementer yang dinilai memunculkan instabilitas dan menggantinya dengan otoritarianisme demokrasi terpimpin melalui pembubaran parlemen hasil Pemilu 1955 yang digantikan anggota yang ditunjuk Presiden.

Kedua peristiwa sejarah ini seharusnya menjadi pengingat bersama semua orang terutama anggota parlemen akan pentingnya kepercayaan rakyat sebagai legitimasi dalam menjalankan sistem demokrasi.

Lenyapnya legitimasi rakyat tidak hanya berdampak pada tumpulnya daya ikat kebijakan yang dibuat pemerintah semata. Bahkan, lenyapnya legitimasi dapat menjadi justifikasi penggantian sistem demokrasi dengan alasan gagal menciptakan stabilitas nasional yang tentunya merugikan rakyat karena kehilangan ruang partisipasi untuk dapat ikut serta dalam pengambilan kebijakan negara.

Menakar Etika Sebagai Sumber Legitimasi Anggota Parlemen

Selepas penjarahan pada rumah anggota parlemen nir etik tersebut berlangsung, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR, Nazaruddin Dek Gam baru mengeluarkan pernyataan bahwa tindakan Ahmad Sahroni, Eko Patrio, hingga Nafa Urbach merupakan pelanggaran kode etik DPR.

Dek Gam mendorong pimpinan partai politik untuk menonaktifkan para anggota DPR yang menjadi kadernya-suatu konsep yang sebenarnya sama sekali tidak dikenal dalam undang-undang yang berlaku tentang DPR. Dengan kapasitas jabatannya, Dek Gam seharusnya mempercepat pelaksanaan proses peradilan etik kepada para anggota DPR tersebut ketimbang mengusulkan konsep non aktif tersebut.

Terlepas dari dinamika pelaksanaan penegakan peradilan etik tersebut, penting untuk dapat meninjau kembali konsep etika parlemen sebagai sumber legitimasi masyarakat.

Menurut Jimly Asshiddiqie, Etika sendiri merupakan seperangkat pedoman sikap tindak yang menjadi acuan atas kehidupan ideal berisikan hal-hal yang dianggap baik dan benar terhadap setiap individu yang tergabung dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Setiap Kelompok memiliki etika dengan konsep tersendiri, termasuk pula penyelenggara negara. Penyelenggara negara memiliki etika materiil yang berbeda - beda sesuai dengan tugas pokoknya, termasuk anggota parlemen.

Eksistensi etika parlemen tidak hanya berhubungan dengan pemenuhan tugas pokok anggota parlemen semata, melainkan berkaitan dengan personal kehidupan pribadi seperti keluarga hingga pekerjaan seorang anggota parlemen sebelum menjabat.

Michael Hunt dalam Parliament and Ethical Behaviour menyebutkan keterkaitan urusan personal turut menjadi diatur dalam kode etik karena dapat mempengaruhi pilihan kebijakan yang diambilnya karena setiap kebijakan yang diambil dapat secara langsung atau tidak langsung berpotensi memberi keuntungan personal bagi dirinya maupun sekitarnya. Kondisi ini membuat etika memegang peranan penting untuk menjadi batasan anggota parlemen dalam bertindak.

Tak hanya berkaitan dengan konflik kepentingan semata, etika anggota parlemen seyogyanya turut mencakup pengaturan permasalahan gaya hidup yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan anggota parlemen memiliki fasilitas penunjang yang notabene tidak mampu dimiliki oleh mayoritas rakyat, padahal bersumber dari uang pajak yang rakyat. Kondisi ini menimbulkan sensitivitas masyarakat terhadap gaya hidup yang dimiliki oleh anggota parlemen.

Sayangnya, permasalahan tersebut tidak diatur sama sekali dalam kode etik yang berlaku di DPR sebagai lembaga parlemen. Hal ini membuat anggota parlemen tidak merasa bersalah untuk dapat berpakaian parlente, meskipun menyakiti hati rakyat yang tersandera dengan kondisi sosial-ekonomi yang buruk hari ini.

Seharusnya, anggota parlemen sensitif terhadap dinamika yang menimpa masyarakat hari ini dengan menghindari gaya hidup glamor di tengah kebanyakan rakyat kesulitan untuk dapat makan setiap harinya.

Insensitivitas anggota parlemen menimbulkan ancaman bagi eksistensi sistem demokrasi secara keseluruhan karena etika penyelenggara negara, termasuk anggota parlemen menurut Jimly Asshidddiqie berperan penting untuk menjaga citra demokrasi di mata masyarakat.

Keberadaan berbagai tindakan niretik anggota parlemen secara wajar menimbulkan ketidakpercayaan publik yang memicu munculnya narasi pembubaran parlemen dan berujung pada gelombang demonstrasi besar-besaran hingga hari ini.

Kondisi tersebut membuat parlemen perlu mengatur permasalahan gaya hidup sebagai salah satu ketentuan dalam kode etiknya untuk mencegah kecemburuan sosial antara masyarakat dengan anggota parlemen, sehingga sistem demokrasi dapat terus berjalan dan menutup peluang penggantian sistem tata kelola negara dengan alasan ketimpangan sosial.

Satrio Alif Febriyanto. Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI sekaligus Managing Editor Jurnal Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum UI.

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads